MAKNA GALUNGAN
Pengertian
Hari Raya Galungan
Hari Raya Galungan
jatuh pada hari Rabu Kliwon Dungulan yang diperingati sebagai tonggak
kemenangan Dharma melawan Adharma dalam pergulatannya selama tiga hari dari
hari Minggu paing sampai hari Selasa Wage Dungulan. Keesokannya kemenangan
Dharma itu diperingati dengan tonggak - tonggak kemenangan Dharma yang
diwujudkan oleh umat Hindu dengan Penjor. Adapun penjor ini telah ditancapkan
pada hari Selasa sore. Dalam membuat penjor pada saat hari Galungan ada
ketentuan khusus yakni : bila hari raya Galungan itu jatuh pada saat bulan
Purnama disebut Galungan Nadi, Penjor yang dibuat di sini adalah penjor dengan
bambu yang dikerik di bawahnya. Sedangkan bila Galungan jatuh pada saaat Tilem
pemasangan penjor hendaknya dilengkapi dengan lampu (Sukarta,dkk, 2002 : 52).
(I.B Putu Sudarsana, 2003 : 57) menyatakan hari suci
Galungan adalah merupakan titik kulminasi dari pelaksanaan hari - hari suci
lainnya, dalam kurun waktu 210 hari (enam Bulan Bali) , setelah umat Hindu
bergumbul dalam mengarungi kehidupannya, menghadapi segala cobaan - cobaan baik
bersifat phisik maupun bersifat mental spiritual, dan mereka mampu mengatasi
berdasarkan pengendalian dirinya, sehingga mereka tetap teguh dalam kebenaran,
hal itulah yang disebut dengan “Kemenangan
Dharma”. Pada hari suci Galungan, Sang Hyang Widhi turun ke dunia, melalui
manifestasiNya sebagai “Sang Hyang Siwa
Mahadewa”, (Hyang Siwa Meneng) bersama para Dewata - Dewati, Dewa Pitara,
Untuk memberikan restu kepada umatnya dan kepada santananya masing - masing.
Disamping itu para Dewa Pitara ingin menyaksikan swadharma sentananya sebagai
keturunan yang “Suputra”, karena atas perbuatan kebajikan dari keturunan yang “Suputra”, karena atas perbuatan
kebajikan dari keturunannya yang Suputra, akan dapat memberikan pengaruh
tehadap leluhur (Roh Suci) di alam Bhaka menuju kea lam Moksa (Moksrtham Atmanam).
Penjelasan
Hari Raya Galungan tersurat
dalam Lontar Sundharigama, di
mana hari raya ini dirayakan setiap Budha
Kliwon Dungulan sesuai penanggalan kalender Bali. Kata Galungan dalam
bahasa Jawa bersinonim dengan kata ‘Dungulan’
yang artinya menang atau unggul
yang maknanya adalah mendapatkan kemenangan yang benar dalam hidup ini
merupakan sesuatu yang seharusnya kita perjuangkan. Pada hakekatnya Galungan
adalah perayaan bagi kemenangan “Dharma” (kebenaran) melawan
“Adharma”(Kebatilan). Selain itu, Galungan pada hakikatnya untuk mensinergikan
kekuatan suci yang ada dalam diri setiap manusia untuk membangun jiwa yang
terang untuk menghapuskan kekuatan gelap (adharma) dalam diri.
Tuhan
sebagai pencipta dipuji dan di puja, termasuk leluhur dan nenek moyang keluarga
diundang turun ke dunia untuk sementara kembali berada di tengah–tengah anggota
keluarga yang masih hidup. Sesajen menyambut kedatangan leluhur itu disajikan
pada di sebuah Merajan/sanggah keluarga. Penjor selamat datang dibuat dari
bambu melengkung, dihiasi janur dan bunga dan diisi sanggah di bagian bawahnya
serta hiasan lamak di pancang di depan pintu masuk rumah masing-masing.
