Penulis : I Putu Widya Candra Prawartana,S.Pd
Pemuda Hindu Bali
APLIKASI TEORI PRAKTIK PIERRE FELIX BOURDIEU
TERHADAP
PENDIDIKAN TRI KAYA PARISUDHA KEPADA
ANAK
DI LINGKUNGAN
KELUARGA
(SOSIO-PEDAGOGIKA)
I.
PENDAHULUAN
Kemajuan
zaman modern di era globalisasi hingga mengalami transisi zaman postmodern
sekarang ini, diikuti dengan kehidupan sosial serta budaya-budaya yang
berkembang di masyarakat. Masyarakat di zaman postmodern menginginkan pola
hidup praktis, efisien dan efektif, segala sesuatu dipandang agar lebih mudah
dan memenuhi pilihan disetiap tindakan individu masyarakat. Kenyataan yang terjadi
belakangan ini, sering dilakukannya penerapan sosio-paedagogika melalui wadah instansi formal melalui pendidikan
dan pembelajaran dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi swasta maupun negeri.
Di pihak lain, tidak menutup kemungkinan pendidikan di dalam keluarga yang
sifatnya informal juga menerapkan konsepsi
sosio-paedagogika misalnya sosok anak sebagai generasi bangsa, dididik dan
diajarkan pertama kali di lingkungan keluarga mengenai sopan santun, disiplin,
hormat, berbhakti, dst. Pendidikan secara nonformal, sudah pula dijalankan melalui
pengadakan sosialisasi penerapan sosio-paedagogika
jika dipandang dari segi sosial pendidikannya. Seperti contohnya: mengadakan dharma wacana bertajuk siraman rohani, menumbuhkan karakter budhi
pekerti yang baik di lingkungan masyarakat, mengadakan pasraman kilat bagi golongan pamangku,
golongan anak-anak usia SD, remaja maupun sekaa
truna-truni.
Lingkungan
akademis yang sering kali mendiskusikan mengenai penerapan pendidikan secara
informal, formal maupun non formal dari segi tatanan teoritis dan mengangkat
fenomena secara praktis. Namun konteks keseharian secara faktual, teori di
bangku sekolah maupun perkuliahan sangat jauh dari kenyataan di lapangan. Teori
dan praktek seolah-olah tidak connect,
tidak nyambung, maupun tidak selaras. Justru fenomena praktis kerap membuat “kegalauan” dan mengkhawatirkan
keberadaan teori yang telah dan sering disampaikan oleh guru, dosen, maupun
guru besar. Transpormasi peranan akademis dilakukan melalui acara seminar,
diskusi kelas, sosialisasi dst. Menilik keberadan itu, asumsi dasar dari
keberadaan teori terasa lumpuh dan hambar jika tidak diimplementasikan secara
utuh, ideal, nyata, bahkan ikhlas dalam menjalankan setiap teori yang
diemban. Sehingga konteksnya, teori
hanya sebatas wacana yang sifatnya lumpuh dan tidak berjiwa pelaksanaan.
Justru
masalah yang kompleks terjadi, pengemban yang dikatakan ahli dibidang teorinya
tidak sesuai dengan penerapannya. Contoh nyata sosok pemangku yang telah melewati proses sakralisasi mewinten (eka jati) dan sering memberikan dharma wacana umat, nganteb banten terjadi di kota Singaraja, Buleleng. Oknum dari pemangku ini justru menyewa tempat hotel
untuk berselingkuh rujukan penulis mengarah pada media cetak tribun-Bali edisi
tahun 2016. Di media Tribun-Bali juga penulis simak dan baca seksama mengenai Kelihan adat di Desa Pakraman
Tegal Badeng, kecamatan Negara yang menyewa PSK (Pekerja Sex Komersial), setelah melakukan hubungan mengalami
meninggal dunia karena obat kuat. Fenomena yang baru-baru ini muncul di media
cetak maupun elektronik, adanya pembunuhan sadis, anak remaja trek-trekan di
jalan, pemuda sudah ikut jejaring narkoba bahkan mengkonsumsinya, membuat anak-anak SMP mulai membuat geng
motor untuk merampok, terjadi penyekapan, perampokan di Pulomas Jakarta dan
peracunan sianida oleh Jessica Kumala Wongso dipidanakan 20 tahun, yang miris
dan menghanyutkan pandangan masyarakat semua tertuju dengan problema tersebut.
