Friday, March 24, 2017

Teori Postmodern Upacara Pitra Yadnya

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia merupakan mahluk yang tertinggi dan paling mulia diantara mahluk ciptaan Tuhan/Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang lainnya. Istilah manusia sebagai mahluk yang tertinggi disampaikan oleh Mpu Wararucci dalam kawya sastranya sarascamuscaya “Apan ikang dadi Wwang Utama Juga ya” maksud dari untaian kawya sastra di atas adalah menjadi manusia sangatlah utama. Hal yang senada juga disampaikan oleh beberapa tokoh filosofis seperti Charles Darwin, Plato dan Aristoteles.  Secara terminology menurut filosofis ini, manusia merupakan mahluk evolusi dari kera menjadi homo sapiens, mahluk Zoon Politikon (hidup ketergantungan). Manusia disebut sebagai homo sapiens karena manusia memiliki akal, budi, idep sebagai bagian tri pramana yang paling mendasar, dan viveka jnana (daya filterisasi).
Penyebab timbulnya viveka jnana (daya pembeda) yang terdapat didalam diri manusia karena pengalaman belajar melalui swahtah, sastratah, dan gurutah, pengalaman inilah yang membentuk tingkat jnana manusia berbeda-beda. Ada manusia yang tingkat pemahamannya rendah, sedang, maupun tinggi  disebabkan karena pemikiran yang dimilikinya. Pemikiran manusia didasarkan atas pengalaman empiris maupun metafisis, yang menimbukan pemahaman pemikiran secara rasional dan kemungkinan dari pikiran berpikir akan keirasionalan dari objek yang dipikirkan.

1
Pemikiran rasional, radikal, objektif, universal, kritis didasarkan atas standarisasi kedisiplinan ilmu atau dengan kata lain memenuhi standar-standar kelayakan ilmu, sehingga objek pengamatan bisa dikatakan sebagai suatu hal yang masuk dalam ranah teoretis. Segala bentuk kegiatan baik sosial, ekonomi, politik agama dan budaya didasarkan atas khasanah teori. Contoh mendasar dari salah satu kegiatan keagamaan hindu terletak pada beberapa gejala-gejala yang ada dari masa klasik religion hingga post modern sekarang ini. Perdebatan, sintesis, antitesis  teori post modern akan menjadi salah satu teori yang patut  dianalisis keberadaannnya dengan mengambil gejala-gejala permasalahan keagamaan.
Teori post modern dalam pembuktian secara akuntabel dan validitasnya dapat dipertanggungjawabkan apabila disertai dengan salah satu contoh permasalahan keagamaan yaitu upacara Pitra Yadnya di Era Postmodern. Upacara Pitra Yadnya di Era Postmodern banyak mengalami perubahan. Titik tolok ukur dari perubahan atau masa transisi terlihat dari masa ke masa.  zaman peradabaan budaya hindu klasik di Bali masyarakat Bali  membawa jenasah yang merupaka Ptrnya ke setra (kuburan) hanya berempat yang memikul jenasah di depan berdua di belakang berdua, kemudian perkembangan zaman mulai berubah mengarah pada orde baru semeton hindu membawa jenasah ke setra (kuburan) dengan budaya suryak siyu saling sorog sirig, memakai bade yang megah keberadaannya, mengajak krama hindu di setiap banjarnya. Dengan memutar mengelilingi pertigaan maupun perempatan masyarakat Bali memikul membawa jenasah di dalam bade diiringi dengan musik gambelan baleganjur. Sistem transportasi semakin berubah di  awal abad ke 21,  karena pesatnya kemajuan Badepun memakai roda dan didorong oleh masyarakat utamanya diperkotaan saat membawa jenasah, sehingga budaya suryak siyu saling sorog sirig demi kebersamaan sekarang mulai memudar, hanya kekompakan krama disetiap banjar saja yang masih terlihat dari segi iuran suka dukha dll.
Fenomena dari segi sosial ekonomipun Upacara Pitra Yadnya ini mulai berubah, beberapa oknum krama menjalankan  ritual keagamaan Pitra Yadnya hanya atas dasar prestise di masyarakat sehingga mencari dan membeli bade yang megah atas dasar gengsi bukan atas dasar keikhlasan. inti yadnya yang merupakan keikhlasan sekarang mulai cenderung atas dasar keterpaksaan dan “gengsi”. Maka tujuan akhir dari Yadnya adalah membayar hutang bukan untuk menambah hutang menjadi perbincangan di kalangan masyarakat hindu-Bali, inilah yang perlu diubah mainset pemikiran masyarakat mengenai keberadaan  Pitra Yadnya. secara faktual di lapangan,  era mordernisasi dan westernisasi yang begitu pesatnya di tahun 2016 Bali mengalami kedukaan karena tokoh pendharmawacana Ida Pedanda Gede Made Gunung Lebar, dalam Bhisama beliau yang bisa umat Hindu-Bali kutip pembelajaran adalah saat pengabenan beliau tidak harus memakai Bade, sehingga ritual Pitra Yadnya Ida Pedanda Gede Made Gunung sangat sederhana. Fenomena mengisyaratkan bahwa umat hindu patut jeli dengan Upacara Pitra Yadnya di era modern yang sangat revolusioner ini yang tidak semata-mata untuk mendapatkan sanjungan, pujian, setelahnya seolah-olah mati dibelilit “utang cicilan”.  Pandangan teori Postmodern berusaha untuk mengembalikan esensi Upacara Pitra Yadnya dalam ruang lingkup faudamental (dasar pokok), epistimologi (pengetahuan) dan berusaha mengkritisi keberadaan aksi masyarakat hedonis yang notabene terlalu “jorjoran” melaksanakan ritual yadnya. Cara jorjoran diantisipasi bukan dengan harus menghilangkan banten namun kembali pada esensi melaksanakan acara pitra yadnya.           
1.2 Rumusan Masalah   
1.  Bagaimanakah definisi Teori-teori secara universal?
2.  Apakah konsep Teori Posmodern secara etimologis dan terminologis ?
3. Bagaimanakah prosesi pelaksanaan Upacara Pitra yadnya apabila dikaji secara faundamental aksiologis dan epistimologisnya ?  
4  Apakah contoh relevansi Teori Posmodern dipadukan dengan epistimologis Hindu sebagai Problem Solving ?
1.3 . Tujuan Penulisan
1.  untuk mengetahui pengertian teori-teori
2.  untuk memahami maksud Teori PosModern
3.  untuk memahami prosesi pelaksanaan upacara Pitra Yadnya apabila dikaji secara faundamental aksiologis dan epistimologis
4. untuk menganalisis salah satu contoh yang dikorelasikan dengan teori  Posmodern.




