PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Manusia
merupakan mahluk yang tertinggi dan paling mulia diantara mahluk ciptaan Tuhan/Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang lainnya.
Istilah manusia sebagai mahluk yang tertinggi disampaikan oleh Mpu Wararucci
dalam kawya sastranya sarascamuscaya “Apan ikang dadi Wwang Utama
Juga ya” maksud dari untaian kawya
sastra di atas adalah menjadi manusia sangatlah utama. Hal yang senada juga
disampaikan oleh beberapa tokoh filosofis seperti Charles Darwin, Plato dan
Aristoteles. Secara terminology menurut
filosofis ini, manusia merupakan mahluk evolusi dari kera menjadi homo sapiens, mahluk Zoon Politikon (hidup ketergantungan).
Manusia disebut sebagai homo sapiens
karena manusia memiliki akal, budi, idep
sebagai bagian tri pramana yang
paling mendasar, dan viveka jnana
(daya filterisasi).
Penyebab
timbulnya viveka jnana (daya pembeda)
yang terdapat didalam diri manusia karena pengalaman belajar melalui swahtah, sastratah, dan gurutah,
pengalaman inilah yang membentuk tingkat jnana
manusia berbeda-beda. Ada manusia yang tingkat pemahamannya rendah, sedang,
maupun tinggi disebabkan karena
pemikiran yang dimilikinya. Pemikiran manusia didasarkan atas pengalaman empiris maupun metafisis, yang menimbukan pemahaman pemikiran secara rasional dan
kemungkinan dari pikiran berpikir akan keirasionalan dari objek yang
dipikirkan.
1
|
Teori
post modern dalam pembuktian secara akuntabel dan validitasnya dapat
dipertanggungjawabkan apabila disertai dengan salah satu contoh permasalahan
keagamaan yaitu upacara Pitra Yadnya
di Era Postmodern. Upacara Pitra Yadnya
di Era Postmodern banyak mengalami perubahan. Titik tolok ukur dari perubahan
atau masa transisi terlihat dari masa ke masa. zaman peradabaan budaya hindu klasik di Bali
masyarakat Bali membawa jenasah yang
merupaka Ptrnya ke setra (kuburan)
hanya berempat yang memikul jenasah di depan berdua di belakang berdua, kemudian
perkembangan zaman mulai berubah mengarah pada orde baru semeton hindu membawa jenasah ke setra (kuburan) dengan budaya suryak
siyu saling sorog sirig, memakai bade
yang megah keberadaannya, mengajak krama
hindu di setiap banjarnya. Dengan
memutar mengelilingi pertigaan maupun perempatan masyarakat Bali memikul
membawa jenasah di dalam bade
diiringi dengan musik gambelan baleganjur.
Sistem transportasi semakin berubah di
awal abad ke 21, karena pesatnya
kemajuan Badepun memakai roda dan
didorong oleh masyarakat utamanya diperkotaan saat membawa jenasah, sehingga
budaya suryak siyu saling sorog sirig
demi kebersamaan sekarang mulai memudar, hanya kekompakan krama disetiap banjar saja yang masih terlihat dari segi iuran suka
dukha dll.
Fenomena
dari segi sosial ekonomipun Upacara Pitra
Yadnya ini mulai berubah, beberapa oknum krama menjalankan ritual
keagamaan Pitra Yadnya hanya atas
dasar prestise di masyarakat sehingga
mencari dan membeli bade yang megah
atas dasar gengsi bukan atas dasar
keikhlasan. inti yadnya yang
merupakan keikhlasan sekarang mulai cenderung atas dasar keterpaksaan dan “gengsi”. Maka tujuan akhir dari Yadnya adalah membayar hutang bukan
untuk menambah hutang menjadi perbincangan di kalangan masyarakat hindu-Bali,
inilah yang perlu diubah mainset pemikiran masyarakat mengenai keberadaan Pitra Yadnya.
secara faktual di lapangan, era
mordernisasi dan westernisasi yang begitu pesatnya di tahun 2016 Bali mengalami
kedukaan karena tokoh pendharmawacana
Ida Pedanda Gede Made Gunung Lebar,
dalam Bhisama beliau yang bisa umat Hindu-Bali
kutip pembelajaran adalah saat pengabenan beliau tidak harus memakai Bade, sehingga ritual Pitra Yadnya Ida Pedanda Gede Made Gunung sangat sederhana.
Fenomena mengisyaratkan bahwa umat hindu patut jeli dengan Upacara Pitra Yadnya di era modern yang sangat revolusioner ini
yang tidak semata-mata untuk mendapatkan sanjungan, pujian, setelahnya
seolah-olah mati dibelilit “utang cicilan”. Pandangan teori Postmodern berusaha untuk
mengembalikan esensi Upacara Pitra Yadnya
dalam ruang lingkup faudamental
(dasar pokok), epistimologi
(pengetahuan) dan berusaha mengkritisi keberadaan aksi masyarakat hedonis yang notabene
terlalu “jorjoran” melaksanakan
ritual yadnya. Cara jorjoran diantisipasi bukan dengan harus
menghilangkan banten namun kembali
pada esensi melaksanakan acara pitra yadnya.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah definisi Teori-teori secara
universal?
2. Apakah konsep Teori Posmodern secara
etimologis dan terminologis ?
3. Bagaimanakah prosesi pelaksanaan Upacara Pitra yadnya apabila dikaji secara
faundamental aksiologis dan epistimologisnya ?
4 Apakah contoh relevansi Teori Posmodern
dipadukan dengan epistimologis Hindu sebagai Problem Solving ?
1.3 . Tujuan Penulisan
1.
untuk mengetahui pengertian teori-teori
2.
untuk memahami maksud Teori PosModern
3.
untuk memahami prosesi pelaksanaan upacara Pitra Yadnya apabila dikaji
secara faundamental aksiologis dan epistimologis
4. untuk menganalisis salah satu contoh
yang dikorelasikan dengan teori
Posmodern.
