Wednesday, March 22, 2017

Pendidikan Tri Kaya Parisudha aplikasi teori

Penulis : I Putu Widya Candra Prawartana,S.Pd 
Pemuda Hindu Bali


APLIKASI TEORI PRAKTIK PIERRE FELIX BOURDIEU
 TERHADAP PENDIDIKAN TRI KAYA PARISUDHA KEPADA ANAK
 DI LINGKUNGAN KELUARGA
(SOSIO-PEDAGOGIKA)


I.       PENDAHULUAN
            Kemajuan zaman modern di era globalisasi hingga mengalami transisi zaman postmodern sekarang ini, diikuti dengan kehidupan sosial serta budaya-budaya yang berkembang di masyarakat. Masyarakat di zaman postmodern menginginkan pola hidup praktis, efisien dan efektif, segala sesuatu dipandang agar lebih mudah dan memenuhi pilihan disetiap tindakan individu masyarakat. Kenyataan yang terjadi belakangan ini, sering dilakukannya penerapan sosio-paedagogika melalui wadah instansi formal melalui pendidikan dan pembelajaran dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi swasta maupun negeri. Di pihak lain, tidak menutup kemungkinan pendidikan di dalam keluarga yang sifatnya informal juga menerapkan konsepsi sosio-paedagogika misalnya sosok anak sebagai generasi bangsa, dididik dan diajarkan pertama kali di lingkungan keluarga mengenai sopan santun, disiplin, hormat, berbhakti, dst. Pendidikan secara nonformal, sudah pula dijalankan melalui pengadakan sosialisasi penerapan sosio-paedagogika jika dipandang dari segi sosial pendidikannya. Seperti contohnya:  mengadakan dharma wacana bertajuk siraman rohani, menumbuhkan karakter budhi pekerti yang baik di lingkungan masyarakat, mengadakan pasraman kilat bagi golongan pamangku, golongan anak-anak usia SD, remaja maupun sekaa truna-truni.
            Lingkungan akademis yang sering kali mendiskusikan mengenai penerapan pendidikan secara informal, formal maupun non formal dari segi tatanan teoritis dan mengangkat fenomena secara praktis. Namun konteks keseharian secara faktual, teori di bangku sekolah maupun perkuliahan sangat jauh dari kenyataan di lapangan. Teori dan praktek seolah-olah tidak connect, tidak nyambung, maupun tidak selaras. Justru fenomena praktis kerap membuat “kegalauan” dan mengkhawatirkan keberadaan teori yang telah dan sering disampaikan oleh guru, dosen, maupun guru besar. Transpormasi peranan akademis dilakukan melalui acara seminar, diskusi kelas, sosialisasi dst. Menilik keberadan itu, asumsi dasar dari keberadaan teori terasa lumpuh dan hambar jika tidak diimplementasikan secara utuh, ideal, nyata, bahkan ikhlas dalam menjalankan setiap teori yang diemban.  Sehingga konteksnya, teori hanya sebatas wacana yang sifatnya lumpuh dan tidak berjiwa pelaksanaan.
            Justru masalah yang kompleks terjadi, pengemban yang dikatakan ahli dibidang teorinya tidak sesuai dengan penerapannya. Contoh nyata sosok pemangku yang telah melewati proses sakralisasi mewinten (eka jati) dan sering memberikan dharma wacana umat, nganteb banten terjadi di kota Singaraja, Buleleng. Oknum dari pemangku ini justru menyewa tempat hotel untuk berselingkuh rujukan penulis mengarah pada media cetak tribun-Bali edisi tahun 2016. Di media Tribun-Bali juga penulis simak dan baca seksama mengenai Kelihan adat di  Desa Pakraman Tegal Badeng, kecamatan Negara yang menyewa PSK (Pekerja Sex Komersial), setelah melakukan hubungan mengalami meninggal dunia karena obat kuat. Fenomena yang baru-baru ini muncul di media cetak maupun elektronik, adanya  pembunuhan sadis, anak remaja trek-trekan di jalan, pemuda sudah ikut jejaring narkoba bahkan mengkonsumsinya,  membuat anak-anak SMP mulai membuat geng motor