Saturday, June 17, 2017

Makna Galungan



MAKNA GALUNGAN


Pengertian Hari Raya Galungan
             Hari Raya Galungan jatuh pada hari Rabu Kliwon Dungulan yang diperingati sebagai tonggak kemenangan Dharma melawan Adharma dalam pergulatannya selama tiga hari dari hari Minggu paing sampai hari Selasa Wage Dungulan. Keesokannya kemenangan Dharma itu diperingati dengan tonggak - tonggak kemenangan Dharma yang diwujudkan oleh umat Hindu dengan Penjor. Adapun penjor ini telah ditancapkan pada hari Selasa sore. Dalam membuat penjor pada saat hari Galungan ada ketentuan khusus yakni : bila hari raya Galungan itu jatuh pada saat bulan Purnama disebut Galungan Nadi, Penjor yang dibuat di sini adalah penjor dengan bambu yang dikerik di bawahnya. Sedangkan bila Galungan jatuh pada saaat Tilem pemasangan penjor hendaknya dilengkapi dengan lampu (Sukarta,dkk, 2002 : 52).
            (I.B Putu Sudarsana, 2003 : 57) menyatakan hari suci Galungan adalah merupakan titik kulminasi dari pelaksanaan hari - hari suci lainnya, dalam kurun waktu 210 hari (enam Bulan Bali) , setelah umat Hindu bergumbul dalam mengarungi kehidupannya, menghadapi segala cobaan - cobaan baik bersifat phisik maupun bersifat mental spiritual, dan mereka mampu mengatasi berdasarkan pengendalian dirinya, sehingga mereka tetap teguh dalam kebenaran, hal itulah yang disebut dengan “Kemenangan Dharma”. Pada hari suci Galungan, Sang Hyang Widhi turun ke dunia, melalui manifestasiNya sebagai “Sang Hyang Siwa Mahadewa”, (Hyang Siwa Meneng) bersama para Dewata - Dewati, Dewa Pitara, Untuk memberikan restu kepada umatnya dan kepada santananya masing - masing. Disamping itu para Dewa Pitara ingin menyaksikan swadharma sentananya sebagai keturunan yang “Suputra”, karena atas perbuatan kebajikan dari keturunan yang “Suputra”, karena atas perbuatan kebajikan dari keturunannya yang Suputra, akan dapat memberikan pengaruh tehadap leluhur (Roh Suci) di alam Bhaka menuju kea lam Moksa (Moksrtham Atmanam).
      Penjelasan Hari Raya Galungan tersurat dalam Lontar Sundharigama, di mana hari raya ini dirayakan setiap Budha Kliwon Dungulan sesuai penanggalan kalender Bali. Kata Galungan dalam bahasa Jawa bersinonim dengan kata ‘Dungulan’ yang artinya menang atau unggul yang maknanya adalah mendapatkan kemenangan yang benar dalam hidup ini merupakan sesuatu yang seharusnya kita perjuangkan. Pada hakekatnya Galungan adalah perayaan bagi kemenangan “Dharma” (kebenaran) melawan “Adharma”(Kebatilan). Selain itu, Galungan pada hakikatnya untuk mensinergikan kekuatan suci yang ada dalam diri setiap manusia untuk membangun jiwa yang terang untuk menghapuskan kekuatan gelap (adharma) dalam diri.
Tuhan sebagai pencipta dipuji dan di puja, termasuk leluhur dan nenek moyang keluarga diundang turun ke dunia untuk sementara kembali berada di tengah–tengah anggota keluarga yang masih hidup. Sesajen menyambut kedatangan leluhur itu disajikan pada di sebuah Merajan/sanggah keluarga. Penjor selamat datang dibuat dari bambu melengkung, dihiasi janur dan bunga dan diisi sanggah di bagian bawahnya serta hiasan lamak di pancang di depan pintu masuk rumah masing-masing.