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Teori secara universal
Teori dalam karya
ilmiah sangat penting untuk mengungkapkan semua gejala dan memprediksi dari
hasil kajian tersebut. Kata teori dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia Edisi Tiga (2002:1177) memiliki arti (1) pendapat
yang didasarkan pada penelitian dan penemuan didukung oleh data dan
argument, (2) penyelidikan
eksperimental yang mampu menghasilkan fakta berdasarkan ilmu pasti, logika dan
argumentasi.
Teori juga merupakan
narasi yang mencoba membedakan dan menjelaskan ciri-ciri umum dari sebuah atau
beberapa gejala dengan cara mendeskripsikan dan menjelaskan tanda-tanda yang
dianggap secara tetap muncul dan bisa diamati. Teori adalah alat, instrument
atau logika untuk ikut campur atau ambil bagian dalam dunia lewat mekanisme
deskripsi, definisi, prediksi, dan control. Konstruksi teori adalah upaya
diskursif-refleksi ntuk menafsirkan dan mengabstraksi dunia kehidupan dan
terdapat gejala-gejala alam social (Sutrisno,2003 : 285).
Menurut Ridwan (2004 : 19) dalam buku Metode dan Tehnik Penyusunan Tesis menyatakan,
bahwa teori adalah suatu ilmu yang relevan dapat digunakan untuk menjelaskan
tentang variabel yang akan diteliti sebagai dasar untuk memberikan jawaban
sementara terhadap rumusan masalah yang akan diajukan, serta penyusunan
instrumen penelitian. Suatu penelitian yang dituangkan dalam karya tulis
ilmiah, penampilan teori tersebut harus jelas mengandung penjelasan dan
keterangan yang tercakup dalam rumusan masalah dan kajiannya.
2.2
Konsep Teori Posmodern secara Etimologis dan Terminologis
4
|
Ada
beberapa istilah yang masih berkaitan dengan istilah postmodern, yaitu
postmodernitas, postmodernisme. Menurut Umar (Ritzer, 2003), istilah postmodernitas
menunjukkan pada suatu epos-jangka waktu, zaman, masa-sosial
dan politik yang biasanya terlihat mengiringi era modern dalam suatu pemahaman
sejarah. Jadi, definisi postmodern meliputi suatu epos sejarah baru, produk
budaya yang baru, serta tipe teori baru yang menjelaskan dunia sosial.
Teori postmodern banyak
memberikan kritik atas realitas “manusia modern” yang terlalu dalam persepsi
mereka. Rosenau (Ritzer, 2003) menjelaskan mengenai
beberapa posisi dari teori postmodern mengenai modernitas. Pertama, postmodern
mengkritik masyarakt modern yang dinilai gagal dalam memenuhi janji-janjinya.
Postmodern mempertanyakan bagaimana setiap orang dapat mempercayai bahwa
modernitas telah membawa kemajuan dan harapan masyarakat depan yang lebih
cemerlang.
Kedua, teori postmodern cendrung menolak apa
yang biasanya dikenal dengan pandangan dunia (world view), metanarasi totalitas dan sebagainya. Ketiga, teori
postmodern cenderung menerapkan fenomena besar postmodern, seperti
emosi, perasaan, intuisi, refleksi, spekulasi, pengalaman personal, kebiasaan,
kekerasan, metafisika, tradisi, dan sebagainya. Keempat,
teori postmodern menolak kecendrungan dunia modern yang meletakkan
bata-batas
antara hal-hal
tertentu seperti disipin akademis, budaya dan kehidupan, fiksi, dan teori,
citra, dan realitas.
Nasikum (2003:52), memaparkan secara
terminologis, menurut pandangan para ahli teori PostModern memiliki pengertian
masing-masing diantaranya : Menurut
Pauline Rosenau (1992) mendefinisikan Postmodern secara gamblang dalam istilah
yang berlawanan antara lain: Pertama, postmodernisme merupakan kritik atas
masyarakat modern dan kegagalannya memenuhi janji-janjinya. Juga postmodern
cenderung mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan dengan modernitas.Yaitu
pada akumulasi pengalaman peradaban Barat adalah industrialisasi, urbanisasi,
kemajuan teknologi, negara bangsa, kehidupan dalam jalur cepat. Namun mereka
meragukan prioritas-prioritas modern seperti karier, jabatan, tanggung jawab
personal, birokrasi, demokrasi liberal, toleransi, humanisme, egalitarianisme,
penelitian objektif, kriteria evaluasi, prosedur netral, peraturan impersonal
dan rasionalitas
Kedua,
teoritis postmodern cenderung menolak apa yang biasanya dikenal dengan
pandangan dunia (world view), metanarasi, totalitas, dan sebagainya. Seperti
Baudrillard (1990:72) yang memahami gerakan atau impulsi yang besar, dengan
kekuatan positif, efektif dan atraktif mereka (modernis) telah sirna.
Postmodernis biasanya mengisi kehidupan dengan penjelasan yang sangat terbatas
atau sama sekali tidak ada penjelasan. Namun, hal ini menunjukkan bahwa selalu
ada celah antara perkataan postmodernis dan apa yang mereka terapkan.
Sebagaimana yang akan kita lihat, setidaknya beberapa postmodernis menciptakan
narasi besar sendiri.
Banyak postmodernis merupakan
pembentuk teoritis Marxian, dan akibatnya mereka selalu berusaha mengambil
jarak dari narasi besar yang menyiapkan posisi tersebut. Ketiga, pemikir postmodern
cenderung menggembor-gemborkan fenomena besar pramodern seperti emosi,
perasaan, intuisi, refleksi, spekulasi, pengalaman personal, kebiasaan,
kekerasan, metafisika, tradisi, kosmologi, magis, mitos, sentimen keagamaan,
dan pengalaman mistik. Seperti yang terlihat, dalam hal ini Jean Baudrillard
(1988) benar, terutama pemikirannya tentang pertukaran simbolis (symbolic
exchange).