untuk merampok, terjadi  penyekapan, perampokan di Pulomas Jakarta dan peracunan sianida oleh Jessica Kumala Wongso dipidanakan 20 tahun, yang miris dan menghanyutkan pandangan masyarakat semua tertuju dengan problema tersebut. Ditengah pergolakan Negara Indonesia dan daerah Provinsi Bali, terjadinya kasus reklamasi tanjung Benoa yang tidak pernah surut mengundang Pro-kontra di masyarakat. Di pihak lain, modis OM Telolet OM mulai meluncur sebagai kebiasaan yang sifatnya actual, update bahkan upgread di dunia sosmed (sosial media). Kekuasaan mengatasnamakan agama juga terjadi demi menggoncangkan keutuhan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) yang dilakukan oleh beberapa oknum. Dari masalah ini, menunjukkan tatanan akademis masih diperlukan untuk menganalisis asumsi mendasar dari subtansi makna teori-teori yang berkembang. Dalam bahasa ilmiahnya multum in parvo yang artinya teori hanya sebatas wacana namun tidak ada laksana. Asumsi mendasar teori dijelaskan sebagai berikut.                 
Teori merupakan serangkaian hipotesis atau proposisi yang saling berhubungan tentang suatu gejala (fenomena) atau sejumlah gejala             (Sarlito, 2013 : 5). Menurut Suardi (2016 : 13), mengemukakan mengenai teori yang pada dasarnya membahas sistem konsep-konsep yang terpadu, yang menerangkan dan memprediksi segala kejadian atau fenomena. Di satu sisi, teori merupakan narasi yang mencoba membedakan dan menjelaskan membedakan dan menjelaskan ciri-ciri umum dari sebuah atau beberapa gejala dengan cara mendeskripsikan dan menjelaskan tanda-tanda yang di anggap secara tetap muncul dan bisa diamati. Teori adalah alat, instrument, atau logika untuk ikut campur atau ambil bagian dalam dunia lewat mekanisme deskripsi, definisi, prediksi dan control (Sutrisno, 2003 : 285).
Teori yang akan dijadikan  dasar, rujukan, dan pedoman untuk menghubungkan aplikasi situasional di lapangan dalam makalah ini adalah  Aplikasi Teori Praktik/Generatif  Pierre Felix Bourdieu terhadap pendidikan Tri Kaya Parisudha kepada anak di lingkungan keluarga tentunya dalam perspektif sosio-paidagogika. Teori Praktik Pierre Felix Bourdieu peranannya terletak pada habitus, modal dan ranah. Lain halnya, pendidikan Tri Kaya Parisudha merupakan pendidikan mendasar dari ajaran etika/susila Agama Hindu yang patut dilaksanakan pertama kali kepada anak di lingkungan keluarga. Pendidikan Tri Kaya Parisudha ini, berkorelasi dan akan saling mempengaruhi output anak didik di rumah dengan teorinya Pierre Felix Bourdieu. Sudut pandang yang penulis sajikan melalui hubungan interaksi status di dalam keluarga batih antara ayah, ibu dan anak, dengan pendidikan yang dilaksanakan  di lingkungan keluarganya isitilahnya sosio-paedagogika secara informal.
Berdasarkan latar belakang realita masalah, fenomena, dan penguatan teori yang dianggap masih mengalami ketimpangan dengan kenyataan, sama istilahnya dengan Das Sollen dengan Das Sein tidak connect (nyambung) maka permasalahan yang akan dibahas adalah :
1.      Mendeskripsikan Teori Praktik Pierre Felix Bourdieu secara detail.
2.      Mendeskripsikan mengenai konsep Tri Kaya Parisudha.
3.      Menganalisis aplikasi Teori Praktik Pierre Felix Bourdie terhadap pendidikan Tri Kaya Parisudha di lingkungan keluarga melalui kajian sosio-paedagogika.
Tujuan dari analisis keberadaan diatas adalah mempergunakan teori Praktik/generatif Pierre Felix Bourdieu untuk mengetahui pendidikan Tri Kaya Parisudha di lingkungan Keluarga dengan sudut pandang sosio-pedagogika.

