Oleh : Candra Prawartana
VEDA BERSABDA
Brahman,
Manusia, dan Alam
bukan sebatas wacana
“Tan hana wong svasta ayu nulus”,
Ungkapan yang sering biasanya dilontarkan oleh para leluhur kita, masyarakat
pada umumnya, terutama oleh kaum akademisi yang bergerak di bidang pendidikan
agama Hindu. Bawasannya manusia tidaklah sempurna karena manusia pasti ada
kekurangannya. Beranjak dari tolok ukur pemikiran kita, terhadap kekurangan yang
dimiliki insan manusia. Dalam keadaan yang seperti ini, apabila manusia selalu
memikirkan kekurangan, maka tidak akan ada lagi semangat untuk mau berusaha
membangun jati diri menjadi lebih baik dalam kehidupan. Di dalam teori ilmu
pengetahuannya manusia sering disebut - sebut mahluk tertinggi karena manusia
memiliki bayu, sabda, dan idep atau Tri Pramana. Idep atau pola berpikir
sangat berperan penting dalam berbuat
atau bertindak, selain memiliki Tri Pramana manusia juga memiliki Viveka
Jnana atau daya diskriminatif, mampu untuk membedakan mana hal yang
benar dan mana hal yang salah. Pikiran manusia dianalogikan seperti dua mata
pisau yang memiliki peranannya masing - masing, pikiran manusia mampu menyerap
ilmu pengetahuan disesuaikan dengan tingkat pemahaman pada masing - masing
insan manusianya. Apabila manusia telah mampu memahami dan memaknai ilmu
pengetahuan, yang menjadi landasannya terletak pada fungsi dan peran manusia
yang bisa mempergunakan pengetahuan yang dimilikinya, baik dengan mempergunakan
pada keadaan yang positif atau yang mengarah pada tindakan yang negatif
(abnormal)
Dari
uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa manusia sangat istimewa kedudukannya (very excellent) diantara mahluk ciptaan
Brahman yang lainnya. Tetapi teori hanyalah sebatas penghias bibir belaka,
tentunya realisasi sangat menyimpang dari harapan, akankah manusia bisa disebut
- sebut mahluk tertinggi lagi ???. Oleh
sebab itu, ajaran Hindu yang memiliki esensial yang sangat mendalam harus
dipertanggungjawabkan kembali sesuai dengan realita karma atau perbuatan manusia
saat ini. Melalui ajaran Susila Hindu, membangun keharmonisan hidup antara
Brahman, Manusia, dan Alam, tentu sangat diperlukan keberadaannya.
Baca
dan simaklah…!!!, banyak di awak media - media masa, baik di media cetak maupun
di media elektonik, terjadi penyimpangan moralitas manusia yang maha dasyatnya
karena diliputi oleh pengaruh maya. Pemikiran manusia
dikendalikan oleh adanya Awidya (kebodohan atau kegelapan
dalam diri), sehingga pemikirannya hanya tertuju pada ikatan material
dan rasa
ego yang sudah di luar ambang batas, tanpa memperhatikan konsekuensi hukum
Karmaphala secara Sekala maupun Niskala.
Banyak ungkapan - ungkapan yang tentunya bisa dijadikan kontemplasi diri atau Mulat Sarira, yang sudah pasti
menekankan pada pembenahan moralitas manusia di zaman Kali Yuga ini, seperti halnya: gajah
mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama,
dari ungkapan ini dapat di analisis,
realisasinya di masyarakat sangat berbeda.
Fenomena
- fenomena penyimpangan yang terjadi saat ini misalnya: perusakan hutan
terutama hutan mangrove yang sudah beralih fungsi karena investor dari luar,
perburuan liar, dan lebih - lebih terjadinya pembunuhan, korupsi merajalela dengan berbagai motif
saling suap menyuap, perampokan, brunaho, sex bebas, selingkuh, pemerkosaan, peperangan
antar krama Desa Pekraman di Bali karena kasus tapal batas, peperangan
antar krama Banjar karena kasus wilayah setra, lebih - lebih sampai
merebak pada tempat suci yaitu pencurian pratima di pura - pura, dll. yang
mengakibatkan kerusakan lingkungan alam, karena dilakukan dengan cara dipaksa,
tanpa adanya siklus alamiah, serta kepedulian antara sesama manusia mengenai jivatman yang ada di dalam badannya
sendiri, sesuai dengan konsep Tat Tvam Asi sudah di anggap angin
berlalu, sehingga nyawa tidak diperhatikan, . Para generasi muda yang rasa
egonya sangat keterlaluan seperti : Trek - trekan di jalan, minum - minuman
keras, sampai ke Narkoba, hingga kesannya sungguh menyayat jiwa dan di luar
batas kesadaran atau Cetana.