Keempat,
teoritis postmodern menolak kecenderungan modern yang meletakkan batas-batas
antara hal-hal tertentu seperti disiplin akademis, budaya dan kehidupan, fiksi
dan teori, image dan realitas. Kajian sebagian besar pemikir postmodern
cenderung mengembangkan satu atau lebih batas tersebut dan menyarankan bahwa
yang lain mungkin melakukan hal yang sama. Contohnya Baudrillard (1988)
menguraikan teori sosial dalam bentuk fiksi, fiksi sains, puisi dan sebagainya.
Kelima, banyak postmodernis menolak gaya diskursus akademis modern yang
teliti dan bernalar (Nuyen, 1992:6). Tujuan pengarang postmodern acapkali
mengejutkan dan mengagetkan pembaca alih-alih membantu pembaca dengan suatu
logika dan alasan argumentatif. Hal itu juga cenderung lebih literal daripada
gaya akademis.
Menurut Lyotard mendefinisikan
postmodern sebagai ketidakpercayaan pada narasi besar modernisme.Terdapat dua
narasi besar yang cukup berpengaruh dan dipakai untuk melegitimasi ilmu
pengetahuan. Pandangan Antoni Giddens Postmodernisme
adalah sebuah estetika, sastra, politik atau filsafat sosial, yang merupakan
dasar dari upaya untuk menggambarkan suatu kondisi, atau suatu keadaan, atau
sesuatu yang berkaitan dengan perubahan pada lembaga-lembaga dan
kondisi-kondisi sebagai postmodernita. postmodernisme adalah fenomena budaya
dan intelektual.
Menurut
Josh McDowell & Bob Hostetler menawarkan definisi berikut postmodernisme:
"Suatu pandangan dunia yang ditandai dengan keyakinan bahwa tidak ada
kebenaran dalam pengertian objektif tetapi diciptakan bukan ditemukan.".
Kebenaran adalah "yang diciptakan oleh budaya spesifik dan hanya ada di
budaya". Pandangan Tony Cliff
mengenai Postmodernisme adalah The
theory of rejecting theories modern atau teori menolak/membantah teori modern.
Menurut Al
Gore :It's the combination of
narcissism and nihilism that really defines postmodernism," (Kombinasi
dari narsisme dan nihilismelah yang memberikan arti pada postmodernisme). Pandangan
Marvin Harris Postmodernisme merupakan gerakan intelektual yang (sedikit)
bertentangan dengan modernisme. Istilah ini lebih menitikberatkan pemahaman
budaya dalam konteks khusus. Postmodernisme juga tidak memiliki paradigma
penelitian yang lebih istimewa.
Menurut
Michael Foucault Postmodernisme akan menghubungkan antara ilmu dan alasan. IImu
akan mencari “best answer”. Namun, jawaban yang hadir dalam pandangan post
modernisme akan menolak generalisasi. Kebenaran, lebih mengandalkan pada
kemampuan fiksi persuasif, relativitas, lokal, plural, tak menentu, dan
penafsiran.
Pandangan
Habermas Postmodernisme itu sebagai
langkah “counter culture”, artinya kebudayaan
elit atau kebudayaan massa pada masa modernisme justru dihancurkan. Pauline Rosenau mendefinisikan
Postmodern secara gamblang dalam istilah yang berlawanan antara lain: Pertama,
postmodernisme merupakan kritik atas masyarakat modern dan kegagalannya
memenuhi janji-janjinya. Juga postmodern cenderung mengkritik segala sesuatu
yang diasosiasikan dengan modernitas
Pemikiran
Eagleton menyatakan bahwa
postmodernisme memang mengambil ide dari modernisme dan avant-garde, dan
kemudian diramu yang lebih masak dengan disiplin lain. Dari modernisme,
postmodernisme mencoba mewarisi tentang kritik yang mengambil jarak, sedangkan
dari avant-garde, postmodernisme ingin mencoba memecahkan masalah kehidupan
sosial budaya, menolak tradisi, dan sebagai oposisi “high” culture
2.3 Prosesi pelaksanaan Upacara Pitra yadnya apabila dikaji secara faundamental aksiologis dan
epistimologisnya
2.3.1 Konsep Upacara Pitra Yadnya
Secara
umum kajian terhadap pelaksanaan upacara pitra yadnya terungkap dalam beberapa
literatur. Pitra yadnya adalah persembahan suci dan tulus ikhlas kepada pitara
atau leluhur. Pada dasarnya pitra yadnya dilaksanakan karena dilatarbelakangi
dengan adanya Pitra Rna yaitu hutang kepada orang tua atau leluhur yang telah
melahirkan, membesarkan, serta menghidupi kita (Sanjaya, 2010:27).
(Bantas, 2002:5.17) menyatakan
mengenai upacara Pitra Yadnya merupakan persembahan kepada para leluhur (ptr)
dengan tujuan menyucikan roh leluhur. Dalam refrensi (PHDI pusat, 2008:81)
menerangkan bahwasannya upacara pitra yadnya selain dilatarbelakangi oleh Tri
Rnam juga dipengaruhi oleh proses Utpati,
Sthiti, dan Pralina (Lahir, Hidup, dan Mati) merupakan hukum Rta yaitu suatu
rangkaian yang tidak dapat dipisahkan atau dipungkiri oleh semua mahluk
ciptaan-NYA termasuk manusia. Lahir diibaratkan sebagai Kedatangan, Hidup
sebagai Pertumbuhan dan Perkembangan sedangkan Mati diibaratkan sebagai
Kepergian, yaitu kepergiaan Atma meninggalkan jasadnya. Atma ditopang oleh
karmanya selama hidup mengikuti proses perjalanan menuju sumbernya, sedangkan
jasadnya berupa jenasah harus pula dikembalikan kepada sumber pembentukahn
yaitu Panca Maha Bhuta (Pertiwi,Apah, Bayu, Teja dan Akasa). Veda mengjarkan
bahwa proses tercepat untuk itu adalah
dengan perbuatan yang disebut juga dengan Antyesti
Samkara Atau Atiwa-tiwa dan yang lebih populer disebut dengan Ngaben dalam
Upacara Pitra Yajna.