II.    PEMBAHASAN
2.1  Sekilas Riwayat Hidup Pendiri Teori Praktik Pierre Felix Bourdieu
Pierre Felix Bourdieu lahir pada tanggal 1 Agustus 1930 di desa Denguin, distrik Pyreness-Antantiques, di bagian Barat Daya Prancis. Bourdieu putra seorang pegawai pos desa, dan belajar di Pau sebagai siswa SMA (Lycee) yang cemerlang, dan terkenal sebagai pemain rugby di sekolahnya. Bourdieu melanjutkan di Ecole Normale Superieure dan belajar filsafat kepada Luis Althusser. Pada tahun 1955 Bourdieu mengajar SMA (Lycee) di Moulins, kemudian bergabung dengan ketentaraan dan dikirim ke Aljazair selama dua tahun.
Di Aljazair Bourdieu belajar tentang masyarakat Berber, dan benturan masyarakat Aljazair dengan kolonial Prancis dengan mengkonstruksi asal-usul struktur ekonomi dan sosial khususnya masyarakat Kabyle suku Berber. Pada tahun 1960 Bourdieu kembali ke Paris dan belajar antropologi secara autodidak dan mengajar di universitas Paris dan Lille. Di perguruan tinggi tersebut Bourdieu mendirikan  pusat Sosiologi Pendidikan dan Budaya. Pada Tahun 1993 ia mendapat anugerah penghargaan “Medaille d’or du Centre National de la Recherche Scientifique. Pemikiran Bourdieu sangat dipengaruhi oleh  pemikiran sosiologi, antropologi, dan filsafat.
Analisa penulis dari teori Praktik Pierre Felix Bourdieu adalah Bourdieu menekankan pada pemikiran kritisnya (radikal) terhadap sosiologi (ilmu mengenai masyarakat), tentu kaidah faundementalis dari pemikiran sosok sosiolog yaitu adanya kontak sosial dan komunikasi barulah terciptanya interaksi secara kondusif. Bourdieu juga merupakan seorang sosok sosiolog di dunia pendidikan jadi keterkaitan dengan makalah ini, teori praktis melalui pemikiran bourdieu sangat relevan untuk dianalisis dengan pendekatan pendidikan dalam keluarga (pendidikan secara informal) melalui pendidikan Tri Kaya Parisudha terhadap anak.