Macam-macam Galungan
Meskipun Galungan itu disebut “Rerahinan Gumi” artinya semua umat wajib melaksanakan, ada pula perbedaan dalam hal perayaannya. Berdasarkan sumber-sumber kepustakaan lontar dan tradisi yang telah berjalan dari abad ke abad telah dikenal adanya tiga jenis Galungan yaitu: Galungan (tanpa ada embel-embel), Galungan Nadi dan Galungan Nara Mangsa. Penjelasannya adalah sebagai berikut:

Galungan
Galungan adalah hari raya yang wajib dilakukan oleh umat Hindu untuk merayakan kemenangan dharma melawan adharma. Berdasarkan keterangan lontar Sundarigama disebutkan “Buda Kliwon Dungulan ngaran Galungan.” Artinya, Galungan itu dirayakan setiap Rabu Kliwon wuku Dungulan. Jadi Galungan itu dirayakan, setiap 210 hari karena yang dipakai dasar menghitung Galungan adalah Panca Wara, Sapta Wara dan Wuku. Kalau Panca Waranya Kliwon, Sapta Waranya Rabu, dan wukunya Dungulan, saat bertemunya ketiga hal itu disebut Hari Raya Galungan.

Galungan Nadi
Galungan yang pertama dirayakan oleh umat Hindu di Bali berdasarkan lontar Purana Bali Dwipa adalah Galungan Nadi yaitu Galungan yang jatuh pada sasih Kapat (Kartika) tanggal 15 (purnama) tahun 804 Saka (882 Masehi) atau pada bulan Oktober.
Disebutkan dalam lontar itu, bahwa pulau Bali saat dirayakan Galungan pertama itu bagaikan Indra Loka. Ini menandakan betapa meriahnya perayaan Galungan pada waktu itu. Perbedaannya dengan Galungan biasa adalah dari segi besarnya upacara dan kemeriahannya. Memang merupakan suatu tradisi di kalangan umat Hindu bahwa kalau upacara agama yang digelar bertepatan dengan bulan purnama maka mereka akan melakukan upacara lebih semarak. Misalnya upacara ngotonin atau upacara hari kelahiran berdasarkan wuku, kalau bertepatan dengan purnama mereka melakukan dengan upacara yang lebih utama dan lebih meriah. Disamping karena ada keyakinan bahwa hari Purnama itu adalah hari yang diberkahi oleh Sanghyang Ketu yaitu Dewa kecemerlangan. Ketu artinya terang (lawan katanya adalah Rau yang artinya gelap). Karena itu Galungan, yang bertepatan dengan bulan purnama disebut Galungan Nadi. Galungan Nadi ini datangnya amat jarang yaitu kurang lebih setiap 10 tahun sekali.

Galungan Nara Mangsa
Galungan Nara Mangsa jatuh bertepatan dengan tilem sasih Kapitu atau sasih Kesanga. Dalam lontar Sundarigama disebutkan sebagai berikut: “Yan Galungan nuju sasih Kapitu, Tilem Galungan, mwang sasih kesanga, rah 9, tenggek 9, Galungan Nara Mangsa ngaran.”
Artinya:
Bila Wuku Dungulan bertepatan dengan sasih Kapitu, Tilem Galungannya dan bila bertepatan dengan sasih Kesanga rah 9, tenggek 9, Galungan Nara Mangsa namanya.
Dalam lontar Sanghyang Aji Swamandala ada menyebutkan hal yang hampir sama sebagai berikut:
Nihan Bhatara ring Dalem pamalan dina ring wong Bali, poma haywa lali elingakna. Yan tekaning sasih Kapitu, anemu wuku Dungulan mwang tilem ring Galungan ika, tan wenang ngegalung wong Baline, Kala Rau ngaranya yan mengkana. Tan kawasa mabanten tumpeng. Mwah yan anemu sasih Kesanga, rah 9 tenggek 9, tunggal kalawan sasih Kapitu, sigug ya mengaba gering ngaran. Wenang mecaru wong Baline pabanten caru ika, nasi cacahan maoran keladi, yan tan anuhut ring Bhatara ring Dalem yanya manurung, moga ta sira kapereg denira Balagadabah.

