Saturday, June 17, 2017

Makna Galungan



MAKNA GALUNGAN


Pengertian Hari Raya Galungan
             Hari Raya Galungan jatuh pada hari Rabu Kliwon Dungulan yang diperingati sebagai tonggak kemenangan Dharma melawan Adharma dalam pergulatannya selama tiga hari dari hari Minggu paing sampai hari Selasa Wage Dungulan. Keesokannya kemenangan Dharma itu diperingati dengan tonggak - tonggak kemenangan Dharma yang diwujudkan oleh umat Hindu dengan Penjor. Adapun penjor ini telah ditancapkan pada hari Selasa sore. Dalam membuat penjor pada saat hari Galungan ada ketentuan khusus yakni : bila hari raya Galungan itu jatuh pada saat bulan Purnama disebut Galungan Nadi, Penjor yang dibuat di sini adalah penjor dengan bambu yang dikerik di bawahnya. Sedangkan bila Galungan jatuh pada saaat Tilem pemasangan penjor hendaknya dilengkapi dengan lampu (Sukarta,dkk, 2002 : 52).
            (I.B Putu Sudarsana, 2003 : 57) menyatakan hari suci Galungan adalah merupakan titik kulminasi dari pelaksanaan hari - hari suci lainnya, dalam kurun waktu 210 hari (enam Bulan Bali) , setelah umat Hindu bergumbul dalam mengarungi kehidupannya, menghadapi segala cobaan - cobaan baik bersifat phisik maupun bersifat mental spiritual, dan mereka mampu mengatasi berdasarkan pengendalian dirinya, sehingga mereka tetap teguh dalam kebenaran, hal itulah yang disebut dengan “Kemenangan Dharma”. Pada hari suci Galungan, Sang Hyang Widhi turun ke dunia, melalui manifestasiNya sebagai “Sang Hyang Siwa Mahadewa”, (Hyang Siwa Meneng) bersama para Dewata - Dewati, Dewa Pitara, Untuk memberikan restu kepada umatnya dan kepada santananya masing - masing. Disamping itu para Dewa Pitara ingin menyaksikan swadharma sentananya sebagai keturunan yang “Suputra”, karena atas perbuatan kebajikan dari keturunan yang “Suputra”, karena atas perbuatan kebajikan dari keturunannya yang Suputra, akan dapat memberikan pengaruh tehadap leluhur (Roh Suci) di alam Bhaka menuju kea lam Moksa (Moksrtham Atmanam).
      Penjelasan Hari Raya Galungan tersurat dalam Lontar Sundharigama, di mana hari raya ini dirayakan setiap Budha Kliwon Dungulan sesuai penanggalan kalender Bali. Kata Galungan dalam bahasa Jawa bersinonim dengan kata ‘Dungulan’ yang artinya menang atau unggul yang maknanya adalah mendapatkan kemenangan yang benar dalam hidup ini merupakan sesuatu yang seharusnya kita perjuangkan. Pada hakekatnya Galungan adalah perayaan bagi kemenangan “Dharma” (kebenaran) melawan “Adharma”(Kebatilan). Selain itu, Galungan pada hakikatnya untuk mensinergikan kekuatan suci yang ada dalam diri setiap manusia untuk membangun jiwa yang terang untuk menghapuskan kekuatan gelap (adharma) dalam diri.
Tuhan sebagai pencipta dipuji dan di puja, termasuk leluhur dan nenek moyang keluarga diundang turun ke dunia untuk sementara kembali berada di tengah–tengah anggota keluarga yang masih hidup. Sesajen menyambut kedatangan leluhur itu disajikan pada di sebuah Merajan/sanggah keluarga. Penjor selamat datang dibuat dari bambu melengkung, dihiasi janur dan bunga dan diisi sanggah di bagian bawahnya serta hiasan lamak di pancang di depan pintu masuk rumah masing-masing.

Macam-macam Galungan
Meskipun Galungan itu disebut “Rerahinan Gumi” artinya semua umat wajib melaksanakan, ada pula perbedaan dalam hal perayaannya. Berdasarkan sumber-sumber kepustakaan lontar dan tradisi yang telah berjalan dari abad ke abad telah dikenal adanya tiga jenis Galungan yaitu: Galungan (tanpa ada embel-embel), Galungan Nadi dan Galungan Nara Mangsa. Penjelasannya adalah sebagai berikut:

Galungan
Galungan adalah hari raya yang wajib dilakukan oleh umat Hindu untuk merayakan kemenangan dharma melawan adharma. Berdasarkan keterangan lontar Sundarigama disebutkan “Buda Kliwon Dungulan ngaran Galungan.” Artinya, Galungan itu dirayakan setiap Rabu Kliwon wuku Dungulan. Jadi Galungan itu dirayakan, setiap 210 hari karena yang dipakai dasar menghitung Galungan adalah Panca Wara, Sapta Wara dan Wuku. Kalau Panca Waranya Kliwon, Sapta Waranya Rabu, dan wukunya Dungulan, saat bertemunya ketiga hal itu disebut Hari Raya Galungan.

Galungan Nadi
Galungan yang pertama dirayakan oleh umat Hindu di Bali berdasarkan lontar Purana Bali Dwipa adalah Galungan Nadi yaitu Galungan yang jatuh pada sasih Kapat (Kartika) tanggal 15 (purnama) tahun 804 Saka (882 Masehi) atau pada bulan Oktober.
Disebutkan dalam lontar itu, bahwa pulau Bali saat dirayakan Galungan pertama itu bagaikan Indra Loka. Ini menandakan betapa meriahnya perayaan Galungan pada waktu itu. Perbedaannya dengan Galungan biasa adalah dari segi besarnya upacara dan kemeriahannya. Memang merupakan suatu tradisi di kalangan umat Hindu bahwa kalau upacara agama yang digelar bertepatan dengan bulan purnama maka mereka akan melakukan upacara lebih semarak. Misalnya upacara ngotonin atau upacara hari kelahiran berdasarkan wuku, kalau bertepatan dengan purnama mereka melakukan dengan upacara yang lebih utama dan lebih meriah. Disamping karena ada keyakinan bahwa hari Purnama itu adalah hari yang diberkahi oleh Sanghyang Ketu yaitu Dewa kecemerlangan. Ketu artinya terang (lawan katanya adalah Rau yang artinya gelap). Karena itu Galungan, yang bertepatan dengan bulan purnama disebut Galungan Nadi. Galungan Nadi ini datangnya amat jarang yaitu kurang lebih setiap 10 tahun sekali.

Galungan Nara Mangsa
Galungan Nara Mangsa jatuh bertepatan dengan tilem sasih Kapitu atau sasih Kesanga. Dalam lontar Sundarigama disebutkan sebagai berikut: “Yan Galungan nuju sasih Kapitu, Tilem Galungan, mwang sasih kesanga, rah 9, tenggek 9, Galungan Nara Mangsa ngaran.”
Artinya:
Bila Wuku Dungulan bertepatan dengan sasih Kapitu, Tilem Galungannya dan bila bertepatan dengan sasih Kesanga rah 9, tenggek 9, Galungan Nara Mangsa namanya.
Dalam lontar Sanghyang Aji Swamandala ada menyebutkan hal yang hampir sama sebagai berikut:
Nihan Bhatara ring Dalem pamalan dina ring wong Bali, poma haywa lali elingakna. Yan tekaning sasih Kapitu, anemu wuku Dungulan mwang tilem ring Galungan ika, tan wenang ngegalung wong Baline, Kala Rau ngaranya yan mengkana. Tan kawasa mabanten tumpeng. Mwah yan anemu sasih Kesanga, rah 9 tenggek 9, tunggal kalawan sasih Kapitu, sigug ya mengaba gering ngaran. Wenang mecaru wong Baline pabanten caru ika, nasi cacahan maoran keladi, yan tan anuhut ring Bhatara ring Dalem yanya manurung, moga ta sira kapereg denira Balagadabah.

Artinya:
Inilah petunjuk Bhatara di Pura Dalem (tentang) kotornya hari (hari buruk) bagi manusia, semoga tidak lupa, ingatlah. Bila tiba sasih Kapitu bertepatan dengan wuku Dungulan dan Tilem, pada hari Galungan itu, tidak boleh merayakan Galungan, Kala Rau namanya, bila demikian tidak dibenarkan menghaturkan sesajen yang berisi tumpeng. Dan bila bertepatan dengan sasih Kasanga rah 9, tenggek 9 sama artinya dengan sasih kapitu. Tidak baik itu, membawa penyakit adanya. Seyogyanya orang mengadakan upacara caru yaitu sesajen caru, itu nasi cacahan dicampur ubi keladi. Bila tidak mengikuti petunjuk Bhatara di Pura Dalam (maksudnya bila melanggar) kalian akan diserbu oleh Balagadabah.