Ditengah pergolakan Negara Indonesia dan daerah Provinsi Bali, terjadinya kasus
reklamasi tanjung Benoa yang tidak pernah surut mengundang Pro-kontra di
masyarakat. Di pihak lain, modis OM
Telolet OM mulai meluncur sebagai kebiasaan yang sifatnya actual, update bahkan upgread di
dunia sosmed (sosial media). Kekuasaan mengatasnamakan agama juga terjadi demi
menggoncangkan keutuhan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) yang
dilakukan oleh beberapa oknum. Dari masalah ini, menunjukkan tatanan akademis
masih diperlukan untuk menganalisis asumsi mendasar dari subtansi makna
teori-teori yang berkembang. Dalam bahasa ilmiahnya multum in parvo yang artinya teori hanya sebatas wacana namun tidak
ada laksana. Asumsi mendasar teori dijelaskan sebagai berikut.
Teori
merupakan serangkaian hipotesis atau proposisi yang saling berhubungan tentang
suatu gejala (fenomena) atau sejumlah gejala (Sarlito, 2013 : 5). Menurut
Suardi (2016 : 13), mengemukakan mengenai teori yang pada dasarnya membahas
sistem konsep-konsep yang terpadu, yang menerangkan dan memprediksi segala
kejadian atau fenomena. Di satu sisi, teori merupakan narasi yang mencoba
membedakan dan menjelaskan membedakan dan menjelaskan ciri-ciri umum dari
sebuah atau beberapa gejala dengan cara mendeskripsikan dan menjelaskan
tanda-tanda yang di anggap secara tetap muncul dan bisa diamati. Teori adalah
alat, instrument, atau logika untuk ikut campur atau ambil bagian dalam dunia
lewat mekanisme deskripsi, definisi, prediksi dan control (Sutrisno, 2003 :
285).
Teori
yang akan dijadikan dasar, rujukan, dan
pedoman untuk menghubungkan aplikasi situasional di lapangan dalam makalah ini
adalah Aplikasi Teori Praktik/Generatif Pierre Felix Bourdieu terhadap pendidikan Tri Kaya Parisudha kepada anak di
lingkungan keluarga tentunya dalam perspektif sosio-paidagogika. Teori Praktik
Pierre Felix Bourdieu peranannya
terletak pada habitus, modal dan
ranah. Lain halnya, pendidikan Tri Kaya
Parisudha merupakan pendidikan mendasar dari ajaran etika/susila Agama Hindu yang patut dilaksanakan pertama kali
kepada anak di lingkungan keluarga. Pendidikan Tri Kaya Parisudha ini, berkorelasi dan akan saling mempengaruhi output anak didik di rumah dengan
teorinya Pierre Felix Bourdieu. Sudut
pandang yang penulis sajikan melalui hubungan interaksi status di dalam
keluarga batih antara ayah, ibu dan anak, dengan pendidikan yang dilaksanakan di lingkungan keluarganya isitilahnya sosio-paedagogika secara informal.
Berdasarkan
latar belakang realita masalah, fenomena, dan penguatan teori yang dianggap
masih mengalami ketimpangan dengan kenyataan, sama istilahnya dengan Das Sollen dengan Das Sein tidak connect
(nyambung) maka permasalahan yang akan dibahas adalah :
1. Mendeskripsikan
Teori Praktik Pierre Felix Bourdieu secara
detail.
2. Mendeskripsikan
mengenai konsep Tri Kaya Parisudha.
3. Menganalisis
aplikasi Teori Praktik Pierre Felix
Bourdie terhadap pendidikan Tri Kaya
Parisudha di lingkungan keluarga melalui kajian sosio-paedagogika.