PEMBAHASAN

2.1  Definisi Teori secara universal
Teori dalam karya ilmiah sangat penting untuk mengungkapkan semua gejala dan memprediksi dari hasil kajian tersebut. Kata teori dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Tiga (2002:1177) memiliki arti (1) pendapat yang didasarkan pada penelitian dan penemuan didukung oleh data dan argument,      (2) penyelidikan eksperimental yang mampu menghasilkan fakta berdasarkan ilmu pasti, logika dan argumentasi.
Teori juga merupakan narasi yang mencoba membedakan dan menjelaskan ciri-ciri umum dari sebuah atau beberapa gejala dengan cara mendeskripsikan dan menjelaskan tanda-tanda yang dianggap secara tetap muncul dan bisa diamati. Teori adalah alat, instrument atau logika untuk ikut campur atau ambil bagian dalam dunia lewat mekanisme deskripsi, definisi, prediksi, dan control. Konstruksi teori adalah upaya diskursif-refleksi ntuk menafsirkan dan mengabstraksi dunia kehidupan dan terdapat gejala-gejala alam social (Sutrisno,2003 : 285).
 Menurut Ridwan (2004 : 19) dalam buku Metode dan Tehnik Penyusunan Tesis menyatakan, bahwa teori adalah suatu ilmu yang relevan dapat digunakan untuk menjelaskan tentang variabel yang akan diteliti sebagai dasar untuk memberikan jawaban sementara terhadap rumusan masalah yang akan diajukan, serta penyusunan instrumen penelitian. Suatu penelitian yang dituangkan dalam karya tulis ilmiah, penampilan teori tersebut harus jelas mengandung penjelasan dan keterangan yang tercakup dalam rumusan masalah dan kajiannya.