Artinya:
Inilah petunjuk Bhatara di Pura Dalem (tentang) kotornya hari (hari buruk) bagi manusia, semoga tidak lupa, ingatlah. Bila tiba sasih Kapitu bertepatan dengan wuku Dungulan dan Tilem, pada hari Galungan itu, tidak boleh merayakan Galungan, Kala Rau namanya, bila demikian tidak dibenarkan menghaturkan sesajen yang berisi tumpeng. Dan bila bertepatan dengan sasih Kasanga rah 9, tenggek 9 sama artinya dengan sasih kapitu. Tidak baik itu, membawa penyakit adanya. Seyogyanya orang mengadakan upacara caru yaitu sesajen caru, itu nasi cacahan dicampur ubi keladi. Bila tidak mengikuti petunjuk Bhatara di Pura Dalam (maksudnya bila melanggar) kalian akan diserbu oleh Balagadabah.

            Demikianlah dua sumber pustaka lontar yang berbahasa Jawa Kuna menjelaskan tentang Galungan Nara Mangsa. Dalam lontar Sundarigama disebutkan bahwa pada hari Galungan Nara Mangsa disebutkan “Dewa Mauneb bhuta turun” yang artinya, Dewa tertutup (tapi) Bhutakala yang hadir. Ini berarti Galungan Nara Mangsa itu adalah Galungan raksasa, pemakan daging manusia. Oleh karena itu pada hari Galungan Nara Mangsa tidak dilang-sungkan upacara Galungan sebagaimana mestinya terutama tidak menghaturkan sesajen “tumpeng Galungan”. Pada Galungan Nara Mangsa justru umat dianjurkan menghaturkan caru, berupa nasi cacahan bercampur keladi.
            Demikian pengertian Galungan Nara Mangsa. Palaksanaan upacara Galungan di Bali biasanya diilustrasikan dengan cerita Mayadanawa yang diuraikan panjang lebar dalam lontar Usana Bali sebagai lambang, pertarungan antara aharma melawan adharma. Dharma dilambangkan sebagai Dewa Indra sedangkan adharma dilambangkan oleh Mayadanawa. Mayadanawa diceritakan sebagai raja yang tidak percaya pada adanya Tuhan dan tidak percaya pada keutamaan upacara agama.