            Demikianlah dua sumber pustaka lontar yang berbahasa Jawa Kuna menjelaskan tentang Galungan Nara Mangsa. Dalam lontar Sundarigama disebutkan bahwa pada hari Galungan Nara Mangsa disebutkan “Dewa Mauneb bhuta turun” yang artinya, Dewa tertutup (tapi) Bhutakala yang hadir. Ini berarti Galungan Nara Mangsa itu adalah Galungan raksasa, pemakan daging manusia. Oleh karena itu pada hari Galungan Nara Mangsa tidak dilang-sungkan upacara Galungan sebagaimana mestinya terutama tidak menghaturkan sesajen “tumpeng Galungan”. Pada Galungan Nara Mangsa justru umat dianjurkan menghaturkan caru, berupa nasi cacahan bercampur keladi.
            Demikian pengertian Galungan Nara Mangsa. Palaksanaan upacara Galungan di Bali biasanya diilustrasikan dengan cerita Mayadanawa yang diuraikan panjang lebar dalam lontar Usana Bali sebagai lambang, pertarungan antara aharma melawan adharma. Dharma dilambangkan sebagai Dewa Indra sedangkan adharma dilambangkan oleh Mayadanawa. Mayadanawa diceritakan sebagai raja yang tidak percaya pada adanya Tuhan dan tidak percaya pada keutamaan upacara agama.

Galungan di India
            Hari raya Hindu untuk mengingatkan umat atas pertarungan antara adharma melawan dharma dilaksanakan juga oleh umat Hindu di India. Bahkan kemungkinan besar, parayaan hari raya Galungan di Indonesia mendapat inspirasi atau direkonstruksi dari perayaan upacara Wijaya Dasami di India. Ini bisa dilihat dari kata “Wijaya” (bahasa Sansekerta) yang bersinonim dengan kata “Galungan” dalam bahasa Jawa Kuna. Kedua kata itu artinya “menang”.
            Hari Raya Wijaya Dasami di India disebut pula “Hari Raya Dasara”. Inti perayaan Wijaya Dasami juga dilakukan sepuluh hari seperti Galungan dan Kuningan. Sebelum puncak perayaan, selama sembilan malam umat Hindu di sana melakukan upacara yang disebut Nawa Ratri (artinya sembilan malam). Upacara Nawa Ratri itu dilakukan dengan upacara persembahyangan yang sangat khusuk dipimpin oleh pendeta di rumah-rumah penduduk. Nawa Ratri lebih menekankankan nilai-nilai spiritual sebagai dasar perjuangan melawan adharma. Pada hari kesepuluh berulah dirayakan Wijaya Dasami atau Dasara. Wijaya Dasami lebih menekankan pada rasa kebersamaan, kemeriahan dan kesemarakan untuk masyarakat luas.
            Perayaan Wijaya Dasami dirayakan dua kali setahun dengan perhitungan tahun Surya. Perayaan dilakukan pada bulan Kartika (Oktober) dan bulan Waisaka (April). Perayaan Dasara pada bulan Waisaka atau April disebut pula Durgha Nawa Ratri. Durgha Nawa Ratri ini merupakan perayaan untuk kemenangan dharma melawan adharma dengan ilustrasi cerita kemenangan Dewi Parwati (Dewi Durgha) mengalahkan raksasa Durgha yang bersembunyi di dalam tubuh Mahasura yaitu lembu raksasa yang amat sakti. Karena Dewi Parwati menang, maka diberi julukan Dewi Durgha. Dewi Durgha di India dilukiskan seorang dewi yang amat cantik menunggang singa. Selain itu diyakini sebagai dewi kasih sayang dan amat sakti. Pengertian sakti di India adalah kuat, memiliki kemampuan yang tinggi. Kasih sayang sesungguhnya kasaktian yang paling tinggi nilainya. Berbeda dengan di Bali. Kata sakti sering diartikan sebagai kekuatan yang berkonotasi angker, seram, sangat menakutkan.
Perayaan Durgha Nawa Ratri adalah perjuangan umat untuk meraih kasih sayang Tuhan. Karunia berupa kasih sayang Tuhan adalah karunia yang paling tinggi nilainya. Untuk melawan adharma pertama-tama capailah karunia Tuhan berupa kasih sayang Tuhan. Kasih sayang Tuhanlah merupakan senjata yang paling ampuh melawan adharma.
            Sedangkan upacara Wijaya Dasami pada bulan Kartika (Oktober) disebut Rama Nawa Ratri. Pada Rama Nawa Ratri pemujaan ditujukan pada Sri Rama sebagai Awatara Wisnu. Selama sembilan malam umat mengadakan kegiatan keagamaan yang lebih menekankan pada bobot spiritual untuk mendapatkan kemenangan rohani dan menguasai, keganasan hawa nafsu. Pada hari kesepuluh atau hari Dasara, umat merayakan Wijaya Dasami atau kemenangan hari kesepuluh. Pada hari ini, kota menjadi ramai. Di mana-mana, orang menjual panah sebagai lambang kenenangan. Umumnya umat membuat ogoh-ogoh berbentuk Rahwana, Kumbakarna atau Surphanaka. Ogoh-ogoh besar dan tinggi itu diarak keliling beramai-ramai. Di lapangan umum sudah disiapkan pementasan di mana sudah ada orang yang terpilih untuk memperagakan tokoh Rama, Sita, Laksmana dan Anoman.
            Puncak dari atraksi perjuangan dharma itu yakni Sri Rama melepaskan anak panah di atas panggung yang telah dipersiapkan sebelumnya. Panah itu diatur sedemikian rupa sehingga begitu ogoh-ogoh Rahwana kena panah Sri Rama, ogoh-ogoh itu langsung terbakar dan masyarakat penontonpun bersorak-sorai gembira-ria. Orang yang memperagakan diri sebagai Sri Rama, Dewi Sita, Laksmana dan Anoman mendapat penghormatan luar biasa dari masyarakat Hindu yang menghadiri atraksi keagamaan itu. Anak-anak ramai-ramai dibelikan panah-panahan untuk kebanggaan mereka mengalahkan adharma.
            Kalau kita simak makna hari raya Wijaya Dasami yang digelar dua kali setahun yaitu pada bulan April (Waisaka) dan pada bulan Oktober (Kartika) adalah dua perayaan yang bermakna untuk mendapatkan kasih sayang Tuhan. Kasih sayang itulah suatu “sakti” atau kekuatan manusia yang maha dahsyat untuk mengalahkan adharma. Sedangkan pada bulan Oktober atau Kartika pemujaan ditujukan pada Sri Rama. Sri Rama adalah Awatara Wisnu sebagai dewa Pengayoman atau pelindung dharma. Jadi dapat disimpulkan bahwa tujuan filosofi dari hari raya Wijaya Dasami adalah mendapatkan kasih sayang dan perlindungan Tuhan. Kasih sayang dan perlindungan itulah merupakan kekuatan yang harus dicapai oleh menusia untuk memenangkan dharma. Kemenangan dharma adalah terjaminnya kehidupan yang bahagia lahir batin.
            Kemenangan lahir batin atau dharma menundukkan adharma adalah suatu kebutuhan hidup sehari-hari. Kalau kebutuhan rohani seperti itu dapat kita wujudkan setiap saat maka hidup yang seperti itulah hidup yang didambakan oleh setiap orang. Agar orang tidak sampai lupa maka setiap Budha Kliwon Dungulan, umat diingatkan melalui hari raya Galungan yang berdemensi ritual dan spiritual.
  



             
                  