2.2 Konsep Teori Posmodern secara Etimologis dan Terminologis

4
Secara etimologis, Istilah postmodern memang tidak memiliki definisi yang pasti, yang mampu merangkul seluruh hasil pemikiran para teori tikus yang menamakan diri mereka sebagai kelompok postmodernisme. Secara sekilas, konsep postmodern dirangkai dari konsep “Post” dan “Modern” ; “Post” dapat dimaknai sebagai era “Sesudah”, sehingga postmodern mengandung makna setelah modernitas.
Ada beberapa istilah yang masih berkaitan dengan istilah postmodern, yaitu postmodernitas, postmodernisme. Menurut Umar (Ritzer, 2003), istilah postmodernitas menunjukkan pada suatu epos-jangka waktu, zaman, masa-sosial dan politik yang biasanya terlihat mengiringi era modern dalam suatu pemahaman sejarah. Jadi, definisi postmodern meliputi suatu epos sejarah baru, produk budaya yang baru, serta tipe teori baru yang menjelaskan dunia sosial.
Teori postmodern banyak memberikan kritik atas realitas “manusia modern” yang terlalu dalam persepsi mereka. Rosenau (Ritzer, 2003) menjelaskan mengenai beberapa posisi dari teori postmodern mengenai modernitas. Pertama, postmodern mengkritik masyarakt modern yang dinilai gagal dalam memenuhi janji-janjinya. Postmodern mempertanyakan bagaimana setiap orang dapat mempercayai bahwa modernitas telah membawa kemajuan dan harapan masyarakat depan yang lebih cemerlang.
 Kedua, teori postmodern cendrung menolak apa yang biasanya dikenal dengan pandangan dunia (world view), metanarasi totalitas dan sebagainya. Ketiga, teori postmodern cenderung menerapkan fenomena besar postmodern, seperti emosi, perasaan, intuisi, refleksi, spekulasi, pengalaman personal, kebiasaan, kekerasan, metafisika, tradisi, dan sebagainya. Keempat, teori  postmodern menolak kecendrungan dunia modern yang meletakkan bata-batas antara hal-hal tertentu seperti disipin akademis, budaya dan kehidupan, fiksi, dan teori, citra, dan realitas.
            Nasikum (2003:52), memaparkan secara terminologis, menurut pandangan para ahli teori PostModern memiliki pengertian masing-masing diantaranya : Menurut Pauline Rosenau (1992) mendefinisikan Postmodern secara gamblang dalam istilah yang berlawanan antara lain: Pertama, postmodernisme merupakan kritik atas masyarakat modern dan kegagalannya memenuhi janji-janjinya. Juga postmodern cenderung mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan dengan modernitas.Yaitu pada akumulasi pengalaman peradaban Barat adalah industrialisasi, urbanisasi, kemajuan teknologi, negara bangsa, kehidupan dalam jalur cepat. Namun mereka meragukan prioritas-prioritas modern seperti karier, jabatan, tanggung jawab personal, birokrasi, demokrasi liberal, toleransi, humanisme, egalitarianisme, penelitian objektif, kriteria evaluasi, prosedur netral, peraturan impersonal dan rasionalitas
            Kedua, teoritis postmodern cenderung menolak apa yang biasanya dikenal dengan pandangan dunia (world view), metanarasi, totalitas, dan sebagainya. Seperti Baudrillard (1990:72) yang memahami gerakan atau impulsi yang besar, dengan kekuatan positif, efektif dan atraktif mereka (modernis) telah sirna. Postmodernis biasanya mengisi kehidupan dengan penjelasan yang sangat terbatas atau sama sekali tidak ada penjelasan. Namun, hal ini menunjukkan bahwa selalu ada celah antara perkataan postmodernis dan apa yang mereka terapkan. Sebagaimana yang akan kita lihat, setidaknya beberapa postmodernis menciptakan narasi besar sendiri.
Banyak postmodernis merupakan pembentuk teoritis Marxian, dan akibatnya mereka selalu berusaha mengambil jarak dari narasi besar yang menyiapkan posisi tersebut. Ketiga, pemikir postmodern cenderung menggembor-gemborkan fenomena besar pramodern seperti emosi, perasaan, intuisi, refleksi, spekulasi, pengalaman personal, kebiasaan, kekerasan, metafisika, tradisi, kosmologi, magis, mitos, sentimen keagamaan, dan pengalaman mistik. Seperti yang terlihat, dalam hal ini Jean Baudrillard (1988) benar, terutama pemikirannya tentang pertukaran simbolis (symbolic exchange).
            Keempat, teoritis postmodern menolak kecenderungan modern yang meletakkan batas-batas antara hal-hal tertentu seperti disiplin akademis, budaya dan kehidupan, fiksi dan teori, image dan realitas. Kajian sebagian besar pemikir postmodern cenderung mengembangkan satu atau lebih batas tersebut dan menyarankan bahwa yang lain mungkin melakukan hal yang sama. Contohnya Baudrillard (1988) menguraikan teori sosial dalam bentuk fiksi, fiksi sains, puisi dan sebagainya. Kelima, banyak postmodernis menolak gaya diskursus akademis modern yang teliti dan bernalar (Nuyen, 1992:6). Tujuan pengarang postmodern acapkali mengejutkan dan mengagetkan pembaca alih-alih membantu pembaca dengan suatu logika dan alasan argumentatif. Hal itu juga cenderung lebih literal daripada gaya akademis.
Menurut Lyotard mendefinisikan postmodern sebagai ketidakpercayaan pada narasi besar modernisme.Terdapat dua narasi besar yang cukup berpengaruh dan dipakai untuk melegitimasi ilmu pengetahuan.            Pandangan Antoni Giddens  Postmodernisme adalah sebuah estetika, sastra, politik atau filsafat sosial, yang merupakan dasar dari upaya untuk menggambarkan suatu kondisi, atau suatu keadaan, atau sesuatu yang berkaitan dengan perubahan pada lembaga-lembaga dan kondisi-kondisi sebagai postmodernita. postmodernisme adalah fenomena budaya dan intelektual.
Menurut Josh McDowell & Bob Hostetler menawarkan definisi berikut postmodernisme: "Suatu pandangan dunia yang ditandai dengan keyakinan bahwa tidak ada kebenaran dalam pengertian objektif tetapi diciptakan bukan ditemukan.". Kebenaran adalah "yang diciptakan oleh budaya spesifik dan hanya ada di budaya". Pandangan Tony Cliff  mengenai Postmodernisme adalah The theory of rejecting theories modern atau teori menolak/membantah teori modern. 
Menurut Al Gore :It's the combination of narcissism and nihilism that really defines postmodernism," (Kombinasi dari narsisme dan nihilismelah yang memberikan arti pada postmodernisme). Pandangan Marvin Harris Postmodernisme merupakan gerakan intelektual yang (sedikit) bertentangan dengan modernisme. Istilah ini lebih menitikberatkan pemahaman budaya dalam konteks khusus. Postmodernisme juga tidak memiliki paradig­ma penelitian yang lebih istimewa.
Menurut Michael Foucault Postmodernisme akan menghubungkan antara ilmu dan alasan. IImu akan mencari “best answer”. Namun, jawaban yang hadir dalam pandangan post modernisme akan menolak generalisasi. Kebenaran, lebih mengandalkan pada kemampuan fiksi persuasif, relativitas, lokal, plural, tak menentu, dan penafsiran.

Pandangan Habermas Postmodernisme itu sebagai langkah “counter culture”, artinya kebudayaan elit atau kebudayaan massa pada masa modernisme justru dihancurkan. Pauline Rosenau mendefinisikan Postmodern secara gamblang dalam istilah yang berlawanan antara lain: Pertama, postmodernisme merupakan kritik atas masyarakat modern dan kegagalannya memenuhi janji-janjinya. Juga postmodern cenderung mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan dengan modernitas
Pemikiran Eagleton menyatakan bahwa postmodernisme memang mengambil ide dari modernisme dan avant-garde, dan kemudian diramu yang lebih masak dengan disiplin lain. Dari modernisme, postmodernisme mencoba mewarisi tentang kritik yang mengambil jarak, sedangkan dari avant-garde, postmodernisme ingin mencoba memecahkan masalah kehidupan sosial budaya, menolak tradisi, dan sebagai oposisi “high” culture