Galungan di India
            Hari raya Hindu untuk mengingatkan umat atas pertarungan antara adharma melawan dharma dilaksanakan juga oleh umat Hindu di India. Bahkan kemungkinan besar, parayaan hari raya Galungan di Indonesia mendapat inspirasi atau direkonstruksi dari perayaan upacara Wijaya Dasami di India. Ini bisa dilihat dari kata “Wijaya” (bahasa Sansekerta) yang bersinonim dengan kata “Galungan” dalam bahasa Jawa Kuna. Kedua kata itu artinya “menang”.
            Hari Raya Wijaya Dasami di India disebut pula “Hari Raya Dasara”. Inti perayaan Wijaya Dasami juga dilakukan sepuluh hari seperti Galungan dan Kuningan. Sebelum puncak perayaan, selama sembilan malam umat Hindu di sana melakukan upacara yang disebut Nawa Ratri (artinya sembilan malam). Upacara Nawa Ratri itu dilakukan dengan upacara persembahyangan yang sangat khusuk dipimpin oleh pendeta di rumah-rumah penduduk. Nawa Ratri lebih menekankankan nilai-nilai spiritual sebagai dasar perjuangan melawan adharma. Pada hari kesepuluh berulah dirayakan Wijaya Dasami atau Dasara. Wijaya Dasami lebih menekankan pada rasa kebersamaan, kemeriahan dan kesemarakan untuk masyarakat luas.
            Perayaan Wijaya Dasami dirayakan dua kali setahun dengan perhitungan tahun Surya. Perayaan dilakukan pada bulan Kartika (Oktober) dan bulan Waisaka (April). Perayaan Dasara pada bulan Waisaka atau April disebut pula Durgha Nawa Ratri. Durgha Nawa Ratri ini merupakan perayaan untuk kemenangan dharma melawan adharma dengan ilustrasi cerita kemenangan Dewi Parwati (Dewi Durgha) mengalahkan raksasa Durgha yang bersembunyi di dalam tubuh Mahasura yaitu lembu raksasa yang amat sakti. Karena Dewi Parwati menang, maka diberi julukan Dewi Durgha. Dewi Durgha di India dilukiskan seorang dewi yang amat cantik menunggang singa. Selain itu diyakini sebagai dewi kasih sayang dan amat sakti. Pengertian sakti di India adalah kuat, memiliki kemampuan yang tinggi. Kasih sayang sesungguhnya kasaktian yang paling tinggi nilainya. Berbeda dengan di Bali. Kata sakti sering diartikan sebagai kekuatan yang berkonotasi angker, seram, sangat menakutkan.
Perayaan Durgha Nawa Ratri adalah perjuangan umat untuk meraih kasih sayang Tuhan. Karunia berupa kasih sayang Tuhan adalah karunia yang paling tinggi nilainya. Untuk melawan adharma pertama-tama capailah karunia Tuhan berupa kasih sayang Tuhan. Kasih sayang Tuhanlah merupakan senjata yang paling ampuh melawan adharma.
            Sedangkan upacara Wijaya Dasami pada bulan Kartika (Oktober) disebut Rama Nawa Ratri. Pada Rama Nawa Ratri pemujaan ditujukan pada Sri Rama sebagai Awatara Wisnu. Selama sembilan malam umat mengadakan kegiatan keagamaan yang lebih menekankan pada bobot spiritual untuk mendapatkan kemenangan rohani dan menguasai, keganasan hawa nafsu. Pada hari kesepuluh atau hari Dasara, umat merayakan Wijaya Dasami atau kemenangan hari kesepuluh. Pada hari ini, kota menjadi ramai. Di mana-mana, orang menjual panah sebagai lambang kenenangan. Umumnya umat membuat ogoh-ogoh berbentuk Rahwana, Kumbakarna atau Surphanaka. Ogoh-ogoh besar dan tinggi itu diarak keliling beramai-ramai. Di lapangan umum sudah disiapkan pementasan di mana sudah ada orang yang terpilih untuk memperagakan tokoh Rama, Sita, Laksmana dan Anoman.
            Puncak dari atraksi perjuangan dharma itu yakni Sri Rama melepaskan anak panah di atas panggung yang telah dipersiapkan sebelumnya. Panah itu diatur sedemikian rupa sehingga begitu ogoh-ogoh Rahwana kena panah Sri Rama, ogoh-ogoh itu langsung terbakar dan masyarakat penontonpun bersorak-sorai gembira-ria. Orang yang memperagakan diri sebagai Sri Rama, Dewi Sita, Laksmana dan Anoman mendapat penghormatan luar biasa dari masyarakat Hindu yang menghadiri atraksi keagamaan itu. Anak-anak ramai-ramai dibelikan panah-panahan untuk kebanggaan mereka mengalahkan adharma.
            Kalau kita simak makna hari raya Wijaya Dasami yang digelar dua kali setahun yaitu pada bulan April (Waisaka) dan pada bulan Oktober (Kartika) adalah dua perayaan yang bermakna untuk mendapatkan kasih sayang Tuhan. Kasih sayang itulah suatu “sakti” atau kekuatan manusia yang maha dahsyat untuk mengalahkan adharma. Sedangkan pada bulan Oktober atau Kartika pemujaan ditujukan pada Sri Rama. Sri Rama adalah Awatara Wisnu sebagai dewa Pengayoman atau pelindung dharma. Jadi dapat disimpulkan bahwa tujuan filosofi dari hari raya Wijaya Dasami adalah mendapatkan kasih sayang dan perlindungan Tuhan. Kasih sayang dan perlindungan itulah merupakan kekuatan yang harus dicapai oleh menusia untuk memenangkan dharma. Kemenangan dharma adalah terjaminnya kehidupan yang bahagia lahir batin.
            Kemenangan lahir batin atau dharma menundukkan adharma adalah suatu kebutuhan hidup sehari-hari. Kalau kebutuhan rohani seperti itu dapat kita wujudkan setiap saat maka hidup yang seperti itulah hidup yang didambakan oleh setiap orang. Agar orang tidak sampai lupa maka setiap Budha Kliwon Dungulan, umat diingatkan melalui hari raya Galungan yang berdemensi ritual dan spiritual.
  



