Wednesday, March 22, 2017

Veda Bersabda brahman manusia dan alam bukan sebatas wacana

Oleh : Candra Prawartana

VEDA BERSABDA
Brahman, Manusia, dan Alam
bukan sebatas wacana
“Tan hana wong svasta ayu nulus”, Ungkapan yang sering biasanya dilontarkan oleh para leluhur kita, masyarakat pada umumnya, terutama oleh kaum akademisi yang bergerak di bidang pendidikan agama Hindu. Bawasannya manusia tidaklah sempurna karena manusia pasti ada kekurangannya. Beranjak dari tolok ukur pemikiran kita, terhadap kekurangan yang dimiliki insan manusia. Dalam keadaan yang seperti ini, apabila manusia selalu memikirkan kekurangan, maka tidak akan ada lagi semangat untuk mau berusaha membangun jati diri menjadi lebih baik dalam kehidupan. Di dalam teori ilmu pengetahuannya manusia sering disebut - sebut mahluk tertinggi karena manusia memiliki bayu, sabda, dan idep atau Tri Pramana. Idep atau pola berpikir sangat berperan penting dalam  berbuat atau bertindak, selain memiliki Tri Pramana manusia juga memiliki Viveka Jnana atau daya diskriminatif, mampu untuk membedakan mana hal yang benar dan mana hal yang salah. Pikiran manusia dianalogikan seperti dua mata pisau yang memiliki peranannya masing - masing, pikiran manusia mampu menyerap ilmu pengetahuan disesuaikan dengan tingkat pemahaman pada masing - masing insan manusianya. Apabila manusia telah mampu memahami dan memaknai ilmu pengetahuan, yang menjadi landasannya terletak pada fungsi dan peran manusia yang bisa mempergunakan pengetahuan yang dimilikinya, baik dengan mempergunakan pada keadaan yang positif atau yang mengarah pada tindakan yang negatif (abnormal)
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa manusia sangat istimewa kedudukannya (very excellent) diantara mahluk ciptaan Brahman yang lainnya. Tetapi teori hanyalah sebatas penghias bibir belaka, tentunya realisasi sangat menyimpang dari harapan, akankah manusia bisa disebut - sebut   mahluk tertinggi lagi ???. Oleh sebab itu, ajaran Hindu yang memiliki esensial yang sangat mendalam harus dipertanggungjawabkan kembali sesuai dengan realita karma atau perbuatan manusia saat ini. Melalui ajaran Susila Hindu, membangun keharmonisan hidup antara Brahman, Manusia, dan Alam, tentu sangat diperlukan keberadaannya.
Baca dan simaklah…!!!, banyak di awak media - media masa, baik di media cetak maupun di media elektonik, terjadi penyimpangan moralitas manusia yang maha dasyatnya karena diliputi oleh pengaruh maya. Pemikiran manusia dikendalikan oleh adanya Awidya (kebodohan atau kegelapan dalam diri), sehingga pemikirannya hanya tertuju pada ikatan material dan rasa ego yang sudah di luar ambang batas, tanpa memperhatikan konsekuensi hukum  Karmaphala secara Sekala maupun Niskala. Banyak ungkapan - ungkapan yang tentunya bisa dijadikan kontemplasi diri atau Mulat Sarira, yang sudah pasti menekankan pada pembenahan moralitas manusia di zaman Kali Yuga ini, seperti halnya: gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama, dari ungkapan ini dapat di analisis,  realisasinya di masyarakat sangat berbeda.
Fenomena - fenomena penyimpangan yang terjadi saat ini misalnya: perusakan hutan terutama hutan mangrove yang sudah beralih fungsi karena investor dari luar, perburuan liar, dan lebih - lebih terjadinya pembunuhan,  korupsi merajalela dengan berbagai motif saling suap menyuap, perampokan, brunaho, sex bebas, selingkuh, pemerkosaan, peperangan antar krama Desa Pekraman di Bali karena kasus tapal batas, peperangan antar krama Banjar karena kasus wilayah setra, lebih - lebih  sampai merebak pada tempat suci yaitu pencurian pratima di pura - pura, dll. yang mengakibatkan kerusakan lingkungan alam, karena dilakukan dengan cara dipaksa, tanpa adanya siklus alamiah, serta kepedulian antara sesama manusia mengenai jivatman yang ada di dalam badannya sendiri, sesuai  dengan konsep Tat Tvam Asi sudah di anggap angin berlalu, sehingga nyawa tidak diperhatikan, . Para generasi muda yang rasa egonya sangat keterlaluan seperti : Trek - trekan di jalan, minum - minuman keras, sampai ke Narkoba, hingga kesannya sungguh menyayat jiwa dan di luar batas kesadaran atau Cetana.