(Wijaya dkk, 2007:48) menyebutkan Pitra Yadnya
berarti korban yang dilaksanakan denga hati yang tulus ikhlas kepada para
leluhur (nenek moyang dan orang tua). Leluhur adalah cikal bakal atau yang
mengawali kita. Tanpa leluhur dan curahan kasih sayang yang telah diberikan
kepada kita takkan mungkin kita bisa hidup dengan selamat. Kehidupan dan
keselamatan yang kita peroleh adalah merupakanh pemberian dan tutunan dari
leluhur kita. Yadnya (Pitra Yadnya) adalah salah satu sarana yang dapat dipergunakan
untuk mewujudkan rasa bahakti kepada para leluhur. Leluhur kita dapat
diklarifikasaikan ada 2 yaitu leluhur adalah oaring tua yang masih hidup (ayah
dan ibu) kita, Leluhur juga disebut orang tua atau mereka yang sudah meninggal
(nenek moyang).
Pitra
Yadnya adalah yang dipersembahkan kehadapan para leluhur karena leluhurlah
kita ini ada, dan kita berhutang jasa berupa kelahiran kepada beliau. Oleh
karena itu kita berkewajiban untuk melaksanakan upacara yadnya. Adapun bentuk-bentuk
upacara persembahan yang patut kita laksanakan antara lain : Upacara Kematian,
Upacara Ngaben, dan Upacara Atma Wedana (Sudirga, 2004:90). Pitra yadnya adalah
mempersembahkan puja dan bali atau banten kepada para leluhur (Lontar Korawa
Srama dlm Mudana dkk, 2007:86). Pitra yadnya juga berarti upacara kematian agar
roh yang meninggal mencapai Alam Siwa (Lontar Agastya Parwa dlm Mudana dkk,
2007:86).
Pandangan-pandangan mengenai upacara
pitra yadnya tersebut diatas,
dapat dianalisis bahwa latar belakang timbulnya upacara pitra yadnya adalah Pitra
Rnam yakni utang terhadap leluhur, baik yang masih hidup maupun yang telah
meninggal, sudah barang tentu wajib hukumnya sentana untuk membayar hutang tersebut, ini sama dengan halnya manawa sewa/melayani manusia. Jika dalam
konsep Tri Kona dikenal adanya proses
Utpati, Sthiti, dan Pralina (Lahir, hidup, dan mati), segala
yang lahir akan hidup dan segala yang hidup pasti akan mati. pada saat mati
inilah manusia diupakara menurut
hindu mengenal adanya Sawa Prateka
dan Atma Widana, sisi lain dalam
tatanan konsep Panca Maha Butha maka
segala jasad manusia yang lahir akan kembali kepada 5 unsur alam yaitu : air,
api, angin, tanah, dan ether dan sebagai perti
sentana atau sebagai garis keturunan berikutnya sudah barang tentu kita mengingat
jasa - jasa leluhur kita, karena dari nenek moyanglah kita ada, dan sebagai
sujud bakti kepada leluhur maka dilaksanakanlah pitra yadnya tersebut, dalam
konsep Tri Loka kita mengembalikan Atma leluhur kita dari alam Bwah Loka supaya bisa berada di Alam Swah Loka dan itupun dilakukan dalam
proses pitra yadnya ini yang didasari
atas rasa tulus ikhas dalam bhatin manusianya.
2.3.2. Kajian
aksiologis pelaksanaan upacara Pitra
Yadnya
Dalam
pelaksanaannya upacara Pitra yadnya
dibagi menjadi 2 yaitu upacara Sawa
wedana dan upacara Atma wedana.
1. Upacara Sawa wedana
Sawa Wedana adalah upacara yang bermaksud mengembalikan jasad
kepada unsur asalnya yaitu Panca Maha Bhuta yang terdiri dari lima unsur pokok.
Badan jasmani (mikrokosmos) terdiri dari lima unsur pokok (Panca Maha Bhuta) pula yaitu : pertiwi
(zat tanah), apah (zat air), teja (zat sinar), bayu (udara/gas) dan akasa (ether). Pada dasarnya alam besar
atau Macrokosmos sama unsurnya dengan alam kecil walaupun masing -masing unsur
itu berbeda wujud. Upaya sawa wedana
untuk mengembalikan Panca Maha bhuta
dari unsur-unsur jasad manusia kepada asalnya Panca Maha Bhuta alam semesta (macrokosmos) adalah dengan cara
pembakaran jenasah (perabuan: Cremation). Pembakaran jenasah lengkap dengan upacara
di Bali disebut dengan ngaben
(Bantas, 2002:5.17). (Sanjaya, 2010:
27-28) menegaskan Sawa Prateka atau Sawa Wedana adalah upacara untuk mayat
agar kembali kepada unsur-unsur Panca
Maha bhuta, dengan cara dibakar atau dikubur. Sawa Prateka ini dibagi menjadi dua bagian yang lain yaitu: Sawe Wedana, yaitu upacara pembakaran
mayat yang masih dapat ditemukan (mayat masih ada). Setelah mayat menjadi abu,
kemudian dihanyutkan ke laut yang disebut dengan upacara Asthi Widana dan Swastha
yaitu upacara pembakaran mayat, dimana mayat itu tidak ditemukan atau tidak ada
yang diganti dengan Kusa Sarira yaitu
jalinan ilalang berbentuk manusia, atau bisa pula dengan Toya Sarira yaitu Air Suci ditambah bunga, yang ditunjukan dengan Puja Sulinggih. Kusa Sarira itu dibakar layaknya upacara Sawa Widana.