Macam-macam
Galungan
Meskipun
Galungan itu disebut “Rerahinan Gumi” artinya semua umat wajib melaksanakan,
ada pula perbedaan dalam hal perayaannya. Berdasarkan sumber-sumber kepustakaan
lontar dan tradisi yang telah berjalan dari abad ke abad telah dikenal adanya
tiga jenis Galungan yaitu: Galungan (tanpa ada embel-embel), Galungan Nadi dan
Galungan Nara Mangsa. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
Galungan
Galungan
adalah hari raya yang wajib dilakukan oleh umat Hindu untuk merayakan
kemenangan dharma melawan adharma. Berdasarkan keterangan lontar Sundarigama
disebutkan “Buda Kliwon Dungulan ngaran Galungan.” Artinya, Galungan itu
dirayakan setiap Rabu Kliwon wuku Dungulan. Jadi Galungan itu dirayakan, setiap
210 hari karena yang dipakai dasar menghitung Galungan adalah Panca Wara, Sapta
Wara dan Wuku. Kalau Panca Waranya Kliwon, Sapta Waranya Rabu, dan wukunya
Dungulan, saat bertemunya ketiga hal itu disebut Hari Raya Galungan.
Galungan
Nadi
Galungan
yang pertama dirayakan oleh umat Hindu di Bali berdasarkan lontar Purana Bali
Dwipa adalah Galungan Nadi yaitu Galungan yang jatuh pada sasih Kapat (Kartika)
tanggal 15 (purnama) tahun 804 Saka (882 Masehi) atau pada bulan Oktober.
Disebutkan
dalam lontar itu, bahwa pulau Bali saat dirayakan Galungan pertama itu bagaikan
Indra Loka. Ini menandakan betapa meriahnya perayaan Galungan pada waktu itu.
Perbedaannya dengan Galungan biasa adalah dari segi besarnya upacara dan
kemeriahannya. Memang merupakan suatu tradisi di kalangan umat Hindu bahwa
kalau upacara agama yang digelar bertepatan dengan bulan purnama maka mereka
akan melakukan upacara lebih semarak. Misalnya upacara ngotonin atau upacara
hari kelahiran berdasarkan wuku, kalau bertepatan dengan purnama mereka
melakukan dengan upacara yang lebih utama dan lebih meriah. Disamping karena
ada keyakinan bahwa hari Purnama itu adalah hari yang diberkahi oleh Sanghyang
Ketu yaitu Dewa kecemerlangan. Ketu artinya terang (lawan katanya adalah Rau
yang artinya gelap). Karena itu Galungan, yang bertepatan dengan bulan purnama
disebut Galungan Nadi. Galungan Nadi ini datangnya amat jarang yaitu kurang
lebih setiap 10 tahun sekali.
Galungan
Nara Mangsa
Galungan
Nara Mangsa jatuh bertepatan dengan tilem sasih Kapitu atau sasih Kesanga.
Dalam lontar Sundarigama disebutkan sebagai berikut: “Yan Galungan nuju
sasih Kapitu, Tilem Galungan, mwang sasih kesanga, rah 9, tenggek 9, Galungan
Nara Mangsa ngaran.”
Artinya:
Bila
Wuku Dungulan bertepatan dengan sasih Kapitu, Tilem Galungannya dan bila
bertepatan dengan sasih Kesanga rah 9, tenggek 9, Galungan Nara Mangsa namanya.
Dalam
lontar Sanghyang Aji Swamandala ada menyebutkan hal yang hampir sama sebagai
berikut:
Nihan
Bhatara ring Dalem pamalan dina ring wong Bali, poma haywa lali elingakna. Yan
tekaning sasih Kapitu, anemu wuku Dungulan mwang tilem ring Galungan ika, tan
wenang ngegalung wong Baline, Kala Rau ngaranya yan mengkana. Tan kawasa
mabanten tumpeng. Mwah yan anemu sasih Kesanga, rah 9 tenggek 9, tunggal
kalawan sasih Kapitu, sigug ya mengaba gering ngaran. Wenang mecaru wong Baline
pabanten caru ika, nasi cacahan maoran keladi, yan tan anuhut ring Bhatara ring
Dalem yanya manurung, moga ta sira kapereg denira Balagadabah.