             
                  

MAKNA SUGIAN


MAKNA SUGIAN

 Pengertian Hari Suci Sugian
            Hari sucian sugian adalah merupakan hari persiapan sebelum menyambut hari suci Galungan, dan hari suci sugian memilki lagi tahapan-tahapan. Hari sugian mengandung makna  penyucian, makna ini dapat disimak  melalui kosa kata, “sugi”, yaitu: kata sugian berasal dari kata, “sugi”, dan “ya”. Kata sugi dapat diartikan, “Gelang, bersih, Suci”. Sedangkan suku kata “ya”, artinya,  “ada, diadakan”, ( kamus jawa kuna-indonesia) mendapat akhiran “an”, menjadilah bahasa bali kepara, dan menjadi kata sugian, yang artinya, “ Dibuat supaya suci atau disucikan”.
Hari suci sugian memiliki tahapan sebagai berikut:
 Pengertian  Hari  Suci Sugian Tenten
               Hari suci sugian tenten jatuh hari “ Rabu-Pon Waktu Sunggang”, dan kata tenten dimaksudkan adalah “Enten”, (ngentenin, Bhs.Bali), atau mengingatkan kepada Umat Hindu bahwa, hari suci Galungan  akan segerah tiba, kewajiban apa yang harus dipersiapan dan dilaksanakan oleh segenap Umat Hindu. Oleh karena itu pada hari sugian tenten tersebut, semua lapisan  masyarakat hindu  melaksanakan pembersihan secara komprehensip seperti: Membersikan bangunan-bangunan suci, peralatan Upacara,Wastra-wastra pelinggi, dan lain-lainnya.
 Pengertian Hari Sugian Jawa
                Keesokan harinya jauh pada hari, Kamis-Wage-Waktu Sungsang, disebut hari Sugian jawa. Mengenai makna yang terkandung di dalam  pelaksanaan upacara Sugian jawa, dapat  penulis ungkapkan sebagai berikut:
Kata sugian berarti, Penyucian sedangkan kata jawa, berasal  dari namanya  semula yaitu: “Jambu Dwipa”, ( pustaka usan jawa) yang mengandung arti” alam semesta”.
Dengan demikian, pada hari  Suci Sugian jawa, segenap umat Hindu  melaksanakan  upacara  penyucian  terhadap alam semesta, tetapi untuk dibali  mempergunakan  simbol alam semesta  adalah  lingkungan  pemerajan, maka pada hari Sugian  jawa umat Hindu melaksanakan upacara, “mererebu”. Didalam “ lontar Sundharigama, Lamp. 17”, Mengungkapkan sebagai berikut:
 “Ring Rahina Weraspati Wage Wukunia Sungsang, Ngaran Sugi Jawa, Kajari Loke  Meharan Jambu Dwipa Ngaran, Bhuwana, Wenang Amelaku Pretista, Yate Pretistan Bethara Kabeh, Areredoni  Ring Sanggar  Muang Parihyangan,  Meharan Parerebuan, kaduluri  Pangeresikan  Bethara,  Saha  Puspa Wangi, Kunang Wang Weruhing Tattwa Jnana, Apasang Yoga, Sang Wiku  Angagem Puja,  Pan Bethara Tumurun Maring  Madiapada, Amuktya Banten, Anerus Tekeng Galungan, Pakertining Wang, Sesayut Muang Tutuan, Marupa  Sudhamalung, Sawung Petak, Beliwis  Petak, Silih Sinunggal Wenang, Pangarcana Suka-Sukan Arania”.
            Dari isi petikan  lontar  Sundharigama tersebut, sudah jelas telah memberikan tuntunan serta  pengertian tentang upacara hari Suci Sugian Jawa kepada umat Hindu. Tetapi dilaksanakan umat Hindu di masyarakat luas, sering menjadi pertanyaan, karena masih berpengaruhnya sistem  gugontuwon bahwa, bagi yang berasal dari bali mula, melaksanakan upacaranya pada hari sugian Bali, sedangkan yang tadinya berasal dari Jawa ( Majapahit) melaksanakan upacara  pada hari Sugian  Jawa.