(PHDI
pusat, 2008:84 -85) menyatakan yang termasuk pembagian upacara Sawa Wedana adalah Ngeringkes, Ngaben, Swastha dan Ngelungah adapun pengertiannya dikemas
dalam wujud masing-masing. Ngeringkes adalah
suatu upacara merawat sawa (jenasah),
baimana cara memandikan, mengulung, memberikan perlengkapannya yang juga
disebut atiwa-tiwa hingga sawa
(jenasah) itu diperabukan Agni Pralina
atau dikuburkan Mertiwi. Mertiwi dan Agni Pralina adalah upacara mekingsan yaitu menguburkan atau
membakar jenasah (sawa) secara
darurat tanpa disertai upacara dan upakara pengabenan. Mekingsan ini ada dua macam yaitu mekiningsan di Pertiwi (Kuburan
di Setra) dan Mekingsan di Agni
(dibakar jenasahnya dan abu tulangnya dikumpulkan serta di bungkus dengan kain
putih untuk di buang ke laut). Keterangannya terdapat dalam Pustaka Lontar Pratekaning Wong Mati. Ngaben
adalah suatu upacara penyucian dan peleburan Sawa (jenasah) dari unsur Panca
Maha Bhuta (Bhuana Alit) untuk
dikembalikan ke Unsur Panca Maha Bhuta
(Bhuana Agung). Pada upacara ini akan terjadi pemisahan
antara Purusa dan Prakerti dari orang yang meninggal atau
yang diaben untuk dikembalikan ke sumber masingh-masing. Proses pengembalian
ini bisa ditempuh melalui air (Toya
Pranawa), Tanah (Swastha Bangbang)
dan Api (Agni). Dipilihnya api ini dalam arti guna mempercepat proses
pengembalian unsure-unsur Bhuana Alit
ke Bhuana Agung, Jika Sawa (Jenasah)nya sudah tidak ada lagi
karena telah diperabukan (mekingsan di
Agni) maka pengabenannya disebut Kusa
Pranawa sedangkan yang sudah dipendem atau (dikuburkan), disebut Supta Pranawa. Nywasta menurut Lontar
Yama Purwana Tatwa bahwa nywasta itu adalah suatu upacara pengabenan jika
sawa (jenasah) orang yang meninggal dunia itu tidak diketemukan karena hilang
atau tidak dikenali identitasnya karena hancur dan tidak diketahui secara pasti
kuburannya atau karena sesuatu hal sulit untuk mengangkat atau memperoleh
tulang atau kerangkanya. Ngelungah
adalah upacara pengabenan jika Sawa (Jenasah) yang meninggal itu berupa
janin yang sudah sempurna atau anak-anak yang belum tanggal gigi (balita). Pengabenan sawa (jenasah)nya tidak diperabukan tetapi cukup dipendam
(dikuburan). Kuburanya kemudian dirapuh atau diratakan. Keruron adalah suatu upacara kematian dari keguguran
kandungan yang masih dalam bentuk darah (gumpalan darah) yang belum berbentuk
manusia.
2. Upacara Atma Wedana
(Bantas,
2002:5.18) Atma wedana adalah upacara pengembalian Atma atau Roh dengan menyucikan Roh itu agar dapat kembali kepada
asalnya. Setelah jasad diperabukan dan kembali kepada sumbernya kini tinggallah
atma saja tanpa ada badannya lagi. Adapun upacara
yang terakhir dalam rangkaian upacara
pitra yadnya adalah upacara mamukur
yang dalam upacara itu terdapat salah satu upacara dalam upaya pengembalian roh
(atman) ke asalnya yang disebut upacara “Ngaluhur/Ngaluwer”.
Upacara ini adalah upaya rohaniah dengan doa puja mantram Pandita dengan harapan Atma (roh) dapat manunggal dengan Paramatman, mencapai moksa, mencapai alam tanpa bentuk dan Atma kemudian disebut Dewa Pitara.
Upacara Atma wedana juga berarti upacara pengembalian Atma dari Bhur loka (bumi),
Bhuwah loka (alam Pitara), dan Swah Loka (alam Dewa). Upacara ini dilaksanakan di rumah yang
memiliki upacara atau di suatu tempat
strategis yang telah ditentukan, menggunakan upakara atau banten
selengkapnya, atma yang diupacarai
disimbulkan dengan puspa sarira yang
diwujudkan pula dengan puja atma tattwa,dipimpin
oleh seorang Sulinggih dan dihantarkan dengan puja pralina, abu puspa Sarira
dihanyutkan di laut. Upacara pembakaran mayat ini sungguhlah penting karena
mayat yang terlalu lama dikubur akan merupakan sumber penyakit yang
diistilahkan Bhuta Cuil, bila tidak
bisa membakar secepatnnya, dapat juga di tanam sampai waktunya dilakukan
pembakaran, dengan ketentuan mayat yang dikubur, kuburannya menghadap arah
gunung atau matahari terbit dengan lubang kuburan minimal 1,5 meter. Sebelum
mayat dikubur hendaknya diberi upacara
penyucian dan melakukan atur piuning kepada Sang
Hyang Prajapati yang menguasai daerah kuburan itu (Sanjaya, 2010:28).