Artinya:
Artinya:
Inilah
petunjuk Bhatara di Pura Dalem (tentang) kotornya hari (hari buruk) bagi
manusia, semoga tidak lupa, ingatlah. Bila tiba sasih Kapitu bertepatan dengan
wuku Dungulan dan Tilem, pada hari Galungan itu, tidak boleh merayakan
Galungan, Kala Rau namanya, bila demikian tidak dibenarkan menghaturkan sesajen
yang berisi tumpeng. Dan bila bertepatan dengan sasih Kasanga rah 9, tenggek 9
sama artinya dengan sasih kapitu. Tidak baik itu, membawa penyakit adanya.
Seyogyanya orang mengadakan upacara caru yaitu sesajen caru, itu nasi cacahan
dicampur ubi keladi. Bila tidak mengikuti petunjuk Bhatara di Pura Dalam
(maksudnya bila melanggar) kalian akan diserbu oleh Balagadabah.
Demikianlah
dua sumber pustaka lontar yang berbahasa Jawa Kuna menjelaskan tentang Galungan
Nara Mangsa. Dalam lontar Sundarigama disebutkan bahwa pada hari Galungan Nara
Mangsa disebutkan “Dewa Mauneb bhuta turun” yang artinya, Dewa tertutup (tapi)
Bhutakala yang hadir. Ini berarti Galungan Nara Mangsa itu adalah Galungan
raksasa, pemakan daging manusia. Oleh karena itu pada hari Galungan Nara Mangsa
tidak dilang-sungkan upacara Galungan sebagaimana mestinya terutama tidak
menghaturkan sesajen “tumpeng Galungan”. Pada Galungan Nara Mangsa justru umat
dianjurkan menghaturkan caru, berupa nasi cacahan bercampur keladi.
Demikian
pengertian Galungan Nara Mangsa. Palaksanaan upacara Galungan di Bali biasanya
diilustrasikan dengan cerita Mayadanawa yang diuraikan panjang lebar dalam
lontar Usana Bali sebagai lambang, pertarungan antara aharma melawan adharma.
Dharma dilambangkan sebagai Dewa Indra sedangkan adharma dilambangkan oleh
Mayadanawa. Mayadanawa diceritakan sebagai raja yang tidak percaya pada adanya
Tuhan dan tidak percaya pada keutamaan upacara agama.
Galungan di India
Hari
raya Hindu untuk mengingatkan umat atas pertarungan antara adharma melawan dharma
dilaksanakan juga oleh umat Hindu di India. Bahkan kemungkinan besar, parayaan
hari raya Galungan di Indonesia mendapat inspirasi atau direkonstruksi dari
perayaan upacara Wijaya Dasami di India. Ini bisa dilihat dari kata “Wijaya”
(bahasa Sansekerta) yang bersinonim dengan kata “Galungan” dalam bahasa Jawa
Kuna. Kedua kata itu artinya “menang”.
Hari
Raya Wijaya Dasami di India disebut pula “Hari Raya Dasara”. Inti perayaan
Wijaya Dasami juga dilakukan sepuluh hari seperti Galungan dan Kuningan. Sebelum
puncak perayaan, selama sembilan malam umat Hindu di sana melakukan upacara
yang disebut Nawa Ratri (artinya sembilan malam). Upacara Nawa Ratri itu
dilakukan dengan upacara persembahyangan yang sangat khusuk dipimpin oleh
pendeta di rumah-rumah penduduk. Nawa Ratri lebih menekankankan nilai-nilai
spiritual sebagai dasar perjuangan melawan adharma. Pada hari kesepuluh berulah
dirayakan Wijaya Dasami atau Dasara. Wijaya Dasami lebih menekankan pada rasa
kebersamaan, kemeriahan dan kesemarakan untuk masyarakat luas.
Perayaan
Wijaya Dasami dirayakan dua kali setahun dengan perhitungan tahun Surya.
Perayaan dilakukan pada bulan Kartika (Oktober) dan bulan Waisaka (April).
Perayaan Dasara pada bulan Waisaka atau April disebut pula Durgha Nawa Ratri.
Durgha Nawa Ratri ini merupakan perayaan untuk kemenangan dharma melawan
adharma dengan ilustrasi cerita kemenangan Dewi Parwati (Dewi Durgha)
mengalahkan raksasa Durgha yang bersembunyi di dalam tubuh Mahasura yaitu lembu
raksasa yang amat sakti. Karena Dewi Parwati menang, maka diberi julukan Dewi
Durgha. Dewi Durgha di India dilukiskan seorang dewi yang amat cantik
menunggang singa. Selain itu diyakini sebagai dewi kasih sayang dan amat sakti.
