Thursday, April 2, 2020

Esensi Pendidikan Agama Hindu Anti Korupsi

Penulis : Candra Prawartana, M.Pd
Jenis Tulisan : Artikel
 Esensi Pendidikan Agama Hindu 
 Anti Korupsi 

Substansi belajar Agama Hindu bukan hanya hafal – hafalan belaka. Begitupula kadang – kadang banyak para oknum agamais berbicara ajaran “Tuhan” namun perilakunya “hantu”. Beda tipis antara perilaku Tuhan dan Hantu , ibarat pisau bermata dua. Hal yang sangat mahal memupuk karakter bangsa saat ini adalah kejujuran. Gampang menghafalkan arti jujur, namun dalam berperilaku seseorang bisakah selalu jujur?, tentu jawabannya “mungkin bisa” atau “mungkin belum”. Pembelajaran agama lebih gampang menghafalkan  konsep maupun teori dibandingkan praktek keseharian. Soroti masalah praktek hidup yang “salah” yaitu korupsi bagi oknum koruptor yang memiliki jabatan dan menjabat empuk di kursi dewan namun berhati “penjahat”. Menilik pada praktek hidup esensi beragama adalah kedamaian dan perilaku harmonis. 
Suasana kedamaian berubah menjadi kedamaian penuh kekhawatiran. Zaman android dan digital industry 4.0 saat ini, merujuk pada mencari orang pintar sangat gampang dan banyak, namun mencari orang bijak “agak sulit”. Banyak orang pintar memanfaatkan kepintaran demi pembenaran dan kepura-puraan jujur serta semuanya hanyalah kamuplase belaka. Namun sebagai orang bijak menjadi penyeimbang diantara pembenaran sehingga melahirkan kebenaran cukup sulit. Peradaban modernisasi menyebabkan oknum pejabat tertentu mempergunakan jabatannya sebagai alat membangun kapitalis buat diri sendiri. Dengan memanfaatkan segala cara untuk membangun kekayaan pribadi. Kepentingannya sangat multikultur misalkan karena banyak modal yang dipergunakan saat kampanye saat mencalonkan diri, maka setelah menjabat oknum pejabat ingin mengembalikan modalnya dengan cara “korupsi”.
Arah pendidikan secara assesmentnya bukan semata hanya mencari nilai yang tinggi ataupun IPK yang cumlaude namun  sifat caracthernya terus mengalami degradasi. Banyak oknum pejabat yang memiliki lulusan Magister, Doktor dan tidak menutup kemungkinan kaum Profesorpun banyak yang menjadi pejabat namun yang dipertanyakan sekian banyaknya multi scince atau pengetahuan yang dimiliki. Seakaan rasionya jalan namun rasanya mati artinya pemikiran terhadap teori pendidikan atau konsep – konsep pendidikannya tinggi, memberi petuah kepada masyarakat sangatlah manis penuh pesona namun hatinya bagi oknum koruptor sangatlah mati. Mirisnya kemudian jangan sampai terulang kembali bagi oknum koruptor di intansi agama, yang terpadang sosok seorang tokoh agama dijerat karena korupsi uang umat, sangatlah miris kemudian. Simaklah banyak nasehat suci namun kesucian hanyalah doktrin – doktrin yang hanya dipergunakan oleh orang lain namun kedalam dirinya (mulat sarira) tidak pernah ada.    
Secara difilosofis bali kuna banyak panglingsir menyampaikan ke publik dengan semboyan “mesuluh ring deweke” artinya selalulah instrospeksi diri atau “nyiksik bulu mulat sarira”. Lebih banyaklah belajar tentang jati diri, kurangi menyampaikan nasehat suci kepada orang lain namun lupa menasehati diri sendiri. Dalam esensi pendidikan yakni pendidikan bukanlah barang dagangan, bukan ajang berbisnis, bukan ajang kontestasi bersekolah, atau memperkenalkan diri pernah sekolah tinggi namun hati nurani masih terkungkung. Membawa high level namun kenyataan bahwa egosentrislah yang menutupi nurani suci. Sesuai jenisnya esensi pendidikan adalah perubahan melalui learn to do, learn to know, learn to practice namun yang terpenting dari semua itu adalah learn to be. Learn To be merupakan cikal bakal mendasar membentuk diri yang menjadi bijak dan mampu menasehati diri. Biar tidak seperti sesenggakan orang bali “Tiuk Mangan di Pisage”, artinya menceramahi orang lain pintar namun menasehati diri sendiri tidak bisa. Sekelumit yang nampak sifat dari oknum koruptor seperti di atas. Oknum koruptor berpendidikan tinggi, ijasahnya tinggi namun uang sebagai raja di dunia menggelapkannya.
    Hal yang acapkali dipelajari oleh semua kalangan termasuk dari kalangan bawah hingga yang mempunyai jabatan secara Oligarki yakni True of mind, True of Spoke, and True of Practice dalam ajaran dharma disebut Tri Kaya Parisudha yaitu berpikir (Manahcika), berkata (Wacika) dan berbuat (Kayika) yang benar dan suci. Gampang konsep ini dihafalkan dari SD hingga Perguruan Tinggi (PT) namun praktek dalam dunia pendidikan yang hakiki esensinya jauh dari realita. Kadang manusia lupa berpikir dulu sebelum bertindak. Kebanyakan yang dipikirkan maka stress yang terjadi kebanyakan strees maka setra yang kena. Miris sekali beragama memegang ajaran dharma namun ujung-ujungnya bukan kedamaian yang didapat namun hanyalah kerumitan dalam hidup yang ditemui. Oknum koruptor yang terkenal dengan kepintarannya. Dalam istilah spanyol seyogyanya oknum yang terkenal cerdas mampu menerapkan “tratando lostar la mayor” yaitu selalu berbuat yang benarlah.
    Solusi yang ditawarkan dan perlu juga dipertimbangkan untuk mengatasi permasalahan di atas yaitu : (1) Dalam Perpres nomor 87 tahun 2017 ditekankan bahwa penguatan pendidikan karakter (PPK) generasi muda untuk memupuk karakter jujur (satyam) dimulai dari tri sentral pendidikan (keluarga, sekolah dan masyarakat), (2) tanamkan dalam diri generasi muda dan masyarakat anti korupsi dan stop pungli, (3) Belajar agama bukan “hafalan” namun praktek hidup dan controlling hidup agar tenang dan tetap bersyukur, (4) Laksanakan Catur Na’syu menepis korupsi: (a) sederhana, (b) bermakna, (c) tepat guna dan (d) syukur.     (5) Selalulah BB (berbuat benar) dan bukan pembenaran.   

No comments:

Post a Comment

Literasi Digital Versi Aplikasi Book Creator Hindu

            Literasi serasa sepi, karena kemampuan peserta didik dalam hobby membaca sebagai bagian dari literasi mulai menurun dari kurun w...