3. Sarana yang dipergunakan pada
setiap prosesi upacara Pitra Yadnya
Prosesi ngeringkes sarana untuk memandikan Sawa (jenasah) adalah Pepaga atau dipan (1buah), daun pisang
kapok untuk alas memandikan (2 lembar), kayu
atau bambu serta cabang dapdap untuk tiang leluhur (4 batang),
ember dan gayung tiga buah untuk air biasa 1 buah, air kumkuman 1 buah dan air asem 1 buah, pisau untuk ngerik kuku tangan
dan kaki (1buah), sabun mandi, handuk, sisir, dan minyak wangi (masing -masing
satu buah), bantal kecil untuk alas kepala saat memandikan (1buah), perban dan
kapas untuk pembalut jika sawa (jenasah) terluka, toya tabah (air tawar), air
kumkuman dan air asem untuk permandian secukupnya, sisig dibuat dari beras atau
rengginang yang dibakar (1 takir), ambuh dibuat dari parutan kelapa (1 takir),
telor ayam mentah (1 butir), boreh (lulur) dari gamongan, isen dan kunyit
masing-masing (1 takir), kekosok dari beras berwana Putih dan Kuning masing-masing
(1 takir), benang secukupnya untuk itik-itik
(pengikat kedua ibu jari tangan dan kaki), kain putih untuk keperluan
antara lain : untuk leluur (atap memandikan sawa) yang dirajah Aksara Ongkara Ngadeg dan Sumungsang dengan ukuran 1,5 M, angkeb
rai (muka) yang dirajah aksara Mang-kara (30 cm), Angkeb Baga/Pasta (kemaluan)
dengan rerajahan Aksara Ah-Kara (30 cm) dengan kain berwarna hitam (PHDI pusat,
2008:88 -89).
Prosesi
mengulung Sawa (jenasah) sarana yang dipergunakan bendusan (peti jenasah) 1
Buah, tikar untuk menggulung sawa (jenasah) 1 buah, Sanggar Surya untuk Sang
Hyang Siwa Raditya dan Ngayat ke kemulan 1 buah, Sekar Ura terdiri dari samsam,
bunga, bija, dan uang seperlunya, sekar sinom (rangkaian hiasan janur berisi
bunga sesuai ukuran Bendusa yaitu 3 buah yang panjang dan 3 buah yang pendek,
kain putih penutup luar dari bendusa secukupnya, bahan imbolis dari Sawa adalah
Pecahan cermin 2 buah, daun intaran (2 lembaran), waja/baja berupa potongan
kecil (1buah), daun gadung/sekapa/meduri, daun teratai (1 lembar), daun sirih
(20 lembar), Pusuh Kembang menuh /melati (2 buah), kembang teleng (2 buah),
sarana berupa kawangen sebanyak 7 (tujuh buah) dengan perincian yaitu 3 buah
kawangen berisi uang bolong masing -masing dengan jumlah 11 buah untuk di
kepala, dada dan hati, 4 buah kawangen berisi uang bolong masing-masing dengan
jumlah 5 buah untuk di siku kanan dan kiri serta di taruh di lutut kanan dan
kiri, untuk pemuspan bagi sawa (jenasah) agar disiapkan juga 1
buah kawangen lagi berisi uang bolong dengan jumlah 25 buah ditaruh
pada tangan yang diitik-itik. Kain
untuk ngeringkes yaitu kain putih
untuk mengulung Sawa dengan ukuran satu depa + satu Hasta+ Satu Musti (2M).
Kain untuk Busana Sawa (jenasah) laki – laki antara lain ; kancut/kain pria
(1,5M), umpal/kampuh pria (1,5M), sabuk/ ikat pinggang (secukupnya), udeng
/destar (1M). kain untuk busana Sawa perempuan antara lain: Kamben/kain perempuan (1,5M), tapih/kain
dalam (1,5M), Stagen/ikat pinggang
dari kain (secukupnya), Senteng/penutup
dada (secukupnya), Upakara Banten
untuk upacara ngeringkes yaitu Banten pejati untuk Hyang Siwa Raditya (Sanggar Surya). Banten Pejati untuk ngayat ke Sanggar
Kemulan, Banten untuk sawa (jenasah) yaitu Pejati, Pengulapan, Pengabenan, Nasi Punjung, Prayascita Durmanggala sekaligus untuk Ulap Ambe Peti, dan ke Sor
segehan Manca Warna, Banten Arepan Pemangku yaitu pejati, tirta pengelukatan, Tirta
Pembersihan dan teempat air untuk Tirta
Pengeringkesan (PHDI pusat, 2008:89 -91).
Banten untuk metitip di pertiwi antara
lain Banten pejati dan banten arepan pemangku yang memiliki pembagian sebagai
berikut : Banten Pejati untuk Sang Hyang Surya Raditya (Sanggar Surya), Ibu
Pertiwi (Sang Hyang Berawi), Pura Dalem atau Prajapati, Pura Kahyangan Jagat,
untuk Sedan Setra, Bangbang (liang lahat), untuk Sawa (jenasah), Pitra ditambah
Nasi Punjung Putih Kuning, Bubuh Pirata, Ayaban (Sakasidan) dan Segehan Panca
Warna Ke Sor. Banten Arepan pemangku yaitu Pejati, Prayascita, Durmanggala,
Tirta Penglukatan, Tirta Pembersihan, Tirta Pemuput Karya (Mendem), Tirta Pura
Dalem atau Tirta Pura Prajapati dan Tirta Pura Kahyangan Jagat (PHDI pusat,
2008:91).