Tujuan dari analisis
keberadaan diatas adalah mempergunakan teori Praktik/generatif Pierre
Felix Bourdieu untuk mengetahui pendidikan Tri Kaya Parisudha di lingkungan Keluarga dengan sudut pandang sosio-pedagogika.
II.
PEMBAHASAN
2.1 Sekilas Riwayat Hidup Pendiri Teori
Praktik Pierre Felix Bourdieu
Pierre Felix Bourdieu lahir
pada tanggal 1 Agustus 1930 di desa Denguin, distrik Pyreness-Antantiques, di
bagian Barat Daya Prancis. Bourdieu putra seorang pegawai pos desa, dan belajar
di Pau sebagai siswa SMA (Lycee) yang cemerlang, dan terkenal sebagai pemain
rugby di sekolahnya. Bourdieu
melanjutkan di Ecole Normale Superieure dan belajar filsafat kepada Luis
Althusser. Pada tahun 1955 Bourdieu mengajar
SMA (Lycee) di Moulins, kemudian bergabung dengan ketentaraan dan dikirim ke
Aljazair selama dua tahun.
Di
Aljazair Bourdieu belajar tentang
masyarakat Berber, dan benturan masyarakat Aljazair dengan kolonial Prancis
dengan mengkonstruksi asal-usul struktur ekonomi dan sosial khususnya
masyarakat Kabyle suku Berber. Pada tahun 1960 Bourdieu kembali ke Paris dan belajar antropologi secara autodidak
dan mengajar di universitas Paris dan Lille. Di perguruan tinggi tersebut Bourdieu
mendirikan pusat Sosiologi Pendidikan
dan Budaya. Pada Tahun 1993 ia mendapat anugerah penghargaan “Medaille d’or du
Centre National de la Recherche Scientifique. Pemikiran Bourdieu sangat
dipengaruhi oleh pemikiran sosiologi, antropologi, dan filsafat.
Analisa
penulis dari teori Praktik Pierre Felix
Bourdieu adalah Bourdieu
menekankan pada pemikiran kritisnya (radikal) terhadap sosiologi (ilmu mengenai
masyarakat), tentu kaidah faundementalis
dari pemikiran sosok sosiolog yaitu adanya kontak sosial dan komunikasi barulah
terciptanya interaksi secara kondusif. Bourdieu
juga merupakan seorang sosok sosiolog di dunia pendidikan jadi keterkaitan
dengan makalah ini, teori praktis melalui pemikiran bourdieu sangat relevan
untuk dianalisis dengan pendekatan pendidikan dalam keluarga (pendidikan secara
informal) melalui pendidikan Tri Kaya
Parisudha terhadap anak.
2.2 Menelusuri Teori Praktik Pierre Felix Bourdieu
Pierre
Bourdieu menyatakan sebuah postulat atau rumus sebagai berikut: (Habitus x
Modal) + Ranah = Praktik. Modal menurut Bourdieu mempunyai arti luas mencakup
hal-hal material (yang dapat memiliki nilai simbolik) dan berbagai atribute yang
tak tersentuh, namun memiliki signifikan secara kultural, misalnya prestise, status, dan otoritas (modal simbolik),
serta modal budaya yg didefinisikan sebagai selera budaya dan pola-pola
konsumsi yg meliputi seni, pendidikan, dan bahasa. Modal berperan sebagai sebuah relasi sosial yg terdapat dalam suatu
sistem pertukaran. Modal mesti ada di
dalam sebuah ranah agar ranah tersebut dapat memiliki arti. Modal yang terdapat
dalam teori praktik Pierre Felix Bourdieu antara lain : modal ekonomi, modal budaya, modal sosial, dan modal simbolik.