2.3  Prosesi pelaksanaan Upacara Pitra yadnya apabila dikaji secara faundamental aksiologis dan epistimologisnya   

2.3.1 Konsep Upacara Pitra Yadnya
            Secara umum kajian terhadap pelaksanaan upacara pitra yadnya terungkap dalam beberapa literatur. Pitra yadnya adalah persembahan suci dan tulus ikhlas kepada pitara atau leluhur. Pada dasarnya pitra yadnya dilaksanakan karena dilatarbelakangi dengan adanya Pitra Rna yaitu hutang kepada orang tua atau leluhur yang telah melahirkan, membesarkan, serta menghidupi kita (Sanjaya, 2010:27).
            (Bantas, 2002:5.17) menyatakan mengenai upacara Pitra Yadnya merupakan persembahan kepada para leluhur (ptr) dengan tujuan menyucikan roh leluhur. Dalam refrensi (PHDI pusat, 2008:81) menerangkan bahwasannya upacara pitra yadnya selain dilatarbelakangi oleh Tri Rnam juga dipengaruhi oleh proses Utpati, Sthiti, dan Pralina (Lahir, Hidup, dan Mati) merupakan hukum Rta yaitu suatu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan atau dipungkiri oleh semua mahluk ciptaan-NYA termasuk manusia. Lahir diibaratkan sebagai Kedatangan, Hidup sebagai Pertumbuhan dan Perkembangan sedangkan Mati diibaratkan sebagai Kepergian, yaitu kepergiaan Atma meninggalkan jasadnya. Atma ditopang oleh karmanya selama hidup mengikuti proses perjalanan menuju sumbernya, sedangkan jasadnya berupa jenasah harus pula dikembalikan kepada sumber pembentukahn yaitu Panca Maha Bhuta (Pertiwi,Apah, Bayu, Teja dan Akasa). Veda mengjarkan bahwa proses tercepat untuk itu  adalah dengan perbuatan yang disebut juga dengan Antyesti Samkara Atau Atiwa-tiwa dan yang lebih populer disebut dengan Ngaben dalam Upacara Pitra Yajna.                         
             (Wijaya dkk, 2007:48) menyebutkan Pitra Yadnya berarti korban yang dilaksanakan denga hati yang tulus ikhlas kepada para leluhur (nenek moyang dan orang tua). Leluhur adalah cikal bakal atau yang mengawali kita. Tanpa leluhur dan curahan kasih sayang yang telah diberikan kepada kita takkan mungkin kita bisa hidup dengan selamat. Kehidupan dan keselamatan yang kita peroleh adalah merupakanh pemberian dan tutunan dari leluhur kita. Yadnya (Pitra Yadnya) adalah salah satu sarana yang dapat dipergunakan untuk mewujudkan rasa bahakti kepada para leluhur. Leluhur kita dapat diklarifikasaikan ada 2 yaitu leluhur adalah oaring tua yang masih hidup (ayah dan ibu) kita, Leluhur juga disebut orang tua atau mereka yang sudah meninggal (nenek moyang).
             Pitra Yadnya adalah yang dipersembahkan kehadapan para leluhur karena leluhurlah kita ini ada, dan kita berhutang jasa berupa kelahiran kepada beliau. Oleh karena itu kita berkewajiban untuk melaksanakan upacara yadnya. Adapun bentuk-bentuk upacara persembahan yang patut kita laksanakan antara lain : Upacara Kematian, Upacara Ngaben, dan Upacara Atma Wedana (Sudirga, 2004:90). Pitra yadnya adalah mempersembahkan puja dan bali atau banten kepada para leluhur (Lontar Korawa Srama dlm Mudana dkk, 2007:86). Pitra yadnya juga berarti upacara kematian agar roh yang meninggal mencapai Alam Siwa (Lontar Agastya Parwa dlm Mudana dkk, 2007:86).
            Pandangan-pandangan mengenai upacara  pitra yadnya tersebut diatas, dapat dianalisis bahwa latar belakang timbulnya upacara pitra yadnya adalah Pitra Rnam yakni utang terhadap leluhur, baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal, sudah barang tentu wajib hukumnya sentana untuk membayar hutang tersebut, ini sama dengan halnya manawa sewa/melayani manusia. Jika dalam konsep Tri Kona dikenal adanya proses Utpati, Sthiti, dan Pralina (Lahir, hidup, dan mati), segala yang lahir akan hidup dan segala yang hidup pasti akan mati. pada saat mati inilah manusia diupakara menurut hindu mengenal adanya Sawa Prateka dan Atma Widana, sisi lain dalam tatanan konsep Panca Maha Butha maka segala jasad manusia yang lahir akan kembali kepada 5 unsur alam yaitu : air, api, angin, tanah, dan ether dan sebagai perti sentana atau sebagai garis keturunan berikutnya sudah barang tentu kita mengingat jasa - jasa leluhur kita, karena dari nenek moyanglah kita ada, dan sebagai sujud bakti kepada leluhur maka dilaksanakanlah pitra yadnya tersebut, dalam konsep Tri Loka kita mengembalikan Atma leluhur kita dari alam Bwah Loka supaya bisa berada di Alam Swah Loka dan itupun dilakukan dalam proses pitra yadnya ini yang didasari atas rasa tulus ikhas dalam bhatin manusianya.
2.3.2. Kajian aksiologis pelaksanaan upacara Pitra Yadnya
               Dalam pelaksanaannya upacara Pitra yadnya dibagi menjadi 2 yaitu upacara Sawa wedana dan upacara Atma wedana.
1. Upacara Sawa wedana
               Sawa Wedana adalah upacara yang bermaksud mengembalikan jasad kepada unsur asalnya yaitu Panca Maha Bhuta yang terdiri dari lima unsur pokok. Badan jasmani (mikrokosmos) terdiri dari lima unsur pokok (Panca Maha Bhuta) pula yaitu : pertiwi (zat tanah), apah (zat air), teja (zat sinar), bayu (udara/gas) dan akasa (ether). Pada dasarnya alam besar atau Macrokosmos sama unsurnya dengan alam kecil walaupun masing -masing unsur itu berbeda wujud. Upaya sawa wedana untuk mengembalikan Panca Maha bhuta dari unsur-unsur jasad manusia kepada asalnya Panca Maha Bhuta alam semesta (macrokosmos) adalah dengan cara pembakaran jenasah (perabuan: Cremation). Pembakaran jenasah lengkap dengan upacara di Bali disebut dengan ngaben (Bantas, 2002:5.17).                                   (Sanjaya, 2010: 27-28) menegaskan Sawa Prateka atau Sawa Wedana adalah upacara untuk mayat agar kembali kepada unsur-unsur Panca Maha bhuta, dengan cara dibakar atau dikubur. Sawa Prateka ini dibagi menjadi dua bagian yang lain yaitu: Sawe Wedana, yaitu upacara pembakaran mayat yang masih dapat ditemukan (mayat masih ada). Setelah mayat menjadi abu, kemudian dihanyutkan ke laut yang disebut dengan upacara Asthi Widana dan Swastha yaitu upacara pembakaran mayat, dimana mayat itu tidak ditemukan atau tidak ada yang diganti dengan Kusa Sarira yaitu jalinan ilalang berbentuk manusia, atau bisa pula dengan Toya Sarira yaitu Air Suci ditambah bunga, yang ditunjukan dengan Puja Sulinggih. Kusa Sarira itu dibakar layaknya upacara Sawa Widana.
               (PHDI pusat, 2008:84 -85) menyatakan yang termasuk pembagian upacara Sawa Wedana  adalah Ngeringkes, Ngaben, Swastha dan Ngelungah adapun pengertiannya dikemas dalam wujud masing-masing. Ngeringkes adalah suatu upacara merawat sawa (jenasah), baimana cara memandikan, mengulung, memberikan perlengkapannya yang juga disebut atiwa-tiwa hingga sawa (jenasah) itu diperabukan Agni Pralina atau dikuburkan Mertiwi. Mertiwi dan Agni Pralina adalah upacara mekingsan yaitu menguburkan atau membakar jenasah (sawa) secara darurat tanpa disertai upacara dan upakara pengabenan. Mekingsan ini ada dua macam yaitu mekiningsan di Pertiwi (Kuburan di Setra) dan Mekingsan di Agni (dibakar jenasahnya dan abu tulangnya dikumpulkan serta di bungkus dengan kain putih untuk di buang ke laut). Keterangannya terdapat dalam Pustaka Lontar Pratekaning Wong Mati. Ngaben adalah suatu upacara penyucian dan peleburan Sawa (jenasah) dari unsur Panca Maha Bhuta (Bhuana Alit) untuk dikembalikan ke Unsur Panca Maha Bhuta (Bhuana Agung). Pada upacara ini akan terjadi pemisahan antara Purusa dan Prakerti dari orang yang meninggal atau yang diaben untuk dikembalikan ke sumber masingh-masing. Proses pengembalian ini bisa ditempuh melalui air (Toya Pranawa), Tanah (Swastha Bangbang) dan Api (Agni). Dipilihnya api ini dalam arti guna mempercepat proses pengembalian unsure-unsur Bhuana Alit ke Bhuana Agung, Jika Sawa (Jenasah)nya sudah tidak ada lagi karena telah diperabukan (mekingsan di Agni) maka pengabenannya disebut Kusa Pranawa sedangkan yang sudah dipendem atau (dikuburkan), disebut Supta Pranawa. Nywasta menurut Lontar Yama Purwana Tatwa bahwa nywasta itu adalah suatu upacara pengabenan jika sawa (jenasah) orang yang meninggal dunia itu tidak diketemukan karena hilang atau tidak dikenali identitasnya karena hancur dan tidak diketahui secara pasti kuburannya atau karena sesuatu hal sulit untuk mengangkat atau memperoleh tulang atau kerangkanya. Ngelungah adalah upacara pengabenan jika Sawa (Jenasah) yang meninggal itu berupa janin yang sudah sempurna atau anak-anak yang belum tanggal gigi (balita). Pengabenan sawa (jenasah)nya tidak diperabukan tetapi cukup dipendam (dikuburan). Kuburanya kemudian dirapuh atau diratakan. Keruron adalah suatu upacara kematian dari keguguran kandungan yang masih dalam bentuk darah (gumpalan darah) yang belum berbentuk manusia.
 2. Upacara Atma Wedana
(Bantas, 2002:5.18)  Atma wedana adalah upacara pengembalian Atma atau Roh dengan menyucikan Roh itu agar dapat kembali kepada asalnya. Setelah jasad diperabukan dan kembali kepada sumbernya kini tinggallah atma saja tanpa ada badannya lagi. Adapun upacara yang terakhir dalam rangkaian upacara pitra yadnya adalah upacara mamukur yang dalam upacara itu terdapat salah satu upacara dalam upaya pengembalian roh (atman) ke asalnya yang disebut upacara “Ngaluhur/Ngaluwer”. Upacara ini adalah upaya rohaniah dengan doa puja mantram Pandita dengan harapan Atma (roh) dapat manunggal dengan Paramatman, mencapai moksa, mencapai alam tanpa bentuk dan Atma kemudian disebut Dewa Pitara.