Banten untuk Agni Pralina (Metitip
di Agni) atau diperabukan antara lain : Banten Pejati untuk
Sang Hyang Siwa Raditya (Sanggar Surya), Banten Pejati Untuk Sang Hyang Agni,
Banten Pejati ke Pura dalem atau Prajapati, Banten Pejati untuk Pura Kahyangan
Jagat, Banten Pejati unhtuk Sedehan Pemuhun, Banten Pejati untuk Sawa (Jenasah)
atau Pitra ditambah Nasi Punjung Putih Kuning, Bubur Pirata, Ayaban (Sakasidan)
dan segehan Manca Warna ke sor, Banten Pejati untuk Arepan Pemangku ditambah
Prayascita, Durmanggala, Tirta Panglukatan, Tirta Pembersihan, Tirta Pemuput
Karya (Ngeseng), Tirta Pura Dalem atau Prajapatidan Tirta Pura Kahyangan Jagat.
Banten atau Upakara untuk Ngirim Abu (Galih/Asti), adalah : Banten Pejati untuk
ke Tengah Segara, Banten Punjung untuk Abu (Galih/Asti), kesor Segehan (PHDI
pusat, 2008:92.
Banten untuk Upacara Ngelungah antara
lain : Banten pejati untuk Sang Hyang Siwa Raditya ( Sanggar Surya), Banten
Pejati untuk ke Pura Dalem atau Prajapati, Banten Pejati untuk Sedehan Setra,
Banten Pejati untuk nunas Tirta pengrapuhan ditambah suci Sari, Ajuman Putih
Kuning, Bubur Sumsum 5 takir, Tumpeng Poleng meplekir medaging kawangen 1 buah,
Padang lepas 5 batang, muncuk Ambengan 5 mucuk, mingmang 1 buah, payuk anyar 1
buah medaging toya dan seet mingmang 1 buah. Banten pejati untuk bangbang rare
ditambah Suci Sari, Pengulapan, Klungah nyuh gading mesurat Ong Kara medaging
Rwaning waringin 3 muncuk tekaning seet mingmang 6 katih dados asiki talining
benang cemeng 3 tigang ileh. Banten Pejati untuk Siwa (Pirta Rare) ditambah
Punjung Putih Kuning, Banten Bajang dan Bangsah Pinang. Banten Pejati arepan
Pemangku ditambah Prayascita, Durmanggala, Tirta Penglukatan, Tirta
Pembersihan, Tirta Pemuput Karya (mendem) (PHDI pusat, 2008:92-93).
Banten Keruron, Keruron
adalah upacara kematian karena keguguran dari kehamilan yang masih dalam bentuk
gumpalan darah dan belum berbentuk si cabang bayi. Upakaranya hanya cukup
dengan prayascita sebagai simbol penyucian diri terutama ibu sang si bayi dan
keluarga dan termasuk rumah duka
(PHDI pusat, 2008:93).
Banten Pembersihan serta penyucian
di rumah dukha antara lain jika Sawa (jenasah) berada
di rumah atau sempat dibawa ke rumah walaupun meninggal di rumah sakit yang
terdiri dari : Banten Pejati ke Sanggar Kemulan (Bhatara Hyang Guru), Caru Eka
Sata (Ayam Brumbun) dan seruntutannya menggunakan Sanggar Cukcuk., Prayascita
dan Durmanggala. Jika Sawa (jenasah) tidak ada di rumah diselesaikan di luar
rumah (rumah duka/rumah sakit) cukup menggunakan Prayascita (PHDI pusat,
2008:93-94).
2.3.3 Kajian Epistimologis
upacara Pitra Yadnya menurut lontar-lontar
di Bali.
(Lontar Purwa
Gama dlm Pasek Swastika, 2008: 16) disebutkan
Mwang
kramaning mati ya tan kapangguh walungnia mwah mati ring sunantara ya wenang
Swasta. Kramanya paripurna ring toya. Magesang ring soring sanggah kewalya.
Tirtha ika Maka awak sang mati,saha suci laksana tigang soroh,ring sang
ngajengin asoroh,bubur pirata,nasi
angkeb,ajengan putih kuning saparikrama papasang wenang karma jangkep ginawae
kala pasta, enjing hanyut ring sagara. Yan kapangguh walung nia wenang preteka kadi
nguni, mangkana ling Hyang Manu ring Sang Manta Kabeh.
Terjemahan :
Tatacara
penyelenggaraan orang mati kalau tidak ketemu mayatnya dan juga orang mati
ditempat yang jauh ( sunantara hal itu dapat di selenggarakan dan di selesaikan
dengan Swasta (Ngaben) pelaksanaanya sesuai dengan tirtha di bakar di bawah
sanggar,cukup dengan tirtha itulah sebagai lambang badan yang meninggal dengan
upacara banten suci tigang soroh, dan pada yang memimpin satu soroh, bubur
pirate, nasi angkep, nasi putih kuning dan maka dengan kelengkapannya patut di
kerjakan dengan kala puspa dan terus hanyut ke segara. Kalau ketemu mayatnya
hendaknya di upacarai sebagai mana mestinya.Demikian Sabda Sang Hyang Manu ke
pada semua orang.
(Lontar
Siva Tattwa Purana dlm Singgin Wikarman, 2002:80-81)
Singgih
yan mangkana, hulun akarya bade kang nista, madya, utama. Kang utama, atumpang-hana
tumpang sawalas, muah tumpang sanga, tumpang sapta, lan catur, ikang genahing
sawa bade, ingarang wadah, ya wadah ikang sawa, kotamanya anaga
bandataranyabade winilet apinda taksada, busananya amanca warna, dulur lembu,
bandusa, abale salungulung, aranya genahing patulangun.
Terjemahan
:
Ya
kalau demikian hamba akan membuat bade, kecil, sedang, dan besar, yang besar
bertumpang ada sebelas, dan ada Sembilan, ada tujuh, lima dan empat, yang
menjadi tempatnya Sawa. Bade disebut wadah ia wadah dari sawa utama. Bernaga
banda, prihalnya bade diikat laksana naga tatsaka, pakaiannya 5 warna, diseriai
lembu, bendusa, memakai balai salunglung, namanya tempat patulangan.
