Peradaban
Aguron - guron Dharma menuntun manusia untuk sadar, kesadaran didapatkan untuk
proses pendewasaan, proses transisi dari awal kesadaran mencoba berubah dan berbenah adalah proses
belajar. Kesadaran yang perlu ditanamkan kepada siswa di awal aguron – guron
adalah niat belajar, niat ketika mengkritik orang lain, maka siswa tersebut
belum belajar namun ketika telah mengkritik diri sendiri siswa tersebut mulai
belajar. Sanatana Dharma marwah dari Hindu sebagai cermin bahwa Dharma mampu
diregenerasi berubah sesuai dengan perkembangan zaman, mengadaptasi zaman yang
terus berubah namun jiwa dari komponen Dharma tidak pernah berubah. Proses
mengalirnya aguron – guron beragama hindu dari generasi ke generasi berikutnya
merupakan Sentana Dharma yaitu sentana pertama belajar dilanjutkan sentana
kedua dan seterusnya.
Pada
setiap pembelajaran sentana dharma ini memiliki model pembelajaran yang berbeda
– beda dalam setiap tahapannya. Pembelajaran awal dari aguron – guron dharma
adalah pengendalian pikiran (manahcika parisudha) kemudian pengendalian
perkataan (wacika parisudha) dan setelah itu tindakan (kayika parisudha) ketika
ketiganya telah diparisudha dalam bentuk aksi/tindakannya maka terjadilah
campuhan (perpaduan) antara manahcika
wacika kayika menadi tunggal ika. Perbedaan cara berpikir, perbedaan cara
mengetahui kerja pikiran, perbedaan cara pandang, perbedaan cara menganalogikan
dan lain sebagainya akan dapat diatasi dengan mengetahui persamaan dari ego
yang dikendalikan atau ego yang diturunkan. Ego atau sifat keAkuan ini jika
tidak ada niat kesadaran dari siswa, guru dan setiap elemen atau ranah
pendidikan hindu yang ada di Nusantara ini, menurunkan egonya sudah tidak ada
niat, maka hal yang akan terjadi adalah kontestasi pemikiran, kompetisi
pemikiran bukan kolaborasi pemikiran. Istilah lainnya besar kepala (isi
teorinya banyak., isi pemikirannya banyak) namun pengendalian egonya belum
diturunkan atau dialihkan sebagi alat motivasi diri.
Wacika
Parisudha perlu juga campuhan (dipadukan) berusaha mengurangi perdebatan hanya
sekedar sebuah kontestasi akademis atau kontestasi urat leher, atau kontestasi
di media sosial mendapatkan like and
dislike. Campuhan Wacika Parisudha bisa didapatkan apabila mampu untuk
memahami perbedaan cara berpendapat, cara berargumentasi dan lain sebagainya.
Pola pendidikan wacika parisudha ini dapat dipahami secara sederhana yaitu
kodrat manusia diberikan satu mulut untuk mampu berbicara pada substansi
berbicara dengan kenyataan berbicara sedikit namun memiliki makna yang berarti
bagi yang mendengarkan. Inilah proses aguron – guron pendidikan agama hindu
dari sisi wacika parisudha.
Kayika
Parisudha adalah campuhan kolaborasi dari berbagai jenis karya siswa karya
guru, karya dalam sebuah aguron – guron pendidikan agama hindu. Kayika sebagai
sebuah kenyataan dari setiap pemikiran, perkataan namun yang terpenting
terlihat dari sisi karyanya. Jadi karya yang akan berbicara sendiri terhadap
kepribadian pemilik karya. Campuhan Tri Kaya Parisudha yaitu Manah, wacika dan
Kayika menjadi akan stabil apabila mengalami Tunggal Ika. Segala perbedaan akan
mengalami perpaduan/campuhan apabila
Tunggal Ika. Swarnaning Gawe Metu
Phalanya, Manahcika Wacika Kayika Menadi Tunggal Ika. Berbagai jenis
pekerjaan akan menuai hasil apabila pikiran, perkatan dan tindakan stabil dalam
kesatuan.
No comments:
Post a Comment