Salah
satu contoh modal ekonomi adalah hal-hal
material yang dapat menjadi basis kekuasaan. Hertel menyimpulkan tiga
hal mendasar mengenai hak ekonomi: kecukupan standar hidup, mendapat pekerjaan,
dan hak mendapatkan pendapatan yang menjamin mereka yg tidak mampu. Hak azasi
manusia juga dianggap sebagai modal ekonomi. Modal ekonomi di dalam keluarga
yang mempengaruhi pendidikan Tri Kaya Parisudha
adalah pengelolaan sumber daya ekonomi yaitu salah satunya sumber daya
manusianya. Sumber daya manusia dalam keluarga yakni sosok seorang anak.
Anak
merupakan sumber daya keluarga yang merupakan generasi pelanjut keberlangsungan
dalam keluarga. Sikap dari etika ajaran
pendidikan tri kaya parisudha ini telah diajarkan secara utuh dalam keluarga
oleh peran serta orang tua maka out put sosok anak akan baik, namun jika
kebiasaan atau habitus dalam keluarga, orang tua tidak pernah memberikan tutur
atau nasehat terhadap anaknya maka anak tidak mengerti mengenai cara berpikir,
berkata, dan berbuat yang baik untuk dirinya sendiri. Sedangkan belakangan ini
pendidikan tri kaya parisudha di dalam keluarga sudah sangat jarang diberikan.
Jangankan
untuk memberikan pendidikan Tri Kaya Parisudha
dalam keluarga. Orang tuanya saja belum bisa “tersadarkan” menerapkan pendidikan Tri Kaya Parisudha bagi dirinya. Jika sosok orang tua yang
menginginkan modal ekonominya tetap utuh dan berjalan secara berkesinambungan,
hal yang wajib dilakukan mengajarkan
dan didik anak agar bisa menjadi sumber daya manusia yang cerdas dan berbudhi
pekerti yang luhur. Orang tua juga patut memberikan suri tauladan kepada
anaknya dalam bersikap sesuai kaedah ajaran Tri
Kaya Parisudha sesuai ranah dalam lingkungan pendidikan keluarga yang
pertama.
2.3 Pendidikan Tri Kaya Parisudha
Menurut Suardi (2016 : 3)
menyatakan, bahwa pendidikan memiliki arti dan substansi makna yang luas.
Pendidikan pada dasarnya usaha sadar dan terencana untuk membentuk manusia yang
belum dewasa agar menjadi dewasa. Pendidikan secara sederhana untuk membentuk
manusia yang seutuhnya. Pendidikan berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa. Diperlukannya pendidikan agar watak dari manusia yang belum
sadar disadarkan melalui pendidikan. Jadi apabila ada manusia yang belum sadar
sikap dan wataknya padahal sudah melewati jenjang-jenjang pendidikan SD, SMP,
SMA, sampai ke perguruan tinggi maka manusia tersebut adalah belum sadar atau
sebagai penghianat secara akademis dunia pendidikan.
Konsep ajaran Tri Kaya Parisudha sudah ada jauh sebelum agama hindu masuk di
Nusantara. Ajaran ini jika dilihat dari segi refrensi lontar sasana aguron-guron, pendidikan Tri Kaya Parisudha ini ada didalamnya. Tri Kaya Parisudha adalah ajaran etika
atau susila inti dari semua kehidupan manusia. Ajaran ini mengajarkan dan
mendidik manusia untuk selalu berprilaku yang baik dan benar. Secara etimologis
kata ajaran Tri Kaya Parisudha dapat
dibagai menjadi tiga kata antara lain : Tri
yang berarti tiga, Kaya yang berarti
perbuatan secara utuh dan idealnya dan Parisudha
merupakan suci atau proses penyucian.
Jadi arti yang sebenarnya dari konsepsi Tri
Kaya Parisudha ini adalah tiga perbuatan yang telah mengalami proses
penyucian melalui internalisasi manusia yang ingin sadar. Ajaran Tri Kaya Parisudha merupakan media
kontemplasi bagi siapapun manusia di dunia ini.