Di sisi lain para leluhur atau para penglingsir secara Kuna Drsta sudah berulang - ulang kali menasehati, bahwa terlahir ke dunia sungguh menderita. Dalam susastra Hindu di jelaskan pula mengenai hal ini, yang menyebutkan “ksayan ikang papa nahan parayojana, artinya hidup di dunia sungguh  sengsara, yang menyebabkan kesengsaraan tentunya dari analisis konsepsi Catur Bekel Numadi yang meliputi sukha, dhuka, lara dan pati, kesenangan hanya satu namun sisanyahanya kesengsaraan, maka lebih banyak penderitaannya dibandingkan dengan kesenangan di dalam hidup ini. Umat Hindu sudah sering kali di berikan wejangan - wejangan suci dari Dang Hyang Acarya atau Sang Meraga Wiku melalui pelaksanaan Dharma wacana di tiap - tiap Desa Pekraman yang ada di Bali, pada saat upacara yajna. Namun masyarakat hanya bisa mendengar tetapi dalam aplikasinya sangat jauh dari wacana yang diberikan, contoh kecilnya saja yaitu pelaksanaan bhakti kepada Sang Sangkan Paraning Sarat atau Brahman. Manusia pada saat mabuk kesenangan entah karena kebanjiran rejeki atau sesuatu hal, dia hilap akan kesenangan dan lupa akan sifat kepribadiaan Brahman yang Maha Utama, sehingga manusia jatuh ke jurang penderitaan. Lain halnya, saat mengalami kesusahan atau sakit, barulah berbondong - bondong mencari pura - pura atau mengingat nama suci Brahman, apakah  moralitas atau etika Susila ini yang perlu di lakukan???. Tentu jawabannya tidak!!!, Sesungguhnya beragama harus seimbang antara wacika dengan aplikasi keseharian, antara pikiran, perkataan dan perbuatan. Agar beragama tidak sebatas wacana tetapi yang lebih penting adalah implementasinya.
  Kesimpulannya, agar  bisa mengatasi adanya penyimpangan - penyimpangan etika susila seperti yang diungkapkan di atas, maka hal yang perlu diterapkan menjadi insan manusia yang bernafaskan Hindu tentunya harus bercermin dari Sabda Suci yang diturunkan oleh Brahman kepada para Maha Rsi, melalui ajaran Veda. Veda mengajarkan simbolistik ajaran Hindu adalah Svastika yaitu bisa berhubungan dengan Brahman (vertical ke atas), bisa berhubungan dengan sesama manusia (horizontal), dan bisa pula berhubungan dengan lingkungan atau alam sekitar (vertical ke bawah) dengan direalisasikan melalui Subhakarma. Konsep ini sudah gamblang dijelaskan dalam ajaran Tri Hita Karana. Penerapan Susila dapat dilakukan juga dengan memahami Veda Tattva.  Sudah tersirat dan tersurat dalam Veda, seperti halnya Bhakti Marga kepada Brahman sesuai dengan kutipan mantram Rgveda X.121.1 sebagai berikut :
Hiranyagarbhah samavartatagre Bhutasya jatah patireka asit, Sa dadhara prthivim dyam utemam Kasmai devaya havisa vidhema.
Artinya : ‘Siapakah yang kami puja dengan persembahan kami yang suci yang ada dalam permulaan, yang diwujudkan sebagai Tuhan Sang Maha Pencipta yang Menguasai bumi dan langit’.
Dalam kutipan mantram Atharvaveda III.30.1, tentang hubungan manusia antar sesama agar bersatu, menyatakan sebagai berikut ;
Sahrdayam sammanasyam avidvesam kromi vah. Anyo anyyam abhi haryata vatsam jatam ivaghnya.

Artinya : ‘Wahai umat manusia, Aku memberimu sifat - sifat ketulusikhalasan, mentalitas yang sama dan perasaan berkawan tanpa kebenciaan. Seperti halnya induk-sapi mencintai anaknya yang baru lahir, begitulah anda mencintai kerabatmu’. Dalam kutipan mantram Yajurveda XXV.17, menyatakan hubungan manusia dengan lingkungan yang diibaratkan Ibu dan Ayah, kutipan sebagai berikut ; Tan mata Prthivi tat pita dyauh artinya ‘Bumi adalah Ibu Kami dan Langit adalah Ayah Kami’. 

                                                                                                             

No comments:

Post a Comment

Literasi Digital Versi Aplikasi Book Creator Hindu

            Literasi serasa sepi, karena kemampuan peserta didik dalam hobby membaca sebagai bagian dari literasi mulai menurun dari kurun w...