MAKNA SUGIAN


MAKNA SUGIAN

 Pengertian Hari Suci Sugian
            Hari sucian sugian adalah merupakan hari persiapan sebelum menyambut hari suci Galungan, dan hari suci sugian memilki lagi tahapan-tahapan. Hari sugian mengandung makna  penyucian, makna ini dapat disimak  melalui kosa kata, “sugi”, yaitu: kata sugian berasal dari kata, “sugi”, dan “ya”. Kata sugi dapat diartikan, “Gelang, bersih, Suci”. Sedangkan suku kata “ya”, artinya,  “ada, diadakan”, ( kamus jawa kuna-indonesia) mendapat akhiran “an”, menjadilah bahasa bali kepara, dan menjadi kata sugian, yang artinya, “ Dibuat supaya suci atau disucikan”.
Hari suci sugian memiliki tahapan sebagai berikut:
 Pengertian  Hari  Suci Sugian Tenten
               Hari suci sugian tenten jatuh hari “ Rabu-Pon Waktu Sunggang”, dan kata tenten dimaksudkan adalah “Enten”, (ngentenin, Bhs.Bali), atau mengingatkan kepada Umat Hindu bahwa, hari suci Galungan  akan segerah tiba, kewajiban apa yang harus dipersiapan dan dilaksanakan oleh segenap Umat Hindu. Oleh karena itu pada hari sugian tenten tersebut, semua lapisan  masyarakat hindu  melaksanakan pembersihan secara komprehensip seperti: Membersikan bangunan-bangunan suci, peralatan Upacara,Wastra-wastra pelinggi, dan lain-lainnya.
 Pengertian Hari Sugian Jawa
                Keesokan harinya jauh pada hari, Kamis-Wage-Waktu Sungsang, disebut hari Sugian jawa. Mengenai makna yang terkandung di dalam  pelaksanaan upacara Sugian jawa, dapat  penulis ungkapkan sebagai berikut:
Kata sugian berarti, Penyucian sedangkan kata jawa, berasal  dari namanya  semula yaitu: “Jambu Dwipa”, ( pustaka usan jawa) yang mengandung arti” alam semesta”.
Dengan demikian, pada hari  Suci Sugian jawa, segenap umat Hindu  melaksanakan  upacara  penyucian  terhadap alam semesta, tetapi untuk dibali  mempergunakan  simbol alam semesta  adalah  lingkungan  pemerajan, maka pada hari Sugian  jawa umat Hindu melaksanakan upacara, “mererebu”. Didalam “ lontar Sundharigama, Lamp. 17”, Mengungkapkan sebagai berikut:
 “Ring Rahina Weraspati Wage Wukunia Sungsang, Ngaran Sugi Jawa, Kajari Loke  Meharan Jambu Dwipa Ngaran, Bhuwana, Wenang Amelaku Pretista, Yate Pretistan Bethara Kabeh, Areredoni  Ring Sanggar  Muang Parihyangan,  Meharan Parerebuan, kaduluri  Pangeresikan  Bethara,  Saha  Puspa Wangi, Kunang Wang Weruhing Tattwa Jnana, Apasang Yoga, Sang Wiku  Angagem Puja,  Pan Bethara Tumurun Maring  Madiapada, Amuktya Banten, Anerus Tekeng Galungan, Pakertining Wang, Sesayut Muang Tutuan, Marupa  Sudhamalung, Sawung Petak, Beliwis  Petak, Silih Sinunggal Wenang, Pangarcana Suka-Sukan Arania”.
            Dari isi petikan  lontar  Sundharigama tersebut, sudah jelas telah memberikan tuntunan serta  pengertian tentang upacara hari Suci Sugian Jawa kepada umat Hindu. Tetapi dilaksanakan umat Hindu di masyarakat luas, sering menjadi pertanyaan, karena masih berpengaruhnya sistem  gugontuwon bahwa, bagi yang berasal dari bali mula, melaksanakan upacaranya pada hari sugian Bali, sedangkan yang tadinya berasal dari Jawa ( Majapahit) melaksanakan upacara  pada hari Sugian  Jawa.
            Demikian juga mengenai pelengkap daging dalam upakara Sugian, diantara umat Hindu ada yang berpikiran  bahwa, pada hari ppererebuan harus menghaturkan tiga macam guling yaitu, guling babi, guling itik putih, dan guling ayam putih. Sesunggunya menurut petunjuk sastra  Agama tidak demikian adanya, tetapi sebenarnya pelaksanaan  upacara pererebuan terswebut dilaksanakan pada hari suci sugian Jawa karena, pada hari itu merupakan  hari penyucian  Bhuwana Agung, tidak di bolekan oleh Sastra Agama melaksanakan upacara merebu pada hari Sugian Bali. Karena maksud dari kata “merebu”, adalah “Ngeseng, ( membakar), atau “nyomia” (melebur), sedangkan kalau melaksanakan  pererebuan pada hari Sugian Bali, dikatakan  “Angerebu Dewek”, (membakar diri). Demikian juga mengenai  aturan guling, didalam sastra Agama tidak ada kecap sastra “harus” namun yang dikatakan adalah semampunya ( suku sukan harania), karena guling tersebut adalah  merupakan simbul dari kekuatan “Tri Guna”, yaitu Sattwam Rajas, dan Tamas , demikian juga memiliki makna  sebagai bahasa isyarat kehadapan  dang hyang widhi,  bahwa guling babi sebagai simbul  kekuatan Tamas, bermakna untuk memohon kemandian, guling  itik sebagai simbul kekuatan  Sattwam,  bermakna untuk memohon kedharman, kesucian, sedangkan guling ayam sebagai simbul kekuatan Rajah, bermakna untuk memohon kesidhian kehadapan sang hyang widhi.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan  agar jangan hal itu dipertentangkan, dalam arti salah satu guling  apa saja boleh dihaturkan  menurut kemampuan masing-masing  umat, namun  pada pelaksanaanya harus didasarkan oleh ketulus iklasan  hati sanubari.
Tata Cara Pelaksanaanya:
Upakaranya ( dalam kwantitas utama)
·          Munggah di Kemulan
-          Pejati lengkap asoroh
-          Banten  suci alit asoroh
-          Banten danan, penyeneng, pesucian. 
·          Upakara Ayaban
-          Banten ayaban  tumpeng 21 bungkul
-          Rayunan meulam  guling babi
-          Rayuna meulam  guling itik putih
-          Rayuna meulam  guling  ayam putih
-          Prayascita, bayekawonan
·         Upakara  Pengerebuan
-          Peras  tulung  sayut  dengan nasi untek 5 bungkul  di  alas dengan sebuah ceper, lengkap dengan raka-raka, porosan, mempergunakan sampian pusung, diatas tetandingan  tadi di tumpuk dengan olahan ayam  brumbun  rateng (mateng)  lengkap tetandingan  ulam ini di isi  sebuah canang sari, kemudian diikat menjadi satu ( pesel dadiang  besik). Mengenai banyaknya  membuat tergantung  dari banyaknya bangunan  suci dan bangunan rumah, sampai kepintu  gerbang.
Upakara dalam Kwantitas Madya
-          Pejati asoroh
-          Suci alit asoroh
-          Canang pesucian
·         Upakara Ayabannya
-          Banten  ayaban  tumpeng 7 bungkul
-          Rayunan meulam  guling  itik  putih
-          Rayunan meulam  guling  ayam putih
·         Upakara  pengerebunannya  sama seperti  diatas.
·         Banten  prayascita  banyekawonan
        Upakara dalam Kwantitas  kanista.
·         Munggah di Kemulan
-          Pejati  lengkap  asoroh, penyeneng
-          Canang  pesucian
·         Upakara ayabannya
-          Banten ayaban tumpeng 5 bungkul
-          Rayunan meulam  guling itik putih atau ulam guling ayam putih.
-           Banten prayacista, bayekkawonan
·         Upacara  pengerebuan
-          Banten  pengerebuannya  sama  seperti diatas.
Tata Cara Pelaksanaannya
Mengenai  tata   cara pelaksanaanya sama seperti  pelaksanaan hari Suci yang  lain hanya  Dewa  yang diastawa  saja yang berbeda. Pada  pelaksanaan  upacara ini yang diastawa adalah sebagai berikut:
-          Pengastawa  kehadapan  Sang Hyang  Siwa  Raditya
-          Pengastawa  Kehadapan Hyang  guru
-          Pengastawa kehadapan sang Hyang Tri murti



Sesonteng :
      Nastuti pukulun Bethara sang Hyang Siwa Raditya, Sang Hyang Wulanl Lintang Tranggana, mekadi Sang Hyang Trio Dasa Saksi, Bethara Hyang Guru, Mua Bethara Sang Hyang Tri Purusa, Saksinin pangubhaktin pinakemulun, anga turaken tada saji pawitra saprekaranin daksina, aruntutana saji pererebuan, asung kerta anungeraha paduka bethara, menugeraha tirtha pengnglukatan pebersihan, amelukat sarwa mala papa petaka. Sebel kandel maring bhuwana muah parihyangan kabeh metemahan sudha nirmala yenamah suaha. Ong Sriyambawantu, Purnam Bhawantu, Sukham a bhawantu, Ong Hrang  Hring Syah Parama Siwa Ditya yenama suaha.

   Setelah selesai mengucapkan mantra pengastawa, selanjutnya menghaturkan kesucian, dengan memercikan tirtha bayekawonan, tirtha prayasita dan ayabayan penyeneng kepelinggi kemulan, setelah itu ketempat bangunan suci lainya, kebangunan rumah, dan kepintu gerbang (lebuh).
    Setelah pelaksanaan penyucian selesai, dilanjutkan dengan menghaturkan ayaban, dengan mengucapkan mantra yang sama seperti didepan.
   Kemudian sang pengantep, menghaturkan upakara pererebuana dengan mengucapkan mantra sebagai berikut.

      Mang, Ung, Ang, Wem Ong, Padma Sana Yenamah Sa, Ba, Ta,  A, I, Sarwa Bhuta YenamahSwadha Ndah T Kita sang Bhuta bucari, Sang Kala bucari, Muah Sang Durga Bhucari, Mari Sira Mona, Ajakan Kala Wadwan Sira Kabeh, ingsun Paweh Sira Tadah Saji sanggraha, sega Untek, Maiwak Ayam Brumbun Ingolah Rikan Cana, Iki Tadah Sajinira, Sama Suka Sama Lolia Sira Pilih Kabelanira Suang-suang, Wus Sira Anadah Saji Ingsung Aminta Kesidhin Ta, Aja Sira kari Angadakaken Drewala-drewali, Lara Loga Kegeringan, Sebel Kandel Ring Bhuwana Agung Muah Bhuawana Alit, Angadakaken Sira Urip Waras Dirga Yusa Jagate, NgerarisSira Amukti Sari, Sumurup Sira Menadi Dewa-Dewi, Pemantuk Sira Ring Dangkahyangan Suang-suang, Pasang Sarga Sira Ring Bethara Siwa, Ong Ing Namah.

            Setelah itu dilanjutkan mengucapkan mantra pabuktyan bhuta yaitu:
Ong, Bhuktyantu Durga katara Bhuktiantu Kala Mewaca Bhukyantu Sarwa Bhutanam Ang, Ah, Amertha Bhuta Yenamah Swada. Ang, Ung, Mang, Siwa Mertha yenamah Swaha.

            Sesudah selesai mengucapkan mantra pabuktyannya dilanjutkan dengan mengucapkan mantra penyomia, atau pemerelina bhuta, yaitu:

            A, Ta, Sa, Ba, I, sarwa Bhuta, Kala Durga Murswah Wesat, Ah......Ang.