Pengertian sakti di India adalah kuat, memiliki kemampuan yang tinggi. Kasih
sayang sesungguhnya kasaktian yang paling tinggi nilainya. Berbeda dengan di
Bali. Kata sakti sering diartikan sebagai kekuatan yang berkonotasi angker,
seram, sangat menakutkan.
Perayaan
Durgha Nawa Ratri adalah perjuangan umat untuk meraih kasih sayang Tuhan.
Karunia berupa kasih sayang Tuhan adalah karunia yang paling tinggi nilainya.
Untuk melawan adharma pertama-tama capailah karunia Tuhan berupa kasih sayang
Tuhan. Kasih sayang Tuhanlah merupakan senjata yang paling ampuh melawan
adharma.
Sedangkan
upacara Wijaya Dasami pada bulan Kartika (Oktober) disebut Rama Nawa Ratri.
Pada Rama Nawa Ratri pemujaan ditujukan pada Sri Rama sebagai Awatara Wisnu.
Selama sembilan malam umat mengadakan kegiatan keagamaan yang lebih menekankan
pada bobot spiritual untuk mendapatkan kemenangan rohani dan menguasai,
keganasan hawa nafsu. Pada hari kesepuluh atau hari Dasara, umat merayakan
Wijaya Dasami atau kemenangan hari kesepuluh. Pada hari ini, kota menjadi
ramai. Di mana-mana, orang menjual panah sebagai lambang kenenangan. Umumnya
umat membuat ogoh-ogoh berbentuk Rahwana, Kumbakarna atau Surphanaka. Ogoh-ogoh
besar dan tinggi itu diarak keliling beramai-ramai. Di lapangan umum sudah
disiapkan pementasan di mana sudah ada orang yang terpilih untuk memperagakan
tokoh Rama, Sita, Laksmana dan Anoman.
Puncak
dari atraksi perjuangan dharma itu yakni Sri Rama melepaskan anak panah di atas
panggung yang telah dipersiapkan sebelumnya. Panah itu diatur sedemikian rupa
sehingga begitu ogoh-ogoh Rahwana kena panah Sri Rama, ogoh-ogoh itu langsung
terbakar dan masyarakat penontonpun bersorak-sorai gembira-ria. Orang yang
memperagakan diri sebagai Sri Rama, Dewi Sita, Laksmana dan Anoman mendapat
penghormatan luar biasa dari masyarakat Hindu yang menghadiri atraksi keagamaan
itu. Anak-anak ramai-ramai dibelikan panah-panahan untuk kebanggaan mereka
mengalahkan adharma.
Kalau
kita simak makna hari raya Wijaya Dasami yang digelar dua kali setahun yaitu
pada bulan April (Waisaka) dan pada bulan Oktober (Kartika) adalah dua perayaan
yang bermakna untuk mendapatkan kasih sayang Tuhan. Kasih sayang itulah suatu
“sakti” atau kekuatan manusia yang maha dahsyat untuk mengalahkan adharma.
Sedangkan pada bulan Oktober atau Kartika pemujaan ditujukan pada Sri Rama. Sri
Rama adalah Awatara Wisnu sebagai dewa Pengayoman atau pelindung dharma. Jadi
dapat disimpulkan bahwa tujuan filosofi dari hari raya Wijaya Dasami adalah
mendapatkan kasih sayang dan perlindungan Tuhan. Kasih sayang dan perlindungan
itulah merupakan kekuatan yang harus dicapai oleh menusia untuk memenangkan
dharma. Kemenangan dharma adalah terjaminnya kehidupan yang bahagia lahir
batin.
Kemenangan
lahir batin atau dharma menundukkan adharma adalah suatu kebutuhan hidup
sehari-hari. Kalau kebutuhan rohani seperti itu dapat kita wujudkan setiap saat
maka hidup yang seperti itulah hidup yang didambakan oleh setiap orang. Agar
orang tidak sampai lupa maka setiap Budha Kliwon Dungulan, umat diingatkan
melalui hari raya Galungan yang berdemensi ritual dan spiritual.
No comments:
Post a Comment