Di
sisi lain para leluhur atau para penglingsir
secara Kuna Drsta sudah berulang -
ulang kali menasehati, bahwa terlahir ke dunia sungguh menderita. Dalam susastra
Hindu di jelaskan pula mengenai hal ini, yang menyebutkan “ksayan ikang papa nahan
parayojana”, artinya hidup di
dunia sungguh sengsara, yang menyebabkan
kesengsaraan tentunya dari analisis konsepsi Catur Bekel Numadi yang meliputi sukha, dhuka, lara dan pati,
kesenangan hanya satu namun sisanyahanya kesengsaraan, maka lebih banyak
penderitaannya dibandingkan dengan kesenangan di dalam hidup ini. Umat Hindu
sudah sering kali di berikan wejangan - wejangan suci dari Dang Hyang Acarya atau Sang
Meraga Wiku melalui pelaksanaan Dharma wacana di tiap - tiap Desa Pekraman
yang ada di Bali, pada saat upacara yajna. Namun masyarakat hanya bisa
mendengar tetapi dalam aplikasinya sangat jauh dari wacana yang diberikan,
contoh kecilnya saja yaitu pelaksanaan bhakti
kepada Sang Sangkan Paraning Sarat
atau Brahman. Manusia pada saat
mabuk kesenangan entah karena kebanjiran rejeki atau sesuatu hal, dia hilap
akan kesenangan dan lupa akan sifat kepribadiaan Brahman yang Maha Utama, sehingga manusia jatuh ke jurang
penderitaan. Lain halnya, saat mengalami kesusahan atau sakit, barulah
berbondong - bondong mencari pura - pura atau mengingat nama suci Brahman, apakah moralitas atau etika Susila ini yang perlu di
lakukan???. Tentu jawabannya tidak!!!, Sesungguhnya
beragama harus seimbang antara wacika dengan aplikasi keseharian, antara pikiran,
perkataan dan perbuatan. Agar
beragama tidak sebatas wacana tetapi
yang lebih penting adalah implementasinya.
Kesimpulannya, agar bisa mengatasi adanya penyimpangan -
penyimpangan etika susila seperti yang diungkapkan di atas, maka hal yang perlu
diterapkan menjadi insan manusia yang bernafaskan Hindu tentunya harus
bercermin dari Sabda Suci yang diturunkan oleh Brahman kepada para Maha Rsi,
melalui ajaran Veda. Veda
mengajarkan simbolistik ajaran Hindu adalah Svastika yaitu bisa berhubungan dengan Brahman (vertical ke atas),
bisa berhubungan dengan sesama manusia (horizontal), dan bisa pula berhubungan
dengan lingkungan atau alam sekitar (vertical ke bawah) dengan direalisasikan
melalui Subhakarma. Konsep ini sudah gamblang dijelaskan dalam ajaran Tri
Hita Karana. Penerapan Susila dapat dilakukan juga dengan memahami Veda Tattva. Sudah tersirat dan tersurat dalam Veda,
seperti halnya Bhakti Marga kepada Brahman sesuai dengan kutipan mantram
Rgveda X.121.1 sebagai berikut :
Hiranyagarbhah samavartatagre Bhutasya
jatah patireka asit, Sa dadhara prthivim dyam utemam Kasmai devaya havisa
vidhema.
Artinya : ‘Siapakah yang kami puja
dengan persembahan kami yang suci yang ada dalam permulaan, yang diwujudkan
sebagai Tuhan Sang Maha Pencipta yang Menguasai bumi dan langit’.
Dalam
kutipan mantram Atharvaveda III.30.1, tentang hubungan manusia antar sesama agar bersatu, menyatakan sebagai
berikut ;
Sahrdayam sammanasyam avidvesam
kromi vah. Anyo anyyam abhi haryata vatsam jatam ivaghnya.
Artinya
: ‘Wahai umat manusia, Aku memberimu sifat - sifat ketulusikhalasan, mentalitas
yang sama dan perasaan berkawan tanpa kebenciaan. Seperti halnya induk-sapi
mencintai anaknya yang baru lahir, begitulah anda mencintai kerabatmu’. Dalam
kutipan mantram Yajurveda XXV.17, menyatakan hubungan manusia dengan lingkungan yang diibaratkan Ibu dan Ayah,
kutipan sebagai berikut ; Tan mata
Prthivi tat pita dyauh artinya ‘Bumi adalah Ibu Kami dan Langit adalah Ayah
Kami’.
No comments:
Post a Comment