2.2  Menelusuri Teori Praktik Pierre Felix Bourdieu
Pierre Bourdieu menyatakan sebuah postulat atau rumus sebagai berikut: (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik. Modal menurut Bourdieu mempunyai arti luas mencakup hal-hal material (yang dapat memiliki nilai simbolik) dan berbagai atribute yang tak tersentuh, namun memiliki signifikan secara kultural, misalnya prestise, status, dan otoritas (modal simbolik), serta modal budaya yg didefinisikan sebagai selera budaya dan pola-pola konsumsi yg meliputi seni, pendidikan, dan bahasa. Modal  berperan sebagai  sebuah relasi sosial yg terdapat dalam suatu sistem  pertukaran. Modal mesti ada di dalam sebuah ranah agar ranah tersebut dapat memiliki arti. Modal yang terdapat dalam teori praktik Pierre Felix Bourdieu antara lain : modal ekonomi, modal budaya, modal sosial, dan modal simbolik.
Salah satu contoh modal ekonomi adalah hal-hal  material yang dapat menjadi basis kekuasaan. Hertel menyimpulkan tiga hal mendasar mengenai hak ekonomi: kecukupan standar hidup, mendapat pekerjaan, dan hak mendapatkan pendapatan yang menjamin mereka yg tidak mampu. Hak azasi manusia juga dianggap sebagai modal ekonomi. Modal ekonomi di dalam keluarga yang mempengaruhi pendidikan Tri Kaya Parisudha adalah pengelolaan sumber daya ekonomi yaitu salah satunya sumber daya manusianya. Sumber daya manusia dalam keluarga yakni sosok seorang anak.
Anak merupakan sumber daya keluarga yang merupakan generasi pelanjut keberlangsungan dalam keluarga. Sikap dari etika  ajaran pendidikan tri kaya parisudha ini telah diajarkan secara utuh dalam keluarga oleh peran serta orang tua maka out put sosok anak akan baik, namun jika kebiasaan atau habitus dalam keluarga, orang tua tidak pernah memberikan tutur atau nasehat terhadap anaknya maka anak tidak mengerti mengenai cara berpikir, berkata, dan berbuat yang baik untuk dirinya sendiri. Sedangkan belakangan ini pendidikan tri kaya parisudha di dalam keluarga sudah sangat jarang diberikan.
Jangankan untuk memberikan pendidikan Tri Kaya Parisudha dalam keluarga. Orang tuanya saja belum bisa “tersadarkan”  menerapkan pendidikan Tri Kaya Parisudha bagi dirinya. Jika sosok orang tua yang menginginkan modal ekonominya tetap utuh dan berjalan secara berkesinambungan, hal yang wajib dilakukan   mengajarkan dan didik anak agar bisa menjadi sumber daya manusia yang cerdas dan berbudhi pekerti yang luhur. Orang tua juga patut memberikan suri tauladan kepada anaknya dalam bersikap sesuai kaedah ajaran Tri Kaya Parisudha sesuai ranah dalam lingkungan pendidikan keluarga yang pertama.