            Upacara Atma wedana juga berarti upacara pengembalian Atma dari Bhur loka (bumi), Bhuwah loka (alam Pitara), dan Swah Loka (alam Dewa). Upacara ini dilaksanakan di rumah yang memiliki upacara atau di suatu tempat strategis yang telah ditentukan, menggunakan upakara atau banten selengkapnya, atma yang diupacarai disimbulkan dengan puspa sarira yang diwujudkan pula dengan puja atma tattwa,dipimpin oleh seorang Sulinggih dan dihantarkan dengan puja pralina, abu puspa Sarira dihanyutkan di laut. Upacara pembakaran mayat ini sungguhlah penting karena mayat yang terlalu lama dikubur akan merupakan sumber penyakit yang diistilahkan Bhuta Cuil, bila tidak bisa membakar secepatnnya, dapat juga di tanam sampai waktunya dilakukan pembakaran, dengan ketentuan mayat yang dikubur, kuburannya menghadap arah gunung atau matahari terbit dengan lubang kuburan minimal 1,5 meter. Sebelum mayat dikubur hendaknya diberi upacara penyucian dan melakukan atur piuning kepada Sang Hyang Prajapati yang menguasai daerah kuburan itu (Sanjaya, 2010:28).
3. Sarana yang dipergunakan pada setiap prosesi upacara Pitra Yadnya
Prosesi ngeringkes sarana untuk memandikan Sawa (jenasah) adalah Pepaga atau dipan (1buah), daun pisang kapok untuk alas memandikan (2 lembar), kayu atau bambu serta cabang dapdap untuk tiang leluhur (4 batang), ember dan gayung tiga buah untuk air biasa 1 buah, air kumkuman 1 buah dan air asem 1 buah, pisau untuk ngerik kuku tangan dan kaki (1buah), sabun mandi, handuk, sisir, dan minyak wangi (masing -masing satu buah), bantal kecil untuk alas kepala saat memandikan (1buah), perban dan kapas untuk pembalut jika sawa (jenasah) terluka, toya tabah (air tawar), air kumkuman dan air asem untuk permandian secukupnya, sisig dibuat dari beras atau rengginang yang dibakar (1 takir), ambuh dibuat dari parutan kelapa (1 takir), telor ayam mentah (1 butir), boreh (lulur) dari gamongan, isen dan kunyit masing-masing (1 takir), kekosok dari beras berwana Putih dan Kuning masing-masing (1 takir), benang secukupnya untuk itik-itik  (pengikat kedua ibu jari tangan dan kaki), kain putih untuk keperluan antara lain : untuk leluur (atap memandikan sawa) yang dirajah Aksara Ongkara Ngadeg dan Sumungsang dengan ukuran 1,5 M, angkeb rai (muka) yang dirajah aksara Mang-kara (30 cm), Angkeb Baga/Pasta (kemaluan) dengan rerajahan Aksara Ah-Kara (30 cm) dengan kain berwarna hitam (PHDI pusat, 2008:88 -89).
Prosesi mengulung Sawa (jenasah) sarana yang dipergunakan bendusan (peti jenasah) 1 Buah, tikar untuk menggulung sawa (jenasah) 1 buah, Sanggar Surya untuk Sang Hyang Siwa Raditya dan Ngayat ke kemulan 1 buah, Sekar Ura terdiri dari samsam, bunga, bija, dan uang seperlunya, sekar sinom (rangkaian hiasan janur berisi bunga sesuai ukuran Bendusa yaitu 3 buah yang panjang dan 3 buah yang pendek, kain putih penutup luar dari bendusa secukupnya, bahan imbolis dari Sawa adalah Pecahan cermin 2 buah, daun intaran (2 lembaran), waja/baja berupa potongan kecil (1buah), daun gadung/sekapa/meduri, daun teratai (1 lembar), daun sirih (20 lembar), Pusuh Kembang menuh /melati (2 buah), kembang teleng (2 buah), sarana berupa kawangen sebanyak 7 (tujuh buah) dengan perincian yaitu 3 buah kawangen berisi uang bolong masing -masing dengan jumlah 11 buah untuk di kepala, dada dan hati, 4 buah kawangen berisi uang bolong masing-masing dengan jumlah 5 buah untuk di siku kanan dan kiri serta di taruh di lutut kanan dan kiri, untuk pemuspan bagi sawa (jenasah) agar disiapkan juga 1 buah kawangen lagi berisi uang bolong dengan jumlah 25 buah ditaruh pada tangan yang diitik-itik. Kain untuk ngeringkes yaitu kain putih untuk mengulung Sawa dengan ukuran satu depa + satu Hasta+ Satu Musti (2M). Kain untuk Busana Sawa (jenasah) laki – laki antara lain ; kancut/kain pria (1,5M), umpal/kampuh pria (1,5M), sabuk/ ikat pinggang (secukupnya), udeng /destar (1M). kain untuk busana Sawa perempuan antara lain: Kamben/kain perempuan (1,5M), tapih/kain dalam (1,5M), Stagen/ikat pinggang dari kain (secukupnya), Senteng/penutup dada (secukupnya), Upakara Banten untuk upacara ngeringkes yaitu Banten pejati untuk Hyang Siwa Raditya (Sanggar Surya). Banten Pejati untuk ngayat ke Sanggar Kemulan, Banten untuk sawa (jenasah) yaitu Pejati, Pengulapan, Pengabenan, Nasi Punjung, Prayascita Durmanggala sekaligus untuk Ulap Ambe Peti, dan ke Sor segehan Manca Warna, Banten Arepan Pemangku yaitu pejati, tirta pengelukatan, Tirta Pembersihan dan teempat air untuk Tirta Pengeringkesan (PHDI pusat, 2008:89 -91).
Banten untuk metitip di pertiwi antara lain Banten pejati dan banten arepan pemangku yang memiliki pembagian sebagai berikut : Banten Pejati untuk Sang Hyang Surya Raditya (Sanggar Surya), Ibu Pertiwi (Sang Hyang Berawi), Pura Dalem atau Prajapati, Pura Kahyangan Jagat, untuk Sedan Setra, Bangbang (liang lahat), untuk Sawa (jenasah), Pitra ditambah Nasi Punjung Putih Kuning, Bubuh Pirata, Ayaban (Sakasidan) dan Segehan Panca Warna Ke Sor. Banten Arepan pemangku yaitu Pejati, Prayascita, Durmanggala, Tirta Penglukatan, Tirta Pembersihan, Tirta Pemuput Karya (Mendem), Tirta Pura Dalem atau Tirta Pura Prajapati dan Tirta Pura Kahyangan Jagat (PHDI pusat, 2008:91).
Banten untuk Agni Pralina (Metitip di Agni) atau diperabukan antara lain : Banten Pejati untuk Sang Hyang Siwa Raditya (Sanggar Surya), Banten Pejati Untuk Sang Hyang Agni, Banten Pejati ke Pura dalem atau Prajapati, Banten Pejati untuk Pura Kahyangan Jagat, Banten Pejati unhtuk Sedehan Pemuhun, Banten Pejati untuk Sawa (Jenasah) atau Pitra ditambah Nasi Punjung Putih Kuning, Bubur Pirata, Ayaban (Sakasidan) dan segehan Manca Warna ke sor, Banten Pejati untuk Arepan Pemangku ditambah Prayascita, Durmanggala, Tirta Panglukatan, Tirta Pembersihan, Tirta Pemuput Karya (Ngeseng), Tirta Pura Dalem atau Prajapatidan Tirta Pura Kahyangan Jagat. Banten atau Upakara untuk Ngirim Abu (Galih/Asti), adalah : Banten Pejati untuk ke Tengah Segara, Banten Punjung untuk Abu (Galih/Asti), kesor Segehan (PHDI pusat, 2008:92.
Banten untuk Upacara Ngelungah antara lain : Banten pejati untuk Sang Hyang Siwa Raditya ( Sanggar Surya), Banten Pejati untuk ke Pura Dalem atau Prajapati, Banten Pejati untuk Sedehan Setra, Banten Pejati untuk nunas Tirta pengrapuhan ditambah suci Sari, Ajuman Putih Kuning, Bubur Sumsum 5 takir, Tumpeng Poleng meplekir medaging kawangen 1 buah, Padang lepas 5 batang, muncuk Ambengan 5 mucuk, mingmang 1 buah, payuk anyar 1 buah medaging toya dan seet mingmang 1 buah. Banten pejati untuk bangbang rare ditambah Suci Sari, Pengulapan, Klungah nyuh gading mesurat Ong Kara medaging Rwaning waringin 3 muncuk tekaning seet mingmang 6 katih dados asiki talining benang cemeng 3 tigang ileh. Banten Pejati untuk Siwa (Pirta Rare) ditambah Punjung Putih Kuning, Banten Bajang dan Bangsah Pinang. Banten Pejati arepan Pemangku ditambah Prayascita, Durmanggala, Tirta Penglukatan, Tirta Pembersihan, Tirta Pemuput Karya (mendem) (PHDI pusat, 2008:92-93).
Banten Keruron, Keruron adalah upacara kematian karena keguguran dari kehamilan yang masih dalam bentuk gumpalan darah dan belum berbentuk si cabang bayi. Upakaranya hanya cukup dengan prayascita sebagai simbol penyucian diri terutama ibu sang si bayi dan keluarga dan termasuk rumah duka                 (PHDI pusat, 2008:93).
Banten Pembersihan serta penyucian di rumah dukha antara lain jika Sawa (jenasah) berada di rumah atau sempat dibawa ke rumah walaupun meninggal di rumah sakit yang terdiri dari : Banten Pejati ke Sanggar Kemulan (Bhatara Hyang Guru), Caru Eka Sata (Ayam Brumbun) dan seruntutannya menggunakan Sanggar Cukcuk., Prayascita dan Durmanggala. Jika Sawa (jenasah) tidak ada di rumah diselesaikan di luar rumah (rumah duka/rumah sakit) cukup menggunakan Prayascita (PHDI pusat, 2008:93-94).
2.3.3 Kajian Epistimologis upacara Pitra Yadnya menurut lontar-lontar di Bali.
(Lontar Purwa Gama dlm Pasek Swastika, 2008: 16) disebutkan
Mwang kramaning mati ya tan kapangguh walungnia mwah mati ring sunantara ya wenang Swasta. Kramanya paripurna ring toya. Magesang ring soring sanggah kewalya. Tirtha ika Maka awak sang mati,saha suci laksana tigang soroh,ring sang ngajengin asoroh,bubur  pirata,nasi angkeb,ajengan putih kuning saparikrama papasang wenang karma jangkep ginawae kala pasta, enjing hanyut ring sagara. Yan kapangguh walung nia wenang preteka kadi nguni, mangkana ling Hyang Manu ring Sang Manta Kabeh.
Terjemahan :
Tatacara penyelenggaraan orang mati kalau tidak ketemu mayatnya dan juga orang mati ditempat yang jauh ( sunantara hal itu dapat di selenggarakan dan di selesaikan dengan Swasta (Ngaben) pelaksanaanya sesuai dengan tirtha di bakar di bawah sanggar,cukup dengan tirtha itulah sebagai lambang badan yang meninggal dengan upacara banten suci tigang soroh, dan pada yang memimpin satu soroh, bubur pirate, nasi angkep, nasi putih kuning dan maka dengan kelengkapannya patut di kerjakan dengan kala puspa dan terus hanyut ke segara. Kalau ketemu mayatnya hendaknya di upacarai sebagai mana mestinya.Demikian Sabda Sang Hyang Manu ke pada semua orang.