            Sesudah itu melaksanakan bersembahyangan, dilanjutkan metirha dan memakai biji. ( sebelumnya memercikkan tirtha bayekawonan dan prayascita pada diri sendiri).
            Setelah semuah kegiatan nganteb selesai, maka dilanjutkan dengan meletakkan banten pererebuan tadih dihadapan bangunanp-baangunan, baik rumah, sampai ke lebuh  (pintu gerbang), diletakkan ibawah serta  metetabuhan aarak berem. Karena pelaksanaan ini bersifat pralina (nyomia), makaa tetabuhannya memiliki ethika, dengan menyiratkan araknya dahulu kemudian baru beremnya (karena arak sebagai simbul biji mantra Ah  dan beremnya sebagai simbul biji mantra Ang). Dengan selesainya metetabuhan, selesai juga pelaksanaan dari upacara hari Sugian Jawa.

Pengertian Hari Suci Sugian Bali
            Keesokan harinya, tepat pada hari Jumat-Keliwon-Wuku Sungsang, dikenal dengan sebutan hari suci Sugian Bali.

Kenapa disebut Sugian Bali ?......
            Karena pada hari Suci Sugian Bali, adalah merupakan hari penyucian isi alam semesta ini, termasuk semua makhluk harus menyucikan diri. Karena makhluk tumbuh-tumbuhan dan binatang, tidak memiliki akal dan pikiran, maka manusialah sebagai wakil (mewakili) penyucian diri dari semuah makhluk didunia. Oleh karena itu, penulis mencoba memberi penjelasan mengenai makna yang terkandung didalam pelaksanaan upacara hari Suci Sungian Bali ini, melalui kosa kata dari kata “Bali”. Kata Bali mengalami perubahan bunyi, dari konsonan huruf “B” menjadi konsonan huruf “W”, yang dapat diberikan arti, “Sebagai Wali, atau Wakil”. Dengan dengan demikian, pelaksanaan hari Suci Sugian Bali, sesunggunya adalah hari penyucian Bhuawana alit/ pada diri sendiri, dan pada saat inilah sesunggunya umat Hindu semua melaksanakan penyucian diri dengan jalan melaksanakan tapa brata yoga samadhi, seta memohon tirtha “GOCARA”, kehadapan Hyang Siwa Guru di pemerajaan masing-masing.

            Didalam lontar “Sundharigama, lamp. 21”, menyebutkan antara lain :

               Sukra Keliwon Wuku Sungsang, Mengaran Sugi Bali, Pakenania Amerastitaning Raga Tawulan Riprewaken Tapa Brata Yoga Samadhi, Muang Anadaha Tirtha Gocara, Alukata Ring Sang Pandita Siwa Paksa Lan Budha Paksa, Maka Panelasing Letuh Ring Sarira.

Dari petunjuk sastra diatas, sudah jelas umat Hindu diberikan tuntunan agar, betul-betul mengerti tentang makna dan tujuan dari pelaksanaan upacara hari suci Sugian Bali.

Tata cara Pelaksanaannya :
Mengenai tatacara pelaksanaannya seperti bersembahyang biasa di pemerajan, dengan mempergunakan hanya banten soda saja munggah pada pelinggih-pelinggih.



Sunday, April 16, 2017

ANALISIS NILAI PENDIDIKAN AGAMA HINDU DALAM LONTAR TUTUR JATI SWARA


Oleh : IPTW. CANDRA PRAWARTANA, S.Pd

  Analisis Nilai Pendidikan Agama Hindu dalam Lontar Tutur Jatiswara
(Perspektif Pendidikan Agama Hindu)






Oleh
I Putu Widya Candra Prawartana, S.Pd







  PASCASARJANA PENDIDIKAN AGAMA HINDU
 INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI
DENPASAR
2017





Om Swastyastu,.
“Om Awighanamastu Namo Sidham”

Sembah Abivadanam berlandaskan kesucian hati, penulis haturkan   kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang bersthana di Sapta Loka, Beliau yang berwujud Nirguna Brahman maupun Saguna Brahman karena atas anugrah-Nya, penulis telah mampu  mempersembahkan secarik tulisan pada makalah ini yang berjudul:  “Peranan Ajaran Astangga Yoga Patanjali dan Relevansinya untuk merefresh kembali mental kaum remaja masa kini dikaji dalam Perspektif Yoga Darsana”, makalah ini disajikan pertama kehadapan Brahman atau Ida Sang Hyang Widi Wasa  yang Maha Agung, kehadapan Hyang Suci Maha Rsi Patanjali yang mendirikan Filsafat Yoga, kehadapan Dang Acarya atau Guru Suci dan  kepada pembingbing penulis sekaligus sebagai dosen pengampu mata kuliah filsafat, serta seluruh siswa dan mahasiswa Hindu, beserta seluruh masyarakat Hindu di Indonesia. Semoga makalah ini bermanfaat untuk bisa memperluas cakrawala ilmu pengetahuan terutama bagi kaum remaja saat ini dan kepada penekun yoga sutra Patanjali yang sampai saat ini masih Eksis melestarikan ajaran yoga hingga mengalami perkembangan yang sangat pesat hingga ke dunia Barat.
            Adapun misi yang di emban oleh makalah ini adalah untuk merekontruksi kembali mental atau psikis kaum remaja Hindu, mengingat serta menyimak fenomena saat - saat ini mental kaum remaja semakin hari  semakin mengalami degradasi mental yang mengarahkan perbuatannya ke  suatu hal yang bersifat menyimpang.  agar dapat kembali mentalnya kearah positif melalui faedah ajaran Astangga Yoga Patanjali.
            Hasil goresan tangan penulis ini tidak akan dapat terwujud apabila tidak adanya bantuan uluran tangan dari semua pihak, dari Bapak dosen pengajar mata kuliah Filsafat Hindu , dari rekan - rekan kelas A2 yang sudah memberikan motivasi dan dorongan kepada penulis untuk bisa menyelesaiakan tugas ini. Penulis hanya bisa mengucapkan terimakasih dan apresiasi setinggi - tingginya kepada semua pihak yang turut serta dalam pembuatan makalah ini.
Seperti telah penulis sampaikan di awal, bila di kemudian hari terjadi kesalahan transliterasi, terjemahan ataupun kesalahan cetak, dengan kerendahan hati penulis mohon maaf. Serta demi kesempurnaan paper ini, tegur sapa, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah selanjutnya. 
Om Ksamasvamam,-                                                                                                                      Om Santih, Santih, Santih Om-                                            

Denpasar,  Desember 2014

               Penulis



Abstrak
          Penulisan makalah ini berjudul : “Peranan Ajaran Astangga Yoga Patanjali dan Relevansinya untuk merefresh kembali mental kaum remaja masa kini dikaji dalam Perspektif Yoga Darsana”, dalam penyajian makalah ini, mempergunakan latar belakang bentuk permasalah yang dilihat oleh penulis yakni masalah mental dari kaum remaja masa kini yang semakin hari - semakain mengalami degradasi mental.
             Adapun rumusan masalah yang dinyataklan dalam pembuatan makalh ini yaitu 1) Apakah Definisi Yoga secara singkat?, 2).Apakah Pengertian Astangga Yoga ?, 3) Bagaimanakah tahapan - tahapan  dari Astangga Yoga?, 4) Bagaimanakah relevansi Astangga Yoga dalam merefresh kembali Mental Remaja Manfaat apakah yang dapat diperoleh setelah melakukan astangga Yoga?.
            Dalam pembahasannya penulis menyatakan dalam tulisan ini mengenai landasan teori dan pustaka yang dipergunakan yang paling dominan dalam pembuatan makalah ini adalah lansdasan dari teori Religi dan teori Filssafat, konsep yang dituangkan dalam makalah ini oleh penulis adalah mengenai astangga yoga, merefreskembali mental, tahapan - tahapan astangga yoga dan manfaat yang diperoleh oleh remaja setelah melakukan astngga yoga.
            Dalam kegunaan atau studi kasusnya dalam makalah ini mengambil sasaran objek yakni remaja yang masih rancu pemikirannya karena selalu banyak problem yang tidak diketahui oleh golongan dewasa saat ini, jadi remaja berperan penting dalam pelestarian budaya yoga sutra Patanjali.
            Dalam kepustakaannya mengambil dari buku dan majalah, misalnya dari buku Agama Hindu karangan I Kertut Bantas, dari  buku Intisari agama hindu dari Ramanda Prasad dll. Oleh karenanya untuk mnenjadi acuan saat menulis makal ini.
 Kata Kunci : Astangga Yoga, Tahapan Astangga Yoga, Mental Remaja masa Kini, Yoga Sutra Patanjali    
 