2.3  Pendidikan Tri Kaya Parisudha
Menurut Suardi (2016 : 3) menyatakan, bahwa pendidikan memiliki arti dan substansi makna yang luas. Pendidikan pada dasarnya usaha sadar dan terencana untuk membentuk manusia yang belum dewasa agar menjadi dewasa. Pendidikan secara sederhana untuk membentuk manusia yang seutuhnya. Pendidikan berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Diperlukannya pendidikan agar watak dari manusia yang belum sadar disadarkan melalui pendidikan. Jadi apabila ada manusia yang belum sadar sikap dan wataknya padahal sudah melewati jenjang-jenjang pendidikan SD, SMP, SMA, sampai ke perguruan tinggi maka manusia tersebut adalah belum sadar atau sebagai penghianat secara akademis dunia pendidikan.
Konsep ajaran Tri Kaya Parisudha sudah ada jauh sebelum agama hindu masuk di Nusantara. Ajaran ini jika dilihat dari segi refrensi lontar sasana aguron-guron, pendidikan Tri Kaya Parisudha ini ada didalamnya. Tri Kaya Parisudha adalah ajaran etika atau susila inti dari semua kehidupan manusia. Ajaran ini mengajarkan dan mendidik manusia untuk selalu berprilaku yang baik dan benar. Secara etimologis kata ajaran Tri Kaya Parisudha dapat dibagai menjadi tiga kata antara lain : Tri yang berarti tiga, Kaya yang berarti perbuatan secara utuh dan idealnya dan Parisudha merupakan suci atau  proses penyucian. Jadi arti yang sebenarnya dari konsepsi Tri Kaya Parisudha ini adalah tiga perbuatan yang telah mengalami proses penyucian melalui internalisasi manusia yang ingin sadar. Ajaran Tri Kaya Parisudha merupakan media kontemplasi bagi siapapun manusia di dunia ini.
Lontar Beberatan Wong Beling juga disampaikan ajaran Tri Kaya Parisudha ini melekat dari manusia baru berada di dalam kandungan ibunya. Sosok seorang ibu pada saat mengandung janin di lingkungan  keluarga juga harus mampu mengendalikan pikiran, perkataan dan perbuatannya agar tetap dalam jalan yang benar dan baik. Sebenarnya manusia khususnya umat hindu telah didik dari dalam kandungan oleh ibunya. Ibunya harus mampu mengendalikan indria pikiran agar selalu baik nanti anaknya akan mengikuti kebiasaan (habitus) ibunya saat mengandung. Pendidikan interaksi jiwa melalui pikiran yang tenang, halus dan baik bagi sosok ibu dan bakal anak (janin) telah disampaikan secara detail dalam lontar beberatan wong beling.
Pembagian dari pokok ajaran Tri Kaya Parisudha sudah sangat jelas antara lain : Manahcika Parisudha (berpikir secara suci) maka manusia perlu memiliki wiweka jnana dalam memilah atau memfilter mana hal yang bersifat baik dan hal yang bersifat tidak benar. Manusia soyogyanya mampu memetakan pola pikirannya sesuai situasional dan kondisional inilah ranah berpikir. Karena manusia sudah bersyukur sekali memiliki pikiran karena pikiranlah sesungguhnya penderitaan hidup dan kebahagiaan hidup telah banyak dijelaskan di dalam kita sarasamusccaya. Yad bhawan tad bhawati artinya apapun yang engkau pikirkan pasti akan terjadi. Jadi pikiran memegang kunci pokok kehidupan kebahagiaan dan kesengsaraan maka selalulah berpikir dan internalisasi perkuat positif thinking.
Wacika Parisudha merupakan ajaran berkata, berbahasa, cara berbicara yang baik dan sopan terhadap siapapun. Hal ini dikarenakan manusia diajarkan untuk membangun komunikasi yang baik dari perspektif sosiologi. Membangun komunikasi yang baik dan benar tidak hanya sebatas “asbun” (asal bunyi) namun arah pembicarannya agar terlihat pintar, baik dan sopan serta tidak menyinggung perasaan orang lain. Dalam sustra hindu disebutkan “wasita nimitanta manemu suka, wasita nimitanta manemu dhuka, wasita nimitanta manemu mitra, wasita nimitanta pati kepangguh” artinya karen perkataan manusia bisa mendapatkan kebahagiaan, karena perkataan bisa mendapatkan penderitaan, karena perkataan manusia bisa mendapatkan sahabat, dan karena perkataan manusia bisa mendapatkan kematian. Jadi sesungguhnya manusia yang sudah cerdas di zaman postmodern ini adalah sekarang mengadu  bukan sekedar otot namun lebih banyak bersilat lidah. Silat lidah ujungnya ingin menguasai apapun yang dikehendaki baik yang bersifat positif maupun negatif. Kekuasaan seseorang ada di dalam  dan diujung lidah yang mengucapkannya di zaman sekarang.
Kayika Parisudha merupakan konsep yang menekankan perbuatan realitas manusia masa kini. Dengan selalu bekerja membuktikan daya cipta, karsa dan karya melalui, wujud kerja. Dalam bhagawadgita telah dijelaskan karmani eva dikaraste, bekerja yaitu kewajiban bagi manusia yang menginginkan kehidupan yang layak dan memenuhi kebutuhannya. Perbuatan manusia mencerminkan daya pemahamannya terhadap pengetahuan, ilmu dan pengalaman yang diperolehnya. Kayika atau berbuat adalah unsur nilai yang akan diterima dari perspektif aksiologis.
Dari ketentuan tersebut diatas, sebenarnnya pendidikan Tri Kaya Parisudha  perlu dibiasakan atau mengandung aktivitas habitus dan perlu di sesuaikan dengan lingkungannya yakni ranah bermainnya dan ranah pendidikan Tri Kaya Parisudha difungsionalkan,  modal pendidikan Tri Kaya Parisudha ini akan berjalan jika hubungan interaksi, pemafaatan sumber daya manusianya, dan kebudayaannya terjalin dengan sempurna. Pendidikan Tri kaya Parisudha di lingkungan keluarga adalah medidik cara berpikir anak yang baik, berkata-kata anak yang sopan, dan prilaku anak yang selalu menciptakan keharmonisan dalam keluarganya terwujudnya integrasi antara habitus pendidikan Tri Kaya Parisudha yang berulang kali di dalam ranah keluarga akan menghasilkan Praktek Pendidikan Tri Kaya Parisudha yang ideal dalam lingkungan keluarga.