(Lontar Siva Tattwa Purana dlm Singgin Wikarman, 2002:80-81)
            Singgih yan mangkana, hulun akarya bade kang nista, madya, utama. Kang utama, atumpang-hana tumpang sawalas, muah tumpang sanga, tumpang sapta, lan catur, ikang genahing sawa bade, ingarang wadah, ya wadah ikang sawa, kotamanya anaga bandataranyabade winilet apinda taksada, busananya amanca warna, dulur lembu, bandusa, abale salungulung, aranya genahing patulangun.
Terjemahan :
Ya kalau demikian hamba akan membuat bade, kecil, sedang, dan besar, yang besar bertumpang ada sebelas, dan ada Sembilan, ada tujuh, lima dan empat, yang menjadi tempatnya Sawa. Bade disebut wadah ia wadah dari sawa utama. Bernaga banda, prihalnya bade diikat laksana naga tatsaka, pakaiannya 5 warna, diseriai lembu, bendusa, memakai balai salunglung, namanya tempat patulangan.
            Dari uraian lontar-lontar tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa, upacara dan upakara Pitra Yadnya memiliki tatanan dan tata cara yang sangat teratur dalam pelaksanaannya, serta di dukung dengan kajian sumber yang  akurat, tiada lain  melalui sumber Veda, dan kebudayaan atau sistem pelaksanaan upacara dan Upakara Pitra Yadnya telah memenuhi Desa, Kala, dan Patra yang dihubungkan sesuai denagan konsep Satyam, Siwam, Sundaram. Dengan kata lain konsep ini, telah memiliki korelasi yang sangat kuat dan dapat memberikan konstribusi dalam tatanan pelaksanaan Yadnya di lingkungan masyarakat Hindu khususnya, dan budaya bali yang terkenal akan Desa Mawa Caranya, sehingga leluhur Hindu di Bali menyebutnya kehidupan ini sesuai petuah Beliau yaitu, “Ksayan ikang papa nahan parayojana”, dalam arti yang lebih mendalam memiliki basicly of definition yaitu hidup di dunia ini adalah menderita, dan sebagai manusia seyogyanya mencari hal yang sifatnya Sat Cit Ananda, dalam istilah lain disebut Suka tan pawali duka.