            Demikian juga mengenai pelengkap daging dalam upakara Sugian, diantara umat Hindu ada yang berpikiran  bahwa, pada hari ppererebuan harus menghaturkan tiga macam guling yaitu, guling babi, guling itik putih, dan guling ayam putih. Sesunggunya menurut petunjuk sastra  Agama tidak demikian adanya, tetapi sebenarnya pelaksanaan  upacara pererebuan terswebut dilaksanakan pada hari suci sugian Jawa karena, pada hari itu merupakan  hari penyucian  Bhuwana Agung, tidak di bolekan oleh Sastra Agama melaksanakan upacara merebu pada hari Sugian Bali. Karena maksud dari kata “merebu”, adalah “Ngeseng, ( membakar), atau “nyomia” (melebur), sedangkan kalau melaksanakan  pererebuan pada hari Sugian Bali, dikatakan  “Angerebu Dewek”, (membakar diri). Demikian juga mengenai  aturan guling, didalam sastra Agama tidak ada kecap sastra “harus” namun yang dikatakan adalah semampunya ( suku sukan harania), karena guling tersebut adalah  merupakan simbul dari kekuatan “Tri Guna”, yaitu Sattwam Rajas, dan Tamas , demikian juga memiliki makna  sebagai bahasa isyarat kehadapan  dang hyang widhi,  bahwa guling babi sebagai simbul  kekuatan Tamas, bermakna untuk memohon kemandian, guling  itik sebagai simbul kekuatan  Sattwam,  bermakna untuk memohon kedharman, kesucian, sedangkan guling ayam sebagai simbul kekuatan Rajah, bermakna untuk memohon kesidhian kehadapan sang hyang widhi.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan  agar jangan hal itu dipertentangkan, dalam arti salah satu guling  apa saja boleh dihaturkan  menurut kemampuan masing-masing  umat, namun  pada pelaksanaanya harus didasarkan oleh ketulus iklasan  hati sanubari.
Tata Cara Pelaksanaanya:
Upakaranya ( dalam kwantitas utama)
·          Munggah di Kemulan
-          Pejati lengkap asoroh
-          Banten  suci alit asoroh
-          Banten danan, penyeneng, pesucian. 
·          Upakara Ayaban
-          Banten ayaban  tumpeng 21 bungkul
-          Rayunan meulam  guling babi
-          Rayuna meulam  guling itik putih
-          Rayuna meulam  guling  ayam putih
-          Prayascita, bayekawonan
·         Upakara  Pengerebuan
-          Peras  tulung  sayut  dengan nasi untek 5 bungkul  di  alas dengan sebuah ceper, lengkap dengan raka-raka, porosan, mempergunakan sampian pusung, diatas tetandingan  tadi di tumpuk dengan olahan ayam  brumbun  rateng (mateng)  lengkap tetandingan  ulam ini di isi  sebuah canang sari, kemudian diikat menjadi satu ( pesel dadiang  besik). Mengenai banyaknya  membuat tergantung  dari banyaknya bangunan  suci dan bangunan rumah, sampai kepintu  gerbang.
Upakara dalam Kwantitas Madya
-          Pejati asoroh
-          Suci alit asoroh
-          Canang pesucian
·         Upakara Ayabannya
-          Banten  ayaban  tumpeng 7 bungkul
-          Rayunan meulam  guling  itik  putih
-          Rayunan meulam  guling  ayam putih
·         Upakara  pengerebunannya  sama seperti  diatas.
·         Banten  prayascita  banyekawonan
        Upakara dalam Kwantitas  kanista.
·         Munggah di Kemulan
-          Pejati  lengkap  asoroh, penyeneng
-          Canang  pesucian
·         Upakara ayabannya
-          Banten ayaban tumpeng 5 bungkul
-          Rayunan meulam  guling itik putih atau ulam guling ayam putih.
-           Banten prayacista, bayekkawonan
·         Upacara  pengerebuan
-          Banten  pengerebuannya  sama  seperti diatas.
Tata Cara Pelaksanaannya
Mengenai  tata   cara pelaksanaanya sama seperti  pelaksanaan hari Suci yang  lain hanya  Dewa  yang diastawa  saja yang berbeda. Pada  pelaksanaan  upacara ini yang diastawa adalah sebagai berikut:
-          Pengastawa  kehadapan  Sang Hyang  Siwa  Raditya
-          Pengastawa  Kehadapan Hyang  guru
-          Pengastawa kehadapan sang Hyang Tri murti