2.4  Lingkungan Keluarga
Lingkungan keluarga merupakan alah satu lingkungan dalam dunia pendidikan yang sering disebut dengan tempat pendidikan informal. Pada tahap ini pendidikan berlangsung sejak daam kandungan sampai masuk sekolah. Pedidikan yang diberikan oleh orang tua hanya berkisar tentang perkembangan jasmani dan rohani, pembiasaan dan pendidikan sederhana. Tahap pendidikan di lingkungan keluarga mempunyai peranan penting tentang perkembangan fisiknya.
Keluarga merupakan wadah yang sangat penting di antara individu dan gruf, dan kelompok social yang pertama di mana anak-anak  menjadi anggotanya. Dan keluargalah sudah barang tentu yang pertama-tama pula menjadi tempat untuk mengadakan sosialisasi kehidupan anak-anak, ibu dan ayah, dan saudara-saudaranya serta keluarga-keluarga yang lain adalah orang-orang pertama pula yang mengajar pada anak-anak itu sebagaimana dia hidup dengan orang lain. Sampai anak-anak memasuki sekolah, mereka itu menghabiskan seluruh waktunya di dalam unit keluarga. Hingga sampai masa adolesen mereka itu ditaksirkan menghabiskan1/2 waktunya dalam keluarga (Ahmadi, 2016 : 126).
Lingkungan keluarga merupakan ranah pendidikan Tri Kaya Parisudha diterapkan oleh sosok orang tua kepada anaknya. Lingkungan keluarga pusat wadah terjadinya komunikasi yang intens secara langsung maupun tidak langsung yang bisa dilaksanakan setiap saat, untuk memantau keberadaan perkembagan anak yang meliputi kekuatan kognisnya, psikomotoriknya, dan afektifnya. Unsur kognisi anak akan terlihat ketika anak berusaha menanyakan dan rasa ingin tahunya tinggi terhadap benda material maupun non material . unsur psikomotorik ketika pada ranah lingkungan keluarga anak biasanya membuat kreativitas seperti alat-alat permainan atau dagang-dagangan yang sifatnya mengolah keterampilannya. Di ranah lingkungan menekankan pada indikator afektif yaitu sikap anak di dalam lingkungan keluarga saat berbicara dengan orang tuanya ataupun saudara-saudaranya akan terlihat keadaan sikapnya, pola prilakunya pun akan terlihat berkenan dengan ajaran Wacika dan Kayika parisudha.