2.3.4 Contoh relevansi Teori Posmodern dipadukan dengan epistimologis Hindu sebagai Problem Solving
Fenomena permasalahan masyarakat Hindu yang melaksanakan upacara Pitra yadnya dengan jorjoran dan mengejar prestise sudah dapat terjawab di aksiologis pelaksanaan upacara Pitra Yadnya. Fenomena permasalahan yang juga sering diperbincangkan adalah mengenai pemakaian Bade yang pada saat upacara Pitra Yadnya kabel yang berada diatas jalan harus dinaikan oleh pecalang. Fenomena mengenai pemakaian Bade telah dijawab dalam Lontar Siwa Tattwa Purana “Singgih yan mangkana, hulun akarya bade kang nista, madya, utama”. Kalau mau membuat Bade yang kecil, sedang, besar merujuk pada epistimologis lontar Hindu Bali ini, sehingga masyarakat tidak kebingungan memakai Bade. Pemakaian Bade yang terlalu besar akan berakibat pada pengeluaran ekonomi yang banyak, pemakaian bade yang kecil berkakibat pada pengeluaran ekonomi yang sedikit, sekarang kembali kepada masyarakat untuk memilih asalkan jangan mengejar “prestise” dalam menjalankan upacara pitra yadnya. Hal ini senada dengan pandangan teori Postmodern oleh Lyotard yang menyatakan bahwa postmodern sebagai ketidakpercayaan pada narasi besar modernism dan Pandangan Habermas  yag menyatakan bahwa Postmodernisme sebagai langkah “counter culture, artinya kebudayaan elit atau kebudayaan massa pada masa modernisme justru dihancurkan.
Alasan  Teori Postmodern hadir sebagai penyangga untuk memecahkan sikap oknum umat hindu yang “jorjoran”, mengejar “prestise” dalam menjalankan upacara Pitra Yadnya perlu dihancurkan kebiasaan dan pembudayaan ini agar pengharapan terhadap Yadnya yang harus tulus iklas bergeser menjadi “mengejar prestise” dengan merujuk pada kaedah hakekat epistimologis Hindu dan pembudayaan beryadnya “lebay” atau “jorjoran” perlu dihancurkan.  