Lontar
Beberatan Wong Beling juga disampaikan ajaran Tri Kaya Parisudha ini melekat dari
manusia baru berada di dalam kandungan ibunya. Sosok seorang ibu pada saat
mengandung janin di lingkungan keluarga
juga harus mampu mengendalikan pikiran, perkataan dan perbuatannya agar tetap
dalam jalan yang benar dan baik. Sebenarnya manusia khususnya umat hindu telah
didik dari dalam kandungan oleh ibunya. Ibunya harus mampu mengendalikan indria
pikiran agar selalu baik nanti anaknya akan mengikuti kebiasaan (habitus)
ibunya saat mengandung. Pendidikan interaksi jiwa melalui pikiran yang tenang,
halus dan baik bagi sosok ibu dan bakal anak (janin) telah disampaikan secara
detail dalam lontar beberatan wong beling.
Pembagian dari pokok ajaran Tri Kaya Parisudha sudah sangat jelas
antara lain : Manahcika Parisudha
(berpikir secara suci) maka manusia perlu memiliki wiweka jnana dalam memilah
atau memfilter mana hal yang bersifat baik dan hal yang bersifat tidak benar.
Manusia soyogyanya mampu memetakan pola pikirannya sesuai situasional dan
kondisional inilah ranah berpikir. Karena manusia sudah bersyukur sekali
memiliki pikiran karena pikiranlah sesungguhnya penderitaan hidup dan
kebahagiaan hidup telah banyak dijelaskan di dalam kita sarasamusccaya. Yad bhawan tad bhawati artinya apapun
yang engkau pikirkan pasti akan terjadi.
Jadi pikiran memegang kunci pokok kehidupan kebahagiaan dan kesengsaraan
maka selalulah berpikir dan internalisasi
perkuat positif thinking.
Wacika
Parisudha merupakan ajaran berkata, berbahasa, cara berbicara
yang baik dan sopan terhadap siapapun. Hal ini dikarenakan manusia diajarkan
untuk membangun komunikasi yang baik dari perspektif sosiologi. Membangun
komunikasi yang baik dan benar tidak hanya sebatas “asbun” (asal bunyi) namun arah pembicarannya agar terlihat
pintar, baik dan sopan serta tidak menyinggung perasaan orang lain. Dalam
sustra hindu disebutkan “wasita nimitanta
manemu suka, wasita nimitanta manemu dhuka, wasita nimitanta manemu mitra,
wasita nimitanta pati kepangguh” artinya karen perkataan manusia bisa
mendapatkan kebahagiaan, karena perkataan bisa mendapatkan penderitaan, karena
perkataan manusia bisa mendapatkan sahabat, dan karena perkataan manusia bisa
mendapatkan kematian. Jadi sesungguhnya manusia yang sudah cerdas di zaman
postmodern ini adalah sekarang mengadu
bukan sekedar otot namun lebih banyak bersilat lidah. Silat lidah
ujungnya ingin menguasai apapun yang dikehendaki baik yang bersifat positif
maupun negatif. Kekuasaan seseorang ada di dalam dan diujung lidah yang mengucapkannya di
zaman sekarang.
Kayika
Parisudha merupakan konsep yang menekankan perbuatan realitas
manusia masa kini. Dengan selalu bekerja membuktikan daya cipta, karsa dan
karya melalui, wujud kerja. Dalam bhagawadgita
telah dijelaskan karmani eva dikaraste,
bekerja yaitu kewajiban bagi manusia yang menginginkan kehidupan yang layak dan
memenuhi kebutuhannya. Perbuatan manusia mencerminkan daya pemahamannya
terhadap pengetahuan, ilmu dan pengalaman yang diperolehnya. Kayika atau berbuat adalah unsur nilai
yang akan diterima dari perspektif aksiologis.
Dari ketentuan tersebut diatas,
sebenarnnya pendidikan Tri Kaya Parisudha
perlu dibiasakan atau mengandung
aktivitas habitus dan perlu di
sesuaikan dengan lingkungannya yakni ranah bermainnya dan ranah pendidikan Tri Kaya Parisudha difungsionalkan, modal pendidikan Tri Kaya Parisudha ini akan berjalan jika hubungan interaksi,
pemafaatan sumber daya manusianya, dan kebudayaannya terjalin dengan sempurna.