2.5  Habitus Pendidikan Manahcika Parisudha terhadap Modal Ekonomi Anak dalam Ranah lingkungan Keluarga.

Habitus adalah sistem disposisi yg berlangsung lama dan berubah-ubah (durable, transposible disposition) yang berfungsi sebagai basis generatif bagi praktik-praktik yg terstruktur dan terpadu secara objektif. Sederhannya, habitus ini merupakan kebiasaan yang berlangsung secara terus-menerus yang terkadang membuat perubahan aktivitas sesuai dengan waktunya. Peranan habitus pendidikan manahcika parisudha bagi anak adalah memberikan pemahaman bagi sosok anak agar selalu berpikir, bercita-cita, memiliki impian di dalam pikiran selalu positif dan baik.
Habitus Pendidikan Manahcika Parisudha yang berkembang di dalam ranah keluarga secara terus menerus anak diajarkan dan didik untuk berpikir terhadap dirinya sendiri untuk memotivasi dirinya untuk menggapai cita-cita yag diimpikan mulai sejak dini. Pendidikan manahcika Parisudha juga mendidik anak untuk mengetahui jati dirinya masing-masing. Misalkan anak ingin menjadi seorang dokter jadi anak dianjurkan untuk selalu berpikir dan bercita-cita menjadi dokter dengan mensugestikan dirinya sudah menjadi dokter, dengan praktek berbicara dengan pikirannya sendiri “aku harus jadi dokter, aku harus jadi dokter dan seterusnya”. Penerapan berpikir yang positif ini merupakan penerapan kebiasaan pendidikan manahcika parisudha bagi anak.
Di satu sisi anak memiliki modal secara ekonomi. Bourdieu menyatakan bahwa Hak azasi manusia juga dianggap sebagai modal ekonomi. Jadi budaya demokratis dalam ranah lingkungan keluarga bisa diterapkan melalui cara anak untu berpikir mengenai respons yang akan disampaikan oleh ayah dan ibunya ketika ibunya menanyakan “cita-citamu jadi apa nak?”. Anak akan mulai belajar bepikir dan bercita-cita yang positif, bisa saja anak akan menjawab ingin menjadi pilot, dokter, guru, dst. Di posisi inilah pendidikan manahcika parisudha anak dikembangkan. Anak diberikan haknya untuk berpikir dan bebas memilih selama dalam pikirannya positif untuk memikirkan cita-cita atau impiannya. Ruang lingkup (ranah) tempat terjadinya interaksi secara langsung ini tidak terlepas dari peran orang tua yang membingbing, dan mencontohkan berpikir tersebut pada anak misalnya juga ajak anak untuk bersembahyang tri sandya ke merajan setiap sore agar menjadi kebiasaan. Dengan mengolah pikirannya anak akan menjadi pribadi yang tekun untuk bersembahyang ajarka wejangan suci melalui sembahyang tiga kali, supaya Tri Sandhya tidak hanya di wacanakan saja namun dipraktekan. Banyak orang tua yang menghidupkan televise, radio, maupun di HPnya di setting Tri Sandhya namun ketika sudah tepat jam 6 pagi, 12 siang, dan jam 6 sore. Orang tua tidak pernah mengajak anaknya untuk Tri Sandhya yang ada hanyalah Televisi saja yang menyiarkan tri sandhya ini merupakan pendidikan pola pembiasaan berpikir yang positif antara anak dengan orag tuanya melalui kegiatan pesembahyangan.

2.6 Habitus Pendidikan Wacika Parisudha terhadap Modal Budaya anak dalam Ranah lingkungan keluarga

Kebiasaaan (habitus) mendidik dengan wacika parisudha yang terus dilakukan akan menghasilkan output anak yang selalu akan menjadikan dirinya berbudaya menerapkan wacika parisudha. Karena dalam setiap anak telah memiliki modal budaya yang ada daam dirinya. Modal budaya tersebut  juga mencakup seni, bahasa, dan pendidikan. Dari segi bahasa yang disampaikan anak untuk merespon atau memberikan jawaban atas pertanyaan yang diberikan orang tuanya sangat memperngaruhi bahasa yang diajarkan dan didik terhadap anak.
Bahasa yang baik dan sopan merupakan bahasa yang disampaikan melalui komunikasi yang santun dan harmonis. Apabila bahasa yang disampaikan anak cenderung menyinggung perasaan orang yang mendengarkan berarti ranah keluarga sudah di labeling pertama kali mendidik untuk berbahasa dengan berkata-kata yang tidak sopan ini sangat menyalahi pendidikan wacika parisudha yang berkembang. Pendidikan wacika parisudha membiasakan anak untuk selalu berbicara yang santun kepada siapapun. Sosok seorang ayah maupun ibu wajib mengajarkan anaknya untuk mempergunakan bahasa yang baik, santun dan sopan.
Misalnya bahasa yang terdapat di Bali dibisakan anak mempergunakan bahasa Bali yang baik dan benar melalui pendidikan dalam ranah keluarga hindu-Bali. Bahasa bali yang sesuai dengan aturan sor-singgih bahasanya. Kalau dilingkungan keluarga biasakan mempergunakan bahasa atau kata-kata bahasa bali alus madya. Prakteknya anak ketika berangkat ke sekolah misalnya berpamitan dengan mengucapkan “Biang lan Aji tiang pacang ngeranjing ke sekolah”. Ini merupakan praktek berbicara (wacika) yang perlu di ajarkan dilingkungan keluarga agar terbiasa dan membudaya.