         
SIMPULAN DAN SARAN

3.1 Simpulan
            Berdasarkan atas uraian diatas dapat penulis simpulakan sebagai berikut :
1.       Teori merupakan penyelidikan eksperimental yang mampu menghasilkan fakta berdasarkan ilmu pasti, logika dan argumentasi.
2.      Teori Postmodern adalah bagian teori yang berfungsi sebagai counter culture mordernisasi, kritik atas masyarakat modern dan kegagalannya memenuhi janji-janjinya disatusisi postmodern cenderung mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan dengan modernitas hedonisme
3.      Dalam pelaksanaan Upacara Pitra yadnya apabila dikaji secara faundamental aksiologis upacara pitra yadnya dibagai menjadi dua upacara Sawa wedana (pengembalian zat panca mahabutha) dan upacara Atma wedana (penyucian Atma untuk kembali pada sumber ataman atau Paramatman) dan epistimologisnya ( Lontar Purwa Gama dan Lontar Siwa Tattwa Purana).
   
4.      Alasan  Teori Postmodern hadir sebagai penyangga untuk memecahkan sikap oknum umat hindu yang “jorjoran”, mengejar “prestise” dalam menjalankan upacara Pitra Yadnya perlu dihancurkan kebiasaan dan pembudayaan ini agar pengharapan terhadap Yadnya yang harus tulus iklas bergeser menjadi “mengejar prestise” dengan merujuk pada kaedah hakekat epistimologis Hindu dan pembudayaan beryadnya “lebay” atau “jorjoran” perlu dihancurkan.  





19
 


3.2 Saran
            Berdasarkan kesimpulan diatas dapat diajukan saran-saran sebagai berikut
1.      Bagi Cendikiawan Hindu dapat dipergunakan sebagai bahan refrensi dalam menganalisis keberadaan oknum masyarakat Hindu-Bali yang Hedonis
2.      Bagi masyaakat hindu dapat sebagai refrensi acuan dalam pembuatan yadnya yang notabena tidak “jorjoran” namun mengarah pda esensi tattwanya, dengan konsep yadnya sederhana dengan penuh rasa emik religius.

3.       Bagi generasi postmodern berikut agar paper ini dijadikan acuan dalam mengembangkan culltur yang memiliki output yang berkualitas.

No comments:

Post a Comment

Literasi Digital Versi Aplikasi Book Creator Hindu

            Literasi serasa sepi, karena kemampuan peserta didik dalam hobby membaca sebagai bagian dari literasi mulai menurun dari kurun w...