Pendidikan Tri kaya Parisudha di
lingkungan keluarga adalah medidik cara berpikir anak yang baik, berkata-kata
anak yang sopan, dan prilaku anak yang selalu menciptakan keharmonisan dalam
keluarganya terwujudnya integrasi antara habitus
pendidikan Tri Kaya Parisudha yang
berulang kali di dalam ranah keluarga akan menghasilkan Praktek Pendidikan Tri Kaya Parisudha yang ideal dalam lingkungan
keluarga.
2.4 Lingkungan Keluarga
Lingkungan keluarga merupakan alah
satu lingkungan dalam dunia pendidikan yang sering disebut dengan tempat
pendidikan informal. Pada tahap ini pendidikan berlangsung sejak daam kandungan
sampai masuk sekolah. Pedidikan yang diberikan oleh orang tua hanya berkisar
tentang perkembangan jasmani dan rohani, pembiasaan dan pendidikan sederhana.
Tahap pendidikan di lingkungan keluarga mempunyai peranan penting tentang
perkembangan fisiknya.
Keluarga merupakan wadah yang
sangat penting di antara individu dan gruf, dan kelompok social yang pertama di
mana anak-anak menjadi anggotanya. Dan
keluargalah sudah barang tentu yang pertama-tama pula menjadi tempat untuk
mengadakan sosialisasi kehidupan anak-anak, ibu dan ayah, dan
saudara-saudaranya serta keluarga-keluarga yang lain adalah orang-orang pertama
pula yang mengajar pada anak-anak itu sebagaimana dia hidup dengan orang lain.
Sampai anak-anak memasuki sekolah, mereka itu menghabiskan seluruh waktunya di
dalam unit keluarga. Hingga sampai masa adolesen mereka itu ditaksirkan
menghabiskan1/2 waktunya dalam keluarga (Ahmadi, 2016 : 126).
Lingkungan keluarga merupakan ranah
pendidikan Tri Kaya Parisudha diterapkan oleh sosok orang tua kepada anaknya.
Lingkungan keluarga pusat wadah terjadinya komunikasi yang intens secara
langsung maupun tidak langsung yang bisa dilaksanakan setiap saat, untuk
memantau keberadaan perkembagan anak yang meliputi kekuatan kognisnya,
psikomotoriknya, dan afektifnya. Unsur kognisi anak akan terlihat ketika anak
berusaha menanyakan dan rasa ingin tahunya tinggi terhadap benda material
maupun non material . unsur psikomotorik ketika pada ranah lingkungan keluarga
anak biasanya membuat kreativitas seperti alat-alat permainan atau dagang-dagangan yang sifatnya mengolah
keterampilannya. Di ranah lingkungan menekankan pada indikator afektif yaitu
sikap anak di dalam lingkungan keluarga saat berbicara dengan orang tuanya
ataupun saudara-saudaranya akan terlihat keadaan sikapnya, pola prilakunya pun
akan terlihat berkenan dengan ajaran Wacika
dan Kayika parisudha.
2.5 Habitus Pendidikan Manahcika
Parisudha terhadap Modal Ekonomi
Anak dalam Ranah lingkungan Keluarga.
Habitus
adalah sistem disposisi yg berlangsung lama dan berubah-ubah (durable,
transposible disposition) yang berfungsi sebagai basis generatif bagi
praktik-praktik yg terstruktur dan terpadu secara objektif. Sederhannya, habitus ini merupakan kebiasaan yang
berlangsung secara terus-menerus yang terkadang membuat perubahan aktivitas
sesuai dengan waktunya. Peranan habitus
pendidikan manahcika parisudha bagi anak adalah memberikan pemahaman bagi
sosok anak agar selalu berpikir, bercita-cita, memiliki impian di dalam pikiran
selalu positif dan baik.