2.7     Habitus Pendidikan Kayika Parisudha terhadap Modal Simbolik Anak  dalam Ranah lingkungan keluarga

Anak dibiasakan mengenali statusnya dalam keluarga. Dengan mengetahui statusnya dalam keluarga, anak akan mengetahui peran dan fungsinya dalam keluarganya sendiri. Anak seyogyanya patut berbakti dengan orang tua. Anak patut membantu pekerjaan orang tua di rumah. Ini salah satu penerapan ajaran kayika parisudha yaitu berbuat yang baik selalu menolong antar sesame manusia, antara anak dengan saudara kandungnya sendiri.
Penerapan dari kayika parisudha ini merupakan modal simbolik atau sering disebut sebagi pemahaman status social di lingkungan keluarga anak. Aksi yang diberikan anak harus sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku di lingkungan keluarganya. Implikasi dari penerapan ajaran kayika parisdudha terhadap anak yaitu anak akan mengerti nantinya bersosialisasi ketika terjun di sekolah maupun di masyarakatnya.  Pendidikan kayika parisudha sudah menekankan praktek berbuat baik dan benar, tidak hanya sebatas wacana. Yang pertama kali mencontohkan perbuatan baik di dalam keluarganya yaitu Ayah sebagai kepala keluarga dan Ibu sebagai pendamping dan penuntun anak dan suaminya. Interaksi dari anggota keluarga harus berjalan secara efisien efektif, dan harmonis. 
Impikasi negatif jika pendidikan kayika parisudha di lingkungan keluarga ini tidak dijaankan secara idelnya maka jangan salahkan terdapat keluarga yang mengalami kehancuran (broken home), terjadinya perselisihan dengan sesame saudara kandung sendiri. Yang dikarenakan bisa jadi pembagian hak waris tanah yang berujung pada perselisihan serius satu darah dalam keluarga. Untuk menjalin persatuan di dalam keluarga kayika parisudha yang harus dioptimalkan melalui kerja, kerja dan kerja yang positif.

III. PENUTUP
Pierre Bourdieu menyatakan sebuah postulat atau rumus sebagai berikut: (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik. Modal yang terdapat dalam teori praktik Pierre Felix Bourdieu antara lain : modal ekonomi, modal budaya, modal sosial, dan modal simbolik. Pendidikan Tri Kaya Parisudha  perlu dibiasakan atau mengandung aktivitas habitus dan perlu di sesuaikan dengan lingkungannya yakni ranah bermainnya dan ranah pendidikan Tri Kaya Parisudha difungsionalkan,  modal pendidikan Tri Kaya Parisudha, akan berjalan jika hubungan interaksi, pemanfaatan sumber daya manusianya, dan kebudayaannya terjalin dengan sempurna. Pendidikan Tri kaya Parisudha di dalam ranah lingkungan keluarga adalah medidik cara berpikir anak yang baik, berkata-kata anak yang sopan, dan prilaku anak yang selalu menciptakan keharmonisan.









  
  

 
  
 




No comments:

Post a Comment

Literasi Digital Versi Aplikasi Book Creator Hindu

            Literasi serasa sepi, karena kemampuan peserta didik dalam hobby membaca sebagai bagian dari literasi mulai menurun dari kurun w...