Dari
uraian lontar-lontar tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa, upacara dan
upakara Pitra Yadnya memiliki tatanan
dan tata cara yang sangat teratur dalam pelaksanaannya, serta di dukung dengan
kajian sumber yang akurat, tiada
lain melalui sumber Veda, dan kebudayaan atau sistem pelaksanaan upacara dan Upakara Pitra Yadnya telah memenuhi Desa, Kala, dan Patra yang
dihubungkan sesuai denagan konsep Satyam,
Siwam, Sundaram. Dengan kata lain
konsep ini, telah memiliki korelasi yang sangat kuat dan dapat memberikan
konstribusi dalam tatanan pelaksanaan Yadnya
di lingkungan masyarakat Hindu khususnya, dan budaya bali yang terkenal akan Desa Mawa Caranya, sehingga leluhur
Hindu di Bali menyebutnya kehidupan ini sesuai petuah Beliau yaitu, “Ksayan ikang papa nahan parayojana”,
dalam arti yang lebih mendalam memiliki basicly of definition yaitu hidup di
dunia ini adalah menderita, dan sebagai manusia seyogyanya mencari hal yang
sifatnya Sat Cit Ananda, dalam
istilah lain disebut Suka tan pawali duka.
2.3.4 Contoh relevansi Teori Posmodern
dipadukan dengan epistimologis Hindu sebagai Problem Solving
Fenomena
permasalahan masyarakat Hindu yang melaksanakan upacara Pitra yadnya dengan
jorjoran dan mengejar prestise sudah dapat terjawab di aksiologis pelaksanaan
upacara Pitra Yadnya. Fenomena permasalahan yang juga sering diperbincangkan
adalah mengenai pemakaian Bade yang pada saat upacara Pitra Yadnya kabel yang
berada diatas jalan harus dinaikan oleh pecalang. Fenomena mengenai pemakaian Bade telah dijawab dalam Lontar Siwa
Tattwa Purana “Singgih yan mangkana,
hulun akarya bade kang nista, madya, utama”. Kalau mau membuat Bade yang
kecil, sedang, besar merujuk pada epistimologis lontar Hindu Bali ini, sehingga
masyarakat tidak kebingungan memakai Bade. Pemakaian Bade yang terlalu besar
akan berakibat pada pengeluaran ekonomi yang banyak, pemakaian bade yang kecil
berkakibat pada pengeluaran ekonomi yang sedikit, sekarang kembali kepada
masyarakat untuk memilih asalkan jangan mengejar “prestise” dalam menjalankan upacara pitra yadnya. Hal ini senada
dengan pandangan teori Postmodern oleh Lyotard yang menyatakan bahwa
postmodern sebagai ketidakpercayaan pada narasi besar modernism dan Pandangan Habermas yag
menyatakan bahwa Postmodernisme sebagai langkah “counter culture”, artinya kebudayaan
elit atau kebudayaan massa pada masa modernisme justru dihancurkan.
Alasan Teori Postmodern hadir sebagai penyangga
untuk memecahkan sikap oknum umat hindu yang “jorjoran”, mengejar “prestise”
dalam menjalankan upacara Pitra Yadnya perlu dihancurkan kebiasaan dan
pembudayaan ini agar pengharapan terhadap Yadnya yang harus tulus iklas
bergeser menjadi “mengejar prestise” dengan merujuk pada kaedah hakekat
epistimologis Hindu dan pembudayaan beryadnya “lebay” atau “jorjoran”
perlu dihancurkan.
SIMPULAN DAN
SARAN
3.1 Simpulan
Berdasarkan atas
uraian diatas dapat penulis simpulakan sebagai berikut :
1.
Teori merupakan penyelidikan eksperimental
yang mampu menghasilkan fakta berdasarkan ilmu pasti, logika dan argumentasi.
2. Teori
Postmodern adalah bagian teori yang berfungsi sebagai counter culture mordernisasi,
kritik atas masyarakat modern dan
kegagalannya memenuhi janji-janjinya disatusisi postmodern cenderung mengkritik
segala sesuatu yang diasosiasikan dengan modernitas hedonisme
3. Dalam
pelaksanaan Upacara Pitra yadnya
apabila dikaji secara faundamental
aksiologis upacara pitra yadnya dibagai menjadi dua upacara Sawa wedana (pengembalian zat panca mahabutha) dan upacara
Atma wedana (penyucian Atma untuk kembali pada sumber ataman atau
Paramatman) dan epistimologisnya ( Lontar Purwa Gama dan Lontar Siwa Tattwa
Purana).
4. Alasan Teori Postmodern hadir sebagai penyangga
untuk memecahkan sikap oknum umat hindu yang “jorjoran”, mengejar “prestise”
dalam menjalankan upacara Pitra Yadnya perlu dihancurkan kebiasaan dan pembudayaan
ini agar pengharapan terhadap Yadnya yang harus tulus iklas bergeser menjadi
“mengejar prestise” dengan merujuk pada kaedah hakekat epistimologis Hindu dan
pembudayaan beryadnya “lebay” atau “jorjoran” perlu dihancurkan.
19
|
3.2
Saran
Berdasarkan kesimpulan
diatas dapat diajukan saran-saran sebagai berikut
1.
Bagi Cendikiawan Hindu dapat
dipergunakan sebagai bahan refrensi dalam menganalisis keberadaan oknum
masyarakat Hindu-Bali yang Hedonis
2.
Bagi masyaakat hindu dapat sebagai
refrensi acuan dalam pembuatan yadnya yang notabena tidak “jorjoran” namun
mengarah pda esensi tattwanya, dengan konsep yadnya sederhana dengan penuh rasa
emik religius.
3.
Bagi generasi postmodern berikut agar paper
ini dijadikan acuan dalam mengembangkan culltur yang memiliki output yang
berkualitas.
No comments:
Post a Comment