Sesonteng :
      Nastuti pukulun Bethara sang Hyang Siwa Raditya, Sang Hyang Wulanl Lintang Tranggana, mekadi Sang Hyang Trio Dasa Saksi, Bethara Hyang Guru, Mua Bethara Sang Hyang Tri Purusa, Saksinin pangubhaktin pinakemulun, anga turaken tada saji pawitra saprekaranin daksina, aruntutana saji pererebuan, asung kerta anungeraha paduka bethara, menugeraha tirtha pengnglukatan pebersihan, amelukat sarwa mala papa petaka. Sebel kandel maring bhuwana muah parihyangan kabeh metemahan sudha nirmala yenamah suaha. Ong Sriyambawantu, Purnam Bhawantu, Sukham a bhawantu, Ong Hrang  Hring Syah Parama Siwa Ditya yenama suaha.

   Setelah selesai mengucapkan mantra pengastawa, selanjutnya menghaturkan kesucian, dengan memercikan tirtha bayekawonan, tirtha prayasita dan ayabayan penyeneng kepelinggi kemulan, setelah itu ketempat bangunan suci lainya, kebangunan rumah, dan kepintu gerbang (lebuh).
    Setelah pelaksanaan penyucian selesai, dilanjutkan dengan menghaturkan ayaban, dengan mengucapkan mantra yang sama seperti didepan.
   Kemudian sang pengantep, menghaturkan upakara pererebuana dengan mengucapkan mantra sebagai berikut.

      Mang, Ung, Ang, Wem Ong, Padma Sana Yenamah Sa, Ba, Ta,  A, I, Sarwa Bhuta YenamahSwadha Ndah T Kita sang Bhuta bucari, Sang Kala bucari, Muah Sang Durga Bhucari, Mari Sira Mona, Ajakan Kala Wadwan Sira Kabeh, ingsun Paweh Sira Tadah Saji sanggraha, sega Untek, Maiwak Ayam Brumbun Ingolah Rikan Cana, Iki Tadah Sajinira, Sama Suka Sama Lolia Sira Pilih Kabelanira Suang-suang, Wus Sira Anadah Saji Ingsung Aminta Kesidhin Ta, Aja Sira kari Angadakaken Drewala-drewali, Lara Loga Kegeringan, Sebel Kandel Ring Bhuwana Agung Muah Bhuawana Alit, Angadakaken Sira Urip Waras Dirga Yusa Jagate, NgerarisSira Amukti Sari, Sumurup Sira Menadi Dewa-Dewi, Pemantuk Sira Ring Dangkahyangan Suang-suang, Pasang Sarga Sira Ring Bethara Siwa, Ong Ing Namah.