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Perkembangan mengenai teknologi dan komunikasi terus berkembang dengan pesatnya, seiring dengan peradabaan zaman yang sekarang disebut dengan, zaman globalisasi bahkan mengarah pada perdagangan bebas disisi lain para ilmuan sedang kiat - kiatnya melakukan penelitian, mengenai perkembangan zaman setelah zaman globalisasi akan diperkirakan adanya zaman Nino. Zaman Nino diperkirakan lebih canggih lagi dibandingkan dengan zamn sekarang ini yaitu zaman globalisasi.
Perkembangan zaman Nino diperkirakan segala yang diucapkan akan terjadi misalnya saja sekarang membaca buku masih lewat media atau alat misalnya denga Gadget, Tab, Android, bahkan chatingan saja di sosmed masih mempergunakan media, tapi pada zaman Nino tersebut segala diucapakan menggunakan Chip atau radar misalnya manusia menginginkan membaca buku langsung tibul buku dalam bentuk layar besar di atas kepala secara tembus pandang mampu manusia untuk membaca buku tersebut, dari segi makanan diperkirakan manusia tidak akan makan misalnya dengan adanya sepiring nasi, segelas air tapi zaman nino memakai secara efesien dan praktis dengan tablet berupa pil didalamnya sudah terdapat kandungan empat sehat lima sempurna, bahkan disaat manusia meminum pil tersebut manusia sudah merasakan telah kenyang, bahkan dosisnya dia atur sama dengan makan, kalau manusia makan di zaman globalisasi setiap tiga kali sehari di zaman Nino juga seperti itu manusia minum Pil tersebut tiga kali sehari, sama dengan ketika manusia di kasi resep minum obat oleh dokter ketika sakit, ini telah giat - giatnya para ilmuan Amerika, Inggris, dan Belanda melakukan penelitian untuk keberlangsungan zaman selanjutnya. (dikutip dari Majalah Sains, 2014 : 4).
Jika menilik kembali di zaman globalisai saat ini, banyak manusia mengejar unsur material bahkan melupakan unsur kejiwaan yang menjiwai material tesebut, banyak Peneliti sebagai ilmuan di belahan dunia barat sedang meneliti unsur kejiwaan yang menjiwai unsur material ini, para Peneliti atau Ilmuan mengkaji unsur atau secara Saintis mengenai unsur Energi yang dibahasakan dengan meninjau tentang hukum kekekalan energy yaitu “energy tidak bisa di musnahkan, dilumpuhkan ataupun diciptakan tetapi energy bersifat kekal abadi sepanjang hayat”, kalau saja energy bersifat kekal abadi berarti nama lain dari energy yang kekal abadi ini adalah Energy Spiritual.
 Energy Spiritual berasal dari Tuhan Yang Maha Esa dalam tijauan agama Hindu disebut Brahman, Energi Spiritual sama dengan sifat - sifat Brahman ( Asta Iswarya yaitu delapan kemahakuasan Tuhan,) serta berwujud Paramatman yaitu sumber Atman, kalau secara radikal diingat mengenai sifat - sifat Atma bahwasannnya atma tidak bisa dibakar oleh api, tidak mampu dibasahi oleh air,tidak mampu dikeringkan oleh angin, dll. Jadi Atma bersifat kekal abadi. Ini sama dengan  sifat Atma dengan sifat energy berarti energy Spiritual merupakan energy untuk melihat Sang Jiwa dalam diri.
Dalam sebuah Artikel kecil di media social facebook, penulis temukan bahwa hanya dengan ucapan bahkan pikiran saja setetes unsur molekul  air dapat berpengaruh, hal in dideteksi oleh alat, misalnya setetes air dipikirkan dengan hal positif maka setelah dideteksi maka unsur molekul air tersebut tersusun rapi, sama halnya jika pikiran terhadap air tersebut negative maka setelah dideteksi maka molekul air tersebut tersusun sangat - sangat rancu bahkan kabur, ini berarti energy dari elektromagnetik pikiran dan ucapan dapat mempengaruhi molekul air, jika ini dikaji dari segi ilmu religi Hindu ini disebut manacika dan wacika yang patut di parisudha, namun Jika dikaji lewat Sanis maka hal ini tidak terlepas dari sifat - sifat Anomali Air atau  sifat gerak molekul air, jadi antara Ilmu Sains dan Ilmu Religi Hindu ada hubungan yang sangat erat, Unsur energy Spiritual dapat berguna untuk menyusun kembali molekul - molekul atom yang ada pada ruang cosmic seperti semula yang sebelumnya telah molekul tersebut tidak tersusun rapi, karena pengaruh elektromagnetik pikiran manusia yanmg saat ini di Zaman Globalisasi terus berpikiran ke arah menyimpang ataupun negatif.
Unsur energy spiritual saat ini telah ditekuni oleh kaum barat bahkan oleh Turis mancanegara utamanya Yoga, Yoga merupakan salah satu sistem filsafat jajaran Astika yang meyakini adanya otoritas Veda, bahkan pada Airport di Bandara SanFrancisco, Dallas Fort Worth dan Chicago O’Hare, tepatnya di Helsinki, Finlandia  menawarkan Yoga bagi Turis yang Stress artinya penumpang pesawat yang terbang dari Helsinki sekarang dapat mengurangi Stress perjalanan dengan berpartisipasi dalam Kursus Yoga dan Pilates sebelum penerbangan, yang ditawarkan melalui TravelLab di Airport, yang bertujuan untuk memperbaiki kenyamanan pengalaman saat terbang (dikutip dari Majalah Media Hindu September 2014 Edisi 127 : 6).
Begitu telah berkembangnya Unsur energy Spiritual terutama Yoga untuk menenangkan mentallitas umat manusia, Ajaran Yoga merupakan ajaran yang sangat – sangat Tua dan juga sangat - sangat classic karena didirika pada zaman dulu ole Maha Rsi Patanjali namanya, ajaran yoga meruipak ajaran yang menekankan pada pencarian jati diri, dalam kelompok filsafat Timur, Yoga digolongkan kedalam Sad Darsana (enam cara pandang filsafat), yoga disebut pula Yoga Darsana, dalam Yoga Darsana pula dijelaskan oleh  Maha Rsi patanjali bahwa adanya Astangga Yoga (Dalam buku Kidung Kelepasan Patanjali karangan Anatta Gotama, 1998). Astangga Yoga merupakan delapan tahapan Yoga yang disusun Maha Rsi Patanjali.
Pentingnya, mempelajari Yoga Patanjali, dapat pula dilakukan terhadap kaum remaja saat ini karena mengingat kaum remaja saat ini  jika disimak di media masa banyaknya mental Remaja telah mengalami degradasi mental karena pengaruh teknologi yang dipergunakan menyimpang misalnya, kaum generasi muda telah mengenal Napsa, merokok sudah barang biasa bagi kaum remaja masa kini, Minum - Minuman keras, sex bebas, Trek - trekan dll. Ini merupakan cerminan dari mental generasi muda yang semakin hari - semakin menurun, energy yang Positif dalam diri kaum nremaja berubah menjadi energy yang negative sehingga tidak mampu lagi tau jati diri arah dan tujuan hidupnya.
Oleh karenanya, ajaran Astangga Yoga patanjali ingin dalam tulisan ini merelevansikan dengan keadaan mental kaum remaja saat ini untuk di refresh kembali seperti semula dengan ajaran Astangga Yoga patanjali, dalam tulisan ini akan dijelaskan mengenai bagaimana menerapkan ajaran astangga yoga bagi kaum remaja dan mencari jati diri bagi setiap insan kaum Remaja saat ini
.
1.2  Rumusan Masalah
1.2.1        Apakah Definisi Yoga secara singkat ?
1.2.2        Apakah Pengertian Astangga Yoga ?
1.2.3        Bagaimanakah tahapan - tahapan  dari Astangga Yoga?
1.2.4        Bagaimanakah relevansi Astangga Yoga dalam merefresh kembali Mental Remaja?
1.2.5        Manfaat apakah yang dapat diperoleh setelah melakukan astangga Yoga?

1.3  Tujuan Penulisan
1.3.1        Untuk mengetahui definisi yoga
1.3.2        Untuk memahami pengertian astangga yoga
1.3.3        Untuk mengenal tahap - tahapan dari astangga yoga
1.3.4        Mampu memaknai relevansi astangga yoga bagi kaum remaja dan manfaat yang diperoleh

1.4  Manfaat Penulisan
1.4.1        Dapat mengetahui definisi yoga
1.4.2        Dapat memahami astangga yoga
1.4.3        Dapat menganal tahap - tahapan  dari astangga yoga
1.4.4        Dapat memaknai relevansi astangga yoga bagi kaum remaja dan manfaat yang diperoleh bagi kaum remaja 


BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Definisi Yoga
            Yoga merupakan jalan utama dari berbagai jalan untuk menjaga Pikiran dan Badan agar selalu dalam keadaan seimbang dan tidak mudah diserang penyakit. Sebab dijaman globalisasi ini manusia sering bekerja, melebihi kemampuan Pikiran (rohani), untuk berpikir dan melebihi kemampuan Badan (jasmani) untuk melakukan pekerjaan. Hal ini terjadi tidak saja di daerah perkotaan, tetapi sampai kepelosok desa yang terpencil. Sehingga manusia mudah diserang penyakit pikiran dan jasmani. Penyakit pikiran, seperti: kesedihan, depresi, malas, emosi, anarkis, stress, yang disebut dengan “Rohani” dan akhirnya berakibat kepada penyakit Badan yang sering disebut dengan “Jasmani”, seperti: lemas, panas dingin, meriang, kesemutan, struk. Ketika rohani dan jasmani terserang penyakit, maka aktivitas manusia secara individu akan terganggu bahkan dapat berhenti secara permanen. Salah satu upaya untuk mengatasinya adalah dengan cara melakukan Yoga. Disamping penyakit, yang disebabkan oleh diri sendiri, terdapat juga penyakit yang bersumber dari pembawaan hidup, sebagai manusia.
Secara Etimologis Kata “Yoga” berasal dari bahasa Sansekerta yaitu “yuj”, kemudian berkembang menjadi bahasa Inggris “Yoke”, bahasa latin “Yogum” dan juga disebut “Concujal”, yang artinya; mengendalikan pangkal penyebab kemalangan manusia yang dapat mempengaruhi “pikiran dan badan, atau rohani dan jasmani”.Yoga adalah suatu sistem yang sistematis untuk melakukan latihan rohani untuk mencapai ketenangan batin dan melakukan latihan fisik untuk mencapai kesehatan fisik, sehingga yoga dapat dikatakan sebagai latihan jasmani dan rohani secara kontinyu untuk mencapai kesehatan jasmani dan rohani. Disebut dengan “jiwan mukti”. Untuk menyatukan “Badan” dengan “Alam”, dan menyatukan “pikiran, yang disebut Jiwa” dengan “Roh” yang sering disebut Tuhan Yang Maha Esa. Sehingga disebut dengan “Moksah”. Setelah memperoleh pengertian tentang yoga, maka yang perlu diperhatikan adalah gerak pikiran, yang paling liar dan paling sulit untuk dikendalikan. Agar terfocus terhadap pelaksanaan yoga yang baik. Bagaimana pikiran itu dinyatakan sebagai pikiran yang baik, oleh karena itu modul berikutnya yang akan dibahas adalah tentang “Pikiran”.
(Bantas, 2002 : 11.3) menyatakan bahwa yoga adalah suatu sistem filsafat dan salah satu  bagian dari enam filsafat India yang acap kali disebut Sad Darsana keenam sistem filsafat tersebut ditulis dalam bentuk sutra yaitu rumus - rumus dalam bentuk kalimat  pendek, hal tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah untuk mempermudah mengingat.
(Patanjali yoga sutra I.1 dalam Bantas, 2002 :11.4) dinyatakan : “ Yogascitta vriti niroddhah” artinya pengendalian gelombang - gelombang pikiran dalam pikiran  (Maswinara,1999 : 163) kata yoga berasal dari akar kata “yuj” dalam Sansekerta yang berarti menghubungkan dan juga yoga  merupakan pengendalian aktivitas pikiran dan penyatuan roh pribadi dan roh tertinggi.
Yoga adalah Yoga, bukanlah sesuatu yang berhubungan dengan agama atau kepercayaan tertentu. Yoga merupakan suatu tehnik spiritual yang lebih tua dari agama apa pun juga di dunia, termasuk agama Hindu, agama tertua dalam catatan sejarah manusia. Yoga (Aksara Dewanagari योग) dari bahasa Sanskerta (योग) berarti "penyatuan", yang bermakna penyatuan dengan alam" atau "penyatuan dengan Sang Pencipta". Yoga merupakan salah satu dari enam ajaran dalam filsafat Hindu, yang menitikberatkan pada aktivitas meditasi atau tapa di mana seseorang memusatkan seluruh pikiran untuk mengontrol panca inderanya dan tubuhnya secara keseluruhan.
Kesimpulan dari kajian literatur diatas, yakni Yoga merupakan  Sistem Filsafat India dan bagian dari Sad Darsana (Enam filsafat menurut pandangan Maha Rsi)  yang spesifikasinya terdapat dalam Yoga Darsana menurut Maha Rsi Patanjali yang  memiliki rmakna suatu proses pengendalian  aktivitas pikiran dan  penyatuan roh pribadi dengan roh tertinggi “(sangkan paraning dumadi)”.
2.2  Pengertian Astangga Yoga
             (Bantas, 2002 : 11.31) Kata Astangga terdiri dari kata asta dan angga, asta berarti delapan, angga berarti badan, jadi secara harifiah astangga yoga berarti delapan badan yoga. Dapat juga diartikan sebagai delapan tahap yoga atau delapan tingkatan yoga. Dalam yoga sutra Patanjali yoga darsana II.29 terdapat keterangan tentang astangga yoga sebagi berikut :
            Yama niyamaasana pranayama pratyahara dharana dhayana Samadhi yo’stavanggani
            Artinya Yama, niyama, asana, pranayama, pratyahara, dharana, dhayana, dan Samadhi, semua ini adalah delapan bagian yoga.
            Astangga juga disebut sebagai sistem yoga untuk mematahkan perputaran yang tiada putus - putusnya itu dengan secra bertahap meniadakan segala klesa serta memberhentikan wrtti, hal ini hanya dapat tercapai dengan melalui usaha yang terus menerus dan dengan melalui keadaan yang tanpa nafsu (wairagya). Hanya dengan usaha yang panjang manusia akan dapat membedakan kebiasaan untuk lepas dari pada nafsu - nafsu, sehingga dapat membedakan antara pribadi dan bukan pribadi. Perincian ini telah jelas dikemukakan dalam Astangga Yoga (Prof.Harun Hadiwiyono, 1965 :72).
2.3  Tahap - tahapan dari Astangga Yoga
            Delapan tahap ajaran astngga  yoga ini, merupakan tangga untuk mengendalikan diri dan sekaligus merupakan aspek etika dalam ajaran yoga. Di bawah ini diuraikan masing masing bagian astangga yoga tersebut, yaitu:
1.Yama
Yama adalah pengendalian diri tahap pertama atau awal dan menampakkan pengendalian diri. Pada tahap ini latihan diawali dengan tingkah laku yang penuh cinta kasih (ahimsa/ tidak menyakiti). Tujuan dari tahap ini adalah melatih menumbuhkan dan meningkatkan rasa cinta kasih seseorang sebelum lanjut pada tahap – tahap berikutnya, sebab dengan cintakasih maka akan timbul rasa tulus ikhlas dan pikiran yang tenang dan damai. Dengan keadaan seperti itu, akan sangat membantu seseorang dalam tajap – tahap berikutnya hingga akhirnya tercipta sebuah kebahagiaan rohani dan ketenangan pikiran yang mendalam.
Yama terdiri dari lima aspek yang prinsip, yaitu: ahimsa, satya, asteya, brahmacarya, dan aparigraha.
 a. Ahimsa
Ahimsa berarti tidak menyakiti atau melukai perasaan orang lain baik melalui pikiran, perkataan, dan perbuatan. Pengertian ahimsa banyak menyimpang dari segi makna yang sebenarnya. Pengertian tidak menyakiti atau melukai orang atau membunuh sesuatu yang hidup, janganlah ditafsirkan artinya yang sangat ekstrim. Pengertian yang sedemikian itu bukanlah didasari pengertian terhadap ahimsa yang benar, karena sikap sedemikian ini jelas mengakibatkan keresahan dimasyarakat.
 b. Satya
Satya diartikan sebagai gerak pikiran yang patut untuk diambil menuju kebenaran, yang di dalam prakteknya meliputi penggunaan kata-kata yang tepat dan dilandasi kebijakan untuk mencapai kebaikan bersama. Jadi satyam tidak dapat sepenuhnya diterjemahkan dengan “benar” atau “kebenaran” karena kedua kata ini dalam bahasa sansekerta disebut “rta”. Seorang sadhaka tidak selamanya dituntut untuk menempuh jalan rta tetapi tegas harus menempuh satya. Di dalam pelaksanaanya satya mempertimbangkan pula berbagai faktor situasi yang bersifat relative, walaupun yang ditujukan pada akhirnya adalah kebenaran mutlak di dalam penyatuan dengan param brahma. Brahma sendiri sering disebut “esensi satya” itu.
 c.  Asteya
Asteya artinya tidak mencuri. Menurut jenisnya perbuatan mencuri dibagi menjadi empat jenis, yaitu: mencuri barang nyata dalam bentuk apapun juga, mempunyai rencana untuk mencuri, mengambil kepunyaan orang lain tidak untuk kepentingan sendiri tetapi untuk membuat pemiliknya mengalami kerugian, upaya untuk merugikan orang lain baik belum atau tidak dilakukan tetapi rencana sudah direka-reka dalam pikiran.
d. Brahmacarya
Secara harafiah kata brahmacarya berarti tetap melekat kepada brahma. Ketika orang melakukan kegiatan, pikirannya tercurah menuju arah luar (ekstroversal) dan dirinya terlibat pada materi kasar yang sifatnya terbatas. Brahmacarya memandang dan memperlakukan benda-benda kasar yang dihadapi sebagai manifestasi brahma dan bukan semata-mata sebagai benda kasar.
e.  Aparigraha
Aparigraha adalah tidak berlebihan dalam menikmati benda kesenangan untuk mempertahankan kehidupan. Sejumlah faktor perlu diperhatikan unutk menentukan batas minimal yang terbaik guna mempertahankan kehidupan ini.
2. Niyama
Niyama merupakan tahapan yang kedua dari delapan komponen astangga yoga. Niyama ini mengajarkan seseorang untuk mengikuti aturan – aturan tertentu  sebelum melakukan yoga, seperti misalnya kejujuran, bebas dari rasa iri hati, pembujangan, kesucian, pemberian sedekah, dan melakukan puasa pada waktu yang ditentukan. Tahap ini merupakan tahap yang lebih dalam dari tahapan Yama, karena sudah menggunakan tingkat ketulus ikhlasan hati seseorang. Seperti diuraikan dalam Patanjali Yoga Sutra II.40-45, Niyama dibagi kedalam lima bagian yaitu:
 a. Sauca
kebersihan lahir batin. Lambat laun seseorang yang menekuni prinsip ini akan mulai mengesampingkan kontak fisik dengan badan orang lain dan membunuh nafsu yang mengakibatkan kekotoran dari kontak fisik tersebut. Sauca juga menganjurkan kebajikan Sattvasuddi atau pembersihan kecerdasan untuk membedakan (1) saumanasya atau keriangan hati, (2) ekagrata atau pemusatan pikiran, (3) indriajaya atau pengawsan nafsu-nafsu, (4) atmadarsana atau realisasi diri.
b. Santosa atau kepuasan
Santosa berasal dari kata Tosa yang artinya keadaan mental yang terbatas dari ketegangan dan tekanan. Oleh karena itu santosa berarti suatu keadaan yang menyenangkan dan wajar, tanpa tekanan dan tanpa kepura-puraan. Hal ini dapat membawa praktisi Yoga kedalam kesenangan yang tidak terkatakan. Dikatakan dalam kepuasan terdapat tingkat kesenangan transendental.
 c. Tapah atau mengekang
Tapah artinya melakukan usaha dengan sungguh-sungguh untuk mencapai suatu tujuan. Seperti dalam sauca sadana, maka dalam melakukan tapah tidak boleh sedikitpun didasari oleh keinginan mendapat keuntungan. Melalui pantangan tubuh dan pikiran akan menjadi kuat dan terbebas dari noda dalam aspek spiritual.