Habitus Pendidikan
Manahcika Parisudha yang berkembang
di dalam ranah keluarga secara terus menerus anak diajarkan dan didik untuk
berpikir terhadap dirinya sendiri untuk memotivasi dirinya untuk menggapai
cita-cita yag diimpikan mulai sejak dini. Pendidikan manahcika Parisudha juga
mendidik anak untuk mengetahui jati dirinya masing-masing. Misalkan anak ingin
menjadi seorang dokter jadi anak dianjurkan untuk selalu berpikir dan
bercita-cita menjadi dokter dengan mensugestikan dirinya sudah menjadi dokter,
dengan praktek berbicara dengan pikirannya sendiri “aku harus jadi dokter, aku
harus jadi dokter dan seterusnya”. Penerapan berpikir yang positif ini
merupakan penerapan kebiasaan pendidikan manahcika parisudha bagi anak.
Di
satu sisi anak memiliki modal secara ekonomi. Bourdieu menyatakan bahwa Hak
azasi manusia juga dianggap sebagai modal ekonomi. Jadi budaya demokratis dalam
ranah lingkungan keluarga bisa diterapkan melalui cara anak untu berpikir
mengenai respons yang akan disampaikan oleh ayah dan ibunya ketika ibunya
menanyakan “cita-citamu jadi apa nak?”. Anak akan mulai belajar bepikir dan
bercita-cita yang positif, bisa saja anak akan menjawab ingin menjadi pilot,
dokter, guru, dst. Di posisi inilah pendidikan manahcika parisudha anak
dikembangkan. Anak diberikan haknya untuk berpikir dan bebas memilih selama
dalam pikirannya positif untuk memikirkan cita-cita atau impiannya. Ruang
lingkup (ranah) tempat terjadinya interaksi secara langsung ini tidak terlepas
dari peran orang tua yang membingbing, dan mencontohkan berpikir tersebut pada
anak misalnya juga ajak anak untuk bersembahyang tri sandya ke merajan setiap
sore agar menjadi kebiasaan. Dengan mengolah pikirannya anak akan menjadi
pribadi yang tekun untuk bersembahyang ajarka wejangan suci melalui sembahyang
tiga kali, supaya Tri Sandhya tidak hanya di wacanakan saja namun dipraktekan.
Banyak orang tua yang menghidupkan televise, radio, maupun di HPnya di setting
Tri Sandhya namun ketika sudah tepat jam 6 pagi, 12 siang, dan jam 6 sore.
Orang tua tidak pernah mengajak anaknya untuk Tri Sandhya yang ada hanyalah
Televisi saja yang menyiarkan tri sandhya ini merupakan pendidikan pola
pembiasaan berpikir yang positif antara anak dengan orag tuanya melalui
kegiatan pesembahyangan.
2.6 Habitus Pendidikan Wacika Parisudha terhadap Modal
Budaya anak dalam Ranah
lingkungan keluarga
Kebiasaaan
(habitus) mendidik dengan wacika parisudha yang terus dilakukan akan
menghasilkan output anak yang selalu akan menjadikan dirinya berbudaya
menerapkan wacika parisudha. Karena dalam setiap anak telah memiliki modal
budaya yang ada daam dirinya. Modal budaya tersebut juga mencakup seni, bahasa, dan pendidikan.
Dari segi bahasa yang disampaikan anak untuk merespon atau memberikan jawaban
atas pertanyaan yang diberikan orang tuanya sangat memperngaruhi bahasa yang
diajarkan dan didik terhadap anak.
Bahasa
yang baik dan sopan merupakan bahasa yang disampaikan melalui komunikasi yang
santun dan harmonis. Apabila bahasa yang disampaikan anak cenderung menyinggung
perasaan orang yang mendengarkan berarti ranah keluarga sudah di labeling pertama kali mendidik untuk
berbahasa dengan berkata-kata yang tidak sopan ini sangat menyalahi pendidikan
wacika parisudha yang berkembang. Pendidikan wacika parisudha membiasakan anak
untuk selalu berbicara yang santun kepada siapapun. Sosok seorang ayah maupun
ibu wajib mengajarkan anaknya untuk mempergunakan bahasa yang baik, santun dan
sopan.