            Setelah itu dilanjutkan mengucapkan mantra pabuktyan bhuta yaitu:
Ong, Bhuktyantu Durga katara Bhuktiantu Kala Mewaca Bhukyantu Sarwa Bhutanam Ang, Ah, Amertha Bhuta Yenamah Swada. Ang, Ung, Mang, Siwa Mertha yenamah Swaha.

            Sesudah selesai mengucapkan mantra pabuktyannya dilanjutkan dengan mengucapkan mantra penyomia, atau pemerelina bhuta, yaitu:

            A, Ta, Sa, Ba, I, sarwa Bhuta, Kala Durga Murswah Wesat, Ah......Ang.

            Sesudah itu melaksanakan bersembahyangan, dilanjutkan metirha dan memakai biji. ( sebelumnya memercikkan tirtha bayekawonan dan prayascita pada diri sendiri).
            Setelah semuah kegiatan nganteb selesai, maka dilanjutkan dengan meletakkan banten pererebuan tadih dihadapan bangunanp-baangunan, baik rumah, sampai ke lebuh  (pintu gerbang), diletakkan ibawah serta  metetabuhan aarak berem. Karena pelaksanaan ini bersifat pralina (nyomia), makaa tetabuhannya memiliki ethika, dengan menyiratkan araknya dahulu kemudian baru beremnya (karena arak sebagai simbul biji mantra Ah  dan beremnya sebagai simbul biji mantra Ang). Dengan selesainya metetabuhan, selesai juga pelaksanaan dari upacara hari Sugian Jawa.

Pengertian Hari Suci Sugian Bali
            Keesokan harinya, tepat pada hari Jumat-Keliwon-Wuku Sungsang, dikenal dengan sebutan hari suci Sugian Bali.

Kenapa disebut Sugian Bali ?......
            Karena pada hari Suci Sugian Bali, adalah merupakan hari penyucian isi alam semesta ini, termasuk semua makhluk harus menyucikan diri. Karena makhluk tumbuh-tumbuhan dan binatang, tidak memiliki akal dan pikiran, maka manusialah sebagai wakil (mewakili) penyucian diri dari semuah makhluk didunia. Oleh karena itu, penulis mencoba memberi penjelasan mengenai makna yang terkandung didalam pelaksanaan upacara hari Suci Sungian Bali ini, melalui kosa kata dari kata “Bali”. Kata Bali mengalami perubahan bunyi, dari konsonan huruf “B” menjadi konsonan huruf “W”, yang dapat diberikan arti, “Sebagai Wali, atau Wakil”. Dengan dengan demikian, pelaksanaan hari Suci Sugian Bali, sesunggunya adalah hari penyucian Bhuawana alit/ pada diri sendiri, dan pada saat inilah sesunggunya umat Hindu semua melaksanakan penyucian diri dengan jalan melaksanakan tapa brata yoga samadhi, seta memohon tirtha “GOCARA”, kehadapan Hyang Siwa Guru di pemerajaan masing-masing.

            Didalam lontar “Sundharigama, lamp. 21”, menyebutkan antara lain :

               Sukra Keliwon Wuku Sungsang, Mengaran Sugi Bali, Pakenania Amerastitaning Raga Tawulan Riprewaken Tapa Brata Yoga Samadhi, Muang Anadaha Tirtha Gocara, Alukata Ring Sang Pandita Siwa Paksa Lan Budha Paksa, Maka Panelasing Letuh Ring Sarira.

Dari petunjuk sastra diatas, sudah jelas umat Hindu diberikan tuntunan agar, betul-betul mengerti tentang makna dan tujuan dari pelaksanaan upacara hari suci Sugian Bali.

Tata cara Pelaksanaannya :
Mengenai tatacara pelaksanaannya seperti bersembahyang biasa di pemerajan, dengan mempergunakan hanya banten soda saja munggah pada pelinggih-pelinggih.



Literasi Digital Versi Aplikasi Book Creator Hindu

            Literasi serasa sepi, karena kemampuan peserta didik dalam hobby membaca sebagai bagian dari literasi mulai menurun dari kurun w...