d. Svadhyaya atau mempelajari kitab-kitab suci
Svadhyaya diartikan sebagai pemahaman dengan sebaik-baiknya setiap permasalah kerohanian. Melakukan japa (pengulangan pengucapan nama-nama suci Tuhan) dan penilaian diri sehingga memudahkan tercapainya “istadevata-samprayogah, persatuan dengan apa yang dicita-citakannya
e.Isvarapranidhana
Secara umum iisvarah diartikan sebagai pengendalian alam semesta raya, dengan kata lain dia itu adalah Tuhan. Tuhan atau ishvara itu mengendalikan berbagai gelombang pikiran di alam raya ini. Penyerahan dan pengabdian kepada Tuhan yang akan mengantarkan seseorang kepada tingkatan samadhi.
3. Asana
Asana merupakan anggota atau unsur yang ketiga dari astangga yoga. Asana ini adalah sikap pada waktu melaksanakan yoga. Dalam melaksanakan yoga, sikap duduk yang baik adalah sikap duduk yang paling disenangi dan rileks, asalkan dapat menguatkan konsentrasi dan pikiran serta tidak terganggu karena badan terasa sakit akibat sikap duduk yang dipaksakan. Selain itu sikap duduk yang dipilih agar dapat berlangsung lama, serta mampu mengendalikan sistem saraf sehingga terhindar dari goncangan-goncangan pikiran.
Patanjali menganggap setiap asana sebagai sukha asana (asana yang menyenangkan), bilamana tidak memaksa dan membantu untuk menstabilkan badan dan budi. Ada beberapa bentuk-bentuk asana, antara lain:
 4. Pranayama
Pranayama adalah pengaturan pernapasan atau pengendalian keluar masuknya nafas ke paru-paru melalui lubang hidung dengan tujuan menyebarkan energi ke seluruh tubuh. Pada saat manusia menarik nafas mengeluarkan suara So, dan saat mengeluarkan nafas berbunyi Ham. Dalam bahasa Sansekerta So berarti energi kosmik, dan Ham berarti diri sendiri (saya). Ini berarti setiap detik manusia mengingat diri dan energi kosmik.. Pranayama dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu: adhama, madhyama, dan uttama (yang rendah, sedang atau yang paling tinggi). Pranayama terdiri dari: Puraka yaitu menarik nafas, Kumbhaka yaitu menahan nafas, dan recaka yaitu menghembuskan nafas. Puraka, khumbaka, dan recaka dilaksankan pelan-pelan, bertahap masing-masing dalan tujuh detik. Hitungan tujuh detik ini dimaksudkan untuk menguatkan kedudukan ketujuh cakra yang ada pada tubuh manusia yaitu : muladhara yang terletak di pangkal tulang punggung diantara dubur dan kemaluan, svadishthana yang terletak diatas kemaluan, manipura yang terletak di pusar, anahata yang terletak di jantung, vishuddha yang terletak di leher, ajna yang terletak ditengah-tengah kedua mata, dan sahasrara yang terletak diubun-ubun. Pranayama bermanfaat memberi pemurnian dan cahaya pengetahuan. Dengan melakukan pranayama maka karma dari seorang yogi, yang menutupi pengetahuan untuk membedakan yang akan dihancurkan, oleh panorama keinginan magis. Jika hakekat yang bercahaya itu tertutupi maka jiwa pribadi akan diarahkan menuju kejahatan. Karma dari sang yogi yang menutupi cahaya dan membelenggunya untu mengulangi kelahiran, akan berkurang dengan latihan pranayama stiap saat hingga pada akhirnya dapat dilenyapkan.
Didalam pranayama, prana merupakan hal yang sangat penting. Prana ini adalah jumlah total dari daya dan kekuatan terpendam yang terdapat pada tubuh manusia, serta terdapat dimana-mana, dan bermanifestasi pada panas, cahaya, listrik, dan magnet. Atman adalah semua tenaga dan prana yang memancarkannya. Semua kekuatan fisik dan mental dapat dikategorikan sebagai prana. Prana ini merupakan dasar kekuatan pada setiap keberadaan makhluk hidup, dari makhluk hidup tertinggi sampai pada yang terendah. Apapun yang bergerak atau bekerja dan memiliki nyawa, adalah bentuk atau wujud dari prana. Akasa merupakan salah satu wujud prana, prana tersebut dihubungkan dengan pikiran dan melalui pikiran menuju kehendak kemudian melalui kehendak menuju roh individual dan melalui ini, ia akan mencapai suatu keberadaan yang tertinggi. Penaklukan prana terletak pada pengendalian gelombang kecil prana pada pikiran. Dengan dikendalikannya prana maka akan tercipta keselarasan hidup individual dengan kehidupan kosmis.
Prana memiliki peranan yang sangat penting dalam pikiran, bahkan prana ada pada saat pikiran tidak ada yaitu saat tertidur. Oleh sebab itu Pranavadin atau Hatha Yogin mengatakan bahwa prana tattva mengungguli manas tattva. Prana tersebut memiliki lima sub bagian yaitu: Naga, Kurma, Krikara, Devadatta, dan Dhananjaya.


5. Pratyahara
Pratyahara adalah penguasaan panca indria oleh pikiran sehingga apapun yang diterima panca indria melalui syaraf ke otak tidak mempengaruhi pikiran. Panca indria adalah : pendengaran, penglihatan, penciuman, rasa lidah dan rasa kulit. Pada umumnya indria menimbulkan nafsu kenikmatan setelah mempengaruhi pikiran. Yoga bertujuan memutuskan mata rantai olah pikiran dari rangsangan syaraf ke keinginan (nafsu), sehingga citta menjadi murni dan bebas dari goncangan-goncangan. Jadi yoga tidak bertujuan mematikan kemampuan indria. Menurut Maharsi Patanjali: Sva viyasa asamprayoga, cittayasa svarupa anukara, iva indriyanam pratyaharah, tatah parana vasyata indriyanam. Artinya : Pratyahara terdiri dari pelepasan alat-alat indria dan nafsunya masing-masing, serta menyesuaikan alat-alat indria dengan bentuk citta (budi) yang murni. Makna yang lebih luas sebagai berikut : Pratyahara hendaknya dimohonkan kepada Hyang Widhi dengan konsentrasi yang penuh agar mata rantai olah pikiran ke nafsu terputus.
6. Dharana
Dharana (pemusatan) adalah memusatkan citta/ budi pada suatu obyek. Pemusatan atau dharana berarti membebaskan diri dari keragu-raguan dan keresahan. Dalam teknik yoga, pemusatan budi pada berbagai alat indra yang melahirkan cara suatu pengamatan. Konsentrasi mental (pemusatan pikiran) dan sikap-sikap membantu kita dalam produksi zat-zat kimia oleh kelenjar-kelenjar dan dengan demikian menghasilkan akibat-akibat fisiologis yang dapat dilihat dan cara yang sama konsentrasi mental dapat menghasilkan apa yang dapat disebut perasaan supra berupa rabaan, rasa, warna, bunyi, bau, dll. Pikiran ini disampaikan dalam bahasa yoga kuna dengan perkataan “Meditasi pada ujung hidung membangunkan unsur bumi dan menciptakan bau ajaib, meditasi pada ujung lidah membangunkan unsur air dan menciptakan rasa luar biasa, meditasi pada matahari atau bulan atau bintang-bintang membangunkan unsur cahaya dan menciptakan bentuk-bentuk keindahan luar biasa, meditasi pada OM atau pada perkataan suci lain membangunkan unsur udara dan menciptakan benuk-bentuk musik batin luar biasa, meditasi pada pikiran bahwa anda berada di pangkuan Tuhan membangunkan unsur angin dan menciptakan perasaan sentuhan luar biasa; semua ini membawa keyakinan pada budi yang goncang dan keyakinan itu membawa kedamaian”. Kemampuan melaksanakan dharana denggan baik, akan memudahkan mencapai dhyana dan samadhi.
7. Dhyana
Dhyana adalah suatu keadaan dimana arus pikiran tertuju tanpa putus-putus pada obyek yang disebutkan dalam dharana, tanpa tergoyahkan oleh obyek atau gangguan/ godaan lain, baik yang nyata maupun yang tidak nyata. Gangguan yang nyata dirasakan oleh panca indria baik melalui pendengaran, penglihatan, penciuman, rasa lidah, maupun rasa kulit. Gangguan atau godaan yang tidak nyata adalah dari pikiran sendiri yang menyimpang dari sasaran obyek dharana. Tujuan dhyana adalah aliran pikiran yang terus menerus kepada Hyang widhi melalui obyek dharana. Patanajali menguraikan “tatra pradyaya ekatanata dhyanam” yang artinya arus budi atau pikiran yang tiada putus-putusnya menuju tujuan (Hyang Widhi). Wujud dhyana adalah sebagai peleburan segenap usaha diri rendah menuju tercapainya diri agung. Jiwa rendah sudah tidak memikirkan apalagi melainkan untuk mencapai Tuhan.
8. Samadhi
Samadhi adalah tingkatan tertinggi dari astangga yoga yang dibagi kedalam dua keadaan, yaitu:
  1. Samprajnatta-Samadhi atau Sabija-Samadhi, adalah suatu keadaan dimana yogin masih mempunyai kesadaran.
  2. Asamprajnatta-Samadhi atau Nirbija-samadhi adalah keadaan dimana yogin sudah tidak sadar akan diri dan lingkungannya karena bhatinnya penuh diresapi oleh kebahagiaan tiada tara, diresapi oleh cinta kasih Hyang Widhi. Baik dalam keadaan Sabija-Samadhi maupun nirbija-Samadhi.
Samadhi dirumuskan dalam patanjali sebagai “tad eva harta matra nirbhasam savarta sunyiam iva samadhi” (III. 3) yang artinya sesungguhnya adalah samadhi, didalam yang mana hanya artha (arti daripada tujuan) bercahaya dan bentuk sendiri (svarupa) hilang. Dalam keadaan transenden ini, pemikir diresap kedalam pikiran, aktivitas budi berhenti seperti orang menjadi satu dengan obyek yang dipikirkan atau direnungkan.
2.4  Relevansi Astangga Yoga dalam merefresh kembali Mental remaja masa kini
Astangga yoga ibarat sebuah pisau yang akan mengupas adanya permasalah yang menimpa kaum remaja masa kini karena dalam astangga yoga tentunya diajarkan mengenai adanya tidak berbuat untuk membunuh, tidak mencuri dll, ini berarti peranan asttangga yoga dalam membentuk mental atau merefresh kembali mental kaum remaja sangat relevan. Di lain sisi pernah ada sebuah kutipan singkat dari Swami Vivekananda yang menyatakan bahwasannya mengapa seseorang sibuk memikirkan  keburukan orang lain, mengapa seseorang sering menghujat orang lain, bahkan mengapa seseorang sering menghakimi bahkan menafsirkan orang lain denmgan berbagai versi kehidupan?, dalam hal ini, artinya manusia dituntut untuk tidak selalu menginginklan perubahan orang lain, selama manusia (kaum Remaja) mau untuk mengintronspeksi dirinya dengan jalan pengendalian selalu untuk mencoba menilai dirinya sendiri adakah kemudian hal yang sulit di dunia ini.
Dalam ruang lingkup remaja, remaja sekarang ini mulai rancu akan pemikirannya bahkan di hadapkan pada situasi dalam konteks ketidaktenangan remaja selalu ceroboh memikirkan atau mensintesa segala bentuk permasalahan ini dikarenan mentalnya telah rapuh misalnya saja saaat seorang remaja yang masih duduk di bangku sekolah, dengan ketidaktenangannya remaja membiasakan budaya mencontek terjadi, kemudian jika dikorelasikan dengan ceritanya Bangbang Ekawalya yang belajar memanah sehingga mencapai kemampuan melebihi Arjuna, seorang Bangbang Ekawalya yang hanya belajar dari personifikasi Bhagawan Drona, dengan keuletan ketenangan dan kosentrasinya maka BangBang Ekawalya mampu menjiwai di dalam patung itu seakan- akan Bhagawan Drona hadir disaaat Bangbang Ekawalya belajar memanah, ada nilai moril yang bisa seorang remaja petik dari cerita ini artinya seorang remaja seyogyanya mampuy mengendalikan kosentrasi sesuai dengan konsepsi dari astangga yoga (Ramanda Prasad, 2010 : 49).
Di sisi lain, remaja sangat pentring untuk melakukan tindakan analogi kontemplasi dari sebuah rentetan peristiwa yang ada di medan kuru Kesetra saaat perang Bratayudha akan dimulai, pada saat ini turunlah wejangan suci Govinda Krsna yang memberikan wejangan pada Arjuna (Partha), dalam kehidupan tubuh manusia ibarat sebuah kereta yang dikendalikan oleh kecerdasan, Roh yang menumpang pada badan manusia adalah penumpang kereta, pikiran adalah tali kereta, dan kuda merupaka panca Indria yang patut dikendalikan, dengan kata lain, jika manusia memiliki pengetahuan yang berada maka akan mempengaruhi kecerdasannya, dalam hal ini bagi seorang remaja bisa memikirkan dari sering belajar memalui pembelajaran di lingkungn keluarga, sekolah maupun di lingkungan masyarakat dengan menerapkan ajaran astangga yoga kereta atau tubu itu akan daba dibawa ke jalan kebenaran bukan sebaliknya malas dalam hal belajar, nantinya remja membawa keretanya ke jurang lembah hitam yang sangat dalam (Swami Prahupada,2006 :71), dalam istilah leluhur Bali menyatakan bahkan tersurat dalam naskah sastra “Taki - Takining Sewaka Guna Widya” yang artinya dari sejak dini remaja mulai terus belajar hingga sepanjang hayatnya.
2.5  Manfaat yang diperoleh setelah melakukan Astangga Yoga
Bagi kaum remaja banyak sekali manfaat yang didapatkan setelah mempelajari bahkan melakukan ajaran Astangga yoga ada beberapa manfat secra gari besarnya yaitu :
1 untuk pengendalian diri
2 untuk mendapatkan ketenangan
3 untuk mempermudah remaja saat ini mengingat mata pelajaran yang diajarkan
4 mampu untuk selalu menjaga refreshnya mental setiap harinya melalui rutinitas. 


BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sistem Filsafat India dan bagian dari Sad Darsana (Enam filsafat menurut pandangan Maha Rsi)  yang spesifikasinya terdapat dalam Yoga Darsana menurut Maha Rsi Patanjali yang  memiliki rmakna suatu proses pengendalian  aktivitas pikiran dan  penyatuan roh pribadi dengan roh tertinggi “(sangkan paraning dumadi)”.
      Astangga juga disebut sebagai sistem yoga untuk mematahkan perputaran yang tiada putus - putusnya itu dengan secra bertahap meniadakan segala klesa serta memberhentikan wrtti, hal ini hanya dapat tercapai dengan melalui usaha yang terus menerus dan dengan melalui keadaan yang tanpa nafsu (wairagya). Hanya dengan usaha yang panjang manusia akan dapat membedakan kebiasaan untuk lepas dari pada nafsu - nafsu, sehingga dapat membedakan antara pribadi dan bukan pribadi.
      Astangga yoga ibarat sebuah pisau yang akan mengupas adanya permasalah yang menimpa kaum remaja masa kini karena dalam astangga yoga tentunya diajarkan mengenai adanya tidak berbuat untuk membunuh, tidak mencuri dll, ini berarti peranan asttangga yoga dalam membentuk mental atau merefresh kembali mental kaum remaja sangat relevan. Di lain sisi pernah ada sebuah kutipan singkat dari Swami Vivekananda yang menyatakan bahwasannya mengapa seseorang sibuk memikirkan  keburukan orang lain, mengapa seseorang sering menghujat orang lain, bahkan mengapa seseorang sering menghakimi bahkan menafsirkan orang lain denmgan berbagai versi kehidupan?, dalam hal ini, artinya manusia dituntut untuk tidak selalu menginginklan perubahan orang lain, selama manusia (kaum Remaja) mau untuk mengintronspeksi dirinya dengan jalan pengendalian.
            Bagi kaum remaja banyak sekali manfaat yang didapatkan setelah mempelajari bahkan melakukan ajaran Astangga yoga ada beberapa manfat secra gari besarnya yaitu :
1 untuk pengendalian diri
2 untuk mendapatkan ketenangan
3 untuk mempermudah remaja saat ini mengingat mata pelajaran yang diajarkan
4 mampu untuk selalu menjaga refreshnya mental setiap harinya melalui rutinitas.
3.2 Saran
            Bagi kaum remaja yang mempunyai pengetahua lebih tentang astngga yoga bisa dishare bahkan menambahlkan dari pembuatan makalah ini,bagi para pembaca sekaligus penekun Yoga sutra Patanjali dari hadirnya makalah ini semoga mampu untuk dijadikan refrensi.     
 


DAFTAR PUSTAKA

Bantas,  I Ketut. 2002. Agama Hindu. Jakarta: Penerbit Pusat Universitas Terbuka.
Mudana, Nengah dkk. 2007. Genitri pendidikan Agama Hindu kelas XI SMA. Denpasar : Tri    Agung
Ramanda Prasad. 2010. Intisari Bhagavad Gita. Denpasar : Media Hindu
Sudarsana, IB Putu. 2003. Ajaran Agama hindu. Denpasar: Penerbit Yayasan Dharma Acarya Percetakan Mandara Sastra.
Sri Srimad A.C. Bhaktivedanta Swami Prahupada. 2006. Bhagavad Gita menurut aslinya, Jakarta: Perpustakaan Nasional Katalog dalam terbitan









     


Literasi Digital Versi Aplikasi Book Creator Hindu

            Literasi serasa sepi, karena kemampuan peserta didik dalam hobby membaca sebagai bagian dari literasi mulai menurun dari kurun w...