Misalnya
bahasa yang terdapat di Bali dibisakan anak mempergunakan bahasa Bali yang baik
dan benar melalui pendidikan dalam ranah keluarga hindu-Bali. Bahasa bali yang
sesuai dengan aturan sor-singgih bahasanya. Kalau dilingkungan keluarga
biasakan mempergunakan bahasa atau kata-kata bahasa bali alus madya. Prakteknya
anak ketika berangkat ke sekolah misalnya berpamitan dengan mengucapkan “Biang lan Aji tiang pacang ngeranjing ke
sekolah”. Ini merupakan praktek berbicara (wacika) yang perlu di ajarkan
dilingkungan keluarga agar terbiasa dan membudaya.
2.7
Habitus Pendidikan
Kayika Parisudha terhadap Modal Simbolik Anak dalam Ranah
lingkungan keluarga
Anak
dibiasakan mengenali statusnya dalam keluarga. Dengan mengetahui statusnya
dalam keluarga, anak akan mengetahui peran dan fungsinya dalam keluarganya
sendiri. Anak seyogyanya patut berbakti dengan orang tua. Anak patut membantu
pekerjaan orang tua di rumah. Ini salah satu penerapan ajaran kayika parisudha
yaitu berbuat yang baik selalu menolong antar sesame manusia, antara anak
dengan saudara kandungnya sendiri.
Penerapan
dari kayika parisudha ini merupakan modal simbolik atau sering disebut sebagi
pemahaman status social di lingkungan keluarga anak. Aksi yang diberikan anak
harus sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku di lingkungan keluarganya.
Implikasi dari penerapan ajaran kayika parisdudha terhadap anak yaitu anak akan
mengerti nantinya bersosialisasi ketika terjun di sekolah maupun di
masyarakatnya. Pendidikan kayika
parisudha sudah menekankan praktek berbuat baik dan benar, tidak hanya sebatas
wacana. Yang pertama kali mencontohkan perbuatan baik di dalam keluarganya
yaitu Ayah sebagai kepala keluarga dan Ibu sebagai pendamping dan penuntun anak
dan suaminya. Interaksi dari anggota keluarga harus berjalan secara efisien
efektif, dan harmonis.
Impikasi negatif jika pendidikan
kayika parisudha di lingkungan keluarga ini tidak dijaankan secara idelnya maka
jangan salahkan terdapat keluarga yang mengalami kehancuran (broken home),
terjadinya perselisihan dengan sesame saudara kandung sendiri. Yang dikarenakan
bisa jadi pembagian hak waris tanah yang berujung pada perselisihan serius satu
darah dalam keluarga. Untuk menjalin persatuan di dalam keluarga kayika parisudha yang harus dioptimalkan
melalui kerja, kerja dan kerja yang positif.
III. PENUTUP
Pierre
Bourdieu menyatakan sebuah postulat atau rumus sebagai berikut: (Habitus x
Modal) + Ranah = Praktik. Modal yang terdapat dalam teori praktik Pierre Felix
Bourdieu antara lain : modal ekonomi,
modal budaya, modal sosial, dan modal simbolik. Pendidikan Tri Kaya Parisudha perlu dibiasakan atau mengandung aktivitas habitus dan perlu di sesuaikan dengan
lingkungannya yakni ranah bermainnya dan ranah pendidikan Tri Kaya Parisudha difungsionalkan,
modal pendidikan Tri Kaya Parisudha,
akan berjalan jika hubungan interaksi, pemanfaatan sumber daya manusianya, dan
kebudayaannya terjalin dengan sempurna. Pendidikan Tri kaya Parisudha di dalam ranah lingkungan keluarga adalah
medidik cara berpikir anak yang baik, berkata-kata anak yang sopan, dan prilaku
anak yang selalu menciptakan keharmonisan.
No